BAGIAN 1
“Suasana Baru”
Embun pagi membentuk bulatan - bulatan kecil di atas daun, menetes
setelah terkumpul menjadi satu. Matahari mulai menunjukkan pesonanya, menyinari
butiran - butiran embun yang tersebar diseluruh dedaunan yang menghijau. Embun
itu berkilau bak permata, bening bak berlian. Seperti perhiasan alam yang
menghiasi setiap tanaman yang mengakar.
Pohon yang menjulang menyambut suara alam yang terdengar di sela – sela
gemersik daun yang tertiup angin pagi. Dahannya bergoyang lembut ke kanan dan
kiri menuruti perintah alam yang disampaikan oleh hembusan angin. Beberapa
burung yang bertengger di dahan terdengar seperti menyenandungkan lagu - lagu
indah untuk pagi yang cerah.
Vey baru saja tiba di rumah barunya, rumah kuno yang dibeli keluarganya
dari teman neneknya, memang sudah terlihat tua dan kusam, tetapi jika dipoles
sedikit dengan cat yang cerah akan berubah menjadi rumah yang sungguh indah.
Beberapa perabot yang masih tersisa di dalamnya terselimuti oleh kain - kain
putih yang sudah lusuh, sarang laba - laba yang menggantung disegala penjuru
rumah membuatnya terlihat seperti rumah hantu. Sepertinya rumah ini sudah lama
sekali tidak ditempati. Pemiliknya pun sepertinya juga tidak peduli dengan
barang - barang yang ada di rumah itu. Dia menjual rumah kuno tersebut beserta
perabot rumahnya.
Vey meletakkan beberapa barang bawaannya di ruang tengah, kemudian
kembali lagi keluar untuk mengambil barang - barang yang masih tersisa di
mobil. Papa dan mamanya menyeret koper - koper berisi baju - baju. “Ma,
sepertinya kita bakal kerja keras sebentar lagi.” Kata Vey sambil tersenyum
melewati papa dan mamanya yang sedang menggeret koper – koper besar milik
mereka menuju ruang tengah.
Rumah yang baru dibeli oleh keluarga Vey berada jauh dari pusat kota,
pedesaan tepatnya, tetapi mungkin dulu pemilik rumah ini adalah orang kaya di
desa, karena model rumah tersebut bukan seperti model rumah orang - orang desa
di sekitarnya, lebih terlihat berkelas, lebih besar, dan lebih bagus pengaturan
tempatnya. Halamannya luas, taman yang dilengkapi dengan air mancur di
tengahnya tampak lebar membentang di depan rumah. Mungkin bila diumpamakan, model
rumah tersebut sama seperti model rumah para bangsawan kuno.
Vey pindah ke rumah itu hanya untuk beberapa tahun saja sampai proyek
bisnis papanya dapat rampung diselesaikan. Sebenarnya, menyewa saja sudah
cukup, tapi melihat lokasi yang begitu indah untuk dijadikan tempat bersantai
dan tempat wisata dihari tua , akhirnya keluarga mereka berpikir dua kali.
Lebih baik membelinya daripada menyewanya. Kalau dibeli dan sudah menjadi milik
diri, nantinya bisa dijadikan rumah singgah waktu liburan berlangsung. Begitu
pikir mereka.
Posisi rumah tersebut begitu terpelosok. Dikelilingi oleh sawah dan
beberapa kebun yang menghijau. Pemandangannya begitu indah, menyejukkan,
melegakan rasa dan mampu menenangkan jiwa yang sedang galau. Itu adalah salah satu alasan Vey dan
Kakaknya, Riko, menyetujui rumah itu untuk dibeli.
Barang - barang bawaan mereka sudah terkumpul di ruang tengah. Mata Vey
masih saja mengitari setiap sudut di ruangan itu. Tampaknya kejadian itu di
perhatikan oleh papanya sejak tadi. “Kenapa Vey? Gak suka rumahnya?”
“Hah? Nggak kok, Pa. Vey suka. Tapi sepertinya perlu dipoles lagi, biar
gak kelihatan tua - tua banget.” Kata Vey sambil berkacak pinggang. Matanya
masih saja menelusuri setiap baris tembok yang berjajar menyusun rumah itu.
“Pa, kita perlu ke kota dulu, buat beli cat dan beberapa perkakas lainnya.”
“Iya, besok saja. Sekarang kita bereskan barang - barang kita dulu.
Sekalian bersihkan debu - debu dan sarang laba - laba.”
“Siap, Pa! Vey laksanakan.” Kata Vey dengan semangat, tangannya
menghormat bibirnya menyungging, tersenyum. tiba – tiba dari belakang terdengar
suatu keributan yang mengejutkan Vey dan papanya. Mama Vey muncul dengan
berlari - lari dari belakang, arah dapur, wajahnya begitu ketakutan. Vey mengernyitkan
dahinya. Hantu? Apa hantu? Masak beneran
ada hantu kalau rumah lama gak ditempati?. Pikiran Vey melayang kemana - mana.
“Ada apa, Ma?” Tanya papa Vey dengan cemas. “I.. i.. itu, Pa. ada kecoak
di dapur. Iiiiiiiih….. ya ampun.. ya ampun.. Mama jijik lihatnya. Papa cepet
bersihin dapur aja, biar Mama sama Vey bagian sini aja bersihinnya.” Mama Vey
menggerutu tanpa henti. “Pantes aja dijual murah. Orang rumahnya udah kayak gak
layak huni. Kotor, kayak rumah hantu. Papa kok bisa milih rumah ini sih!”
Vey dan papanya saling pandang, mereka tersenyum melihat tingkah mamanya
yang begitu tiba - tiba. “Di desa ini
gak ada lagi rumah yang dijual, Ma. Dan kebetulan temen Ibu ada yang
punya rumah gak ditempati ini. Murah lagi, bukannya kemarin Mama udah setuju?”
kata papa Vey dengan lembut.
“I.. i.. iya sih, tapi kan.. Mama kira gak kayak gini, Pa.” Mama Vey
menggaruk - garuk lengannya. “Ya.. ya sudahlah, Pa. Sana - sana bersihin
dapur.” Papa Vey masih saja senyum - senyum sendiri melihat tingkah istrinya. Mama
Vey masih saja menggaruk – garuk lengannya yang tadi sempat diloncati kecoak.
Kecoaknya memang sudah tidak ada, terbang entah kemana, tapi rasa geli di
lengannya masih terasa sampai sekarang.
“Ayo ayo kerja.” Sela Vey sambil cengengesan melihat papa dan mamanya.
Papanya melangkah menuju dapur menuruti kata – kata istrinya tadi. Vey dan
mamanya mulai membersihkan ruangan demi
ruangan yang dipenuhi oleh debu - debu, menyingkap kelambu demi kelambu
yang menutupi ruangan itu, kemudian menyapunya dengan perlahan.
“Ma, Vey mau lihat kamar atas ya.. Vey juga mau milih kamar. Katanya sih
ada tiga kamar. Vey mau milih sekarang, nanti kalau Kak Riko dateng tinggal
ambil kamar sisanya. Hehehe.” Kata Vey dengan semangat.
“Iya, iya sana. Eh? Tunggu, kamu hubungi lagi kakakmu itu. Takutnya dia
tersesat. Ini tempatnya ‘kan cukup sulit ditemui.” Mama Vey berkata sambil mengibas
- ngibaskan kemucing yang dipegangnya pada sebuah lemari besar.
“Iya, Ma. Kak Riko entar pasti nelepon sendiri kalau udah bingung, jadi
gak usah ditelpon. Hahaha.” Vey tertawa sambil melangkah menyusuri anak - anak
tangga yang berbaris rapi ke atas menuju lantai dua.
“Hemmm, anak itu. Ada aja bahan buat bikin kakaknya kesel.” Gumam mama
Vey, tangannya masih saja bekerja membersihkan lemari besar itu.
Baru saja Vey ingin membuka pintu sebuah kamar, dia tiba - tiba mendengar
suara mobil. Telinganya mulai disetel dengan pendengaran yang tajam. Suara seseorang
yang dikenalnya kemudian menyusul bunyi mobil tadi. Begitu jelas, dan itu
membuatnya khawatir. Dia mendekati pagar lantai melihat ke bawah, ke tengah
ruangan tempat mamanya bekerja.
“Mama, Vey mana? Dia udah milih kamar, ya? Di atas ‘kan? Riko gak boleh
ketinggalan, Riko harus milih duluan!” Kata Riko sambil berlari menaiki anak - anak
tangga yang mengantarnya menuju lantai dua.
“Aaaaaa… Tidaaaaak!!!” Vey tiba - tiba berteriak histeris melihat
kakaknya yang datang tiba – tiba pula. Dia segera berbalik badan berusaha
mencari kamar yang paling luas untuknya. Dia segera bergerak agar tidak
didahului kakaknya.
“Rikooo! Hati - hati! Vey juga jangan rebut!! Ya ampun, kalian ini udah
tua - tua tapi masih aja kayak anak kecil rebutan es krim.” Teriak mama Vey
dari bawah. Dan sepertinya kedua anak bersaudara itu tidak mendengarkan
sedikitpun gerutuan mamanya.
“Gak, Kakak harus masuk duluan. Kakak mau lihat.”
“Gaaaaaak, aaaaa… kakaaaak..” Vey berteriak – teriak tidak jelas, dia
berteriak hanya agar kakaknya berhenti berlari mendahuluinya.
Riko masuk lebih dulu menyingkirkan adik perempuan satu - satunya itu.
Riko langsung mengecek setiap sudut kamar termasuk kamar mandi dalam. Vey yang
tertinggal di belakangnya hanya berusaha menghalangi Riko. Riko langsung keluar
kamar dan masuk ke kamar selanjutnya. Vey masih saja berlarian mengejar Riko.
“Kakak jangan maruk doooong..” Riko tidak mendengarkan kata - kata Vey,
dia masih saja memeriksa kamar itu. “Wah ini ni, kakak pilih yang ini!” Kata
Riko masih dengan semangat mengalahkan adiknya.
“Curaaaaaang. Kenapa Kakak gak ngalah sih ke yang lebih muda!!!” Vey
cemberut, mukanya ditekuk - tekuk. Riko tertawa puas mengalahkan adiknya.
“Siapa cepat dia dapat! Kita ‘kan udah dapet jatah dua kamar, yang satu
kamar utama itu kamarnya papa sama mama, jadi terima aja. Hahahaha” Riko tambah
menjadi, perutnya kegelian melihat tingkah Vey yang kesal. Vey berbalik
meninggalkan Riko yan sedang berkubang dalam kesenangannya.
“Huh, kurang cepet, kenapa mesti Kak Riko duluan sih yang dapet kamar
paling luas.” Vey menggerutu sambil melangkahkan kakinya menuju lantai bawah.
“Loh? Kenapa turun? Udah ributnya?” Goda mama Vey sambil tersenyum
melihat Vey yang cemberut.
“Tau ah, Ma. Kak Riko jahat. Dia gak pernah ngalah sama Vey.”
“Vey juga gak pernah ngalah sama Riko, Ma!” Teriak Riko dari atas.
Vey melongokkan kepalanya melihat Riko yang juga melongokkan kepalanya ke
bawah. “Apa lihat – lihat? Hahahaha” Kata Riko sambil meledek Vey.
“Mamaaaa… Tu Kak Riko.” Rengek Vey sambil menunjuk Riko yang lagi
menggodanya. Papanya keluar dari arah dapur. “Ada apa sih kok ribut – ribut?”
“Biasa, Pa. Vey sama Riko bikin ulah lagi. Rebutan kamar.” Adu mama Vey
sambil tersenyum.
“Biarin aja, Pa. Entar mereka juga capek sendiri. Udah biasa seperti itu.
Semakin direlai semakin jadi entar.”
Papa Vey mengangguk – angguk. Dia mendekati Vey yang duduk di ruang
tengah sambil cemberut. “Kamu kalah ya?” Goda Papa Vey.
“Tau ah, Pa.” Jawab Vey dengan jutek. Hatinya masih merasa kesal
dikalahkan untuk kesekian kalinya oleh Riko.
“Kenapa gak kamu lihat dulu gimana kamarnya? Siapa tahu lebih bagus
meskipun lebih kecil.” Bujuk papa Vey. Vey mulai mendengarkan papanya, dia
beranjak dari duduknya. Kemudian melangkah lagi menuju lantai atas meninggalkan
papanya yang masih duduk.
Vey memasuki kamar yang pintunya memang sudah terbuka sejak kejadian
rebutan kamar itu terjadi. Dia memasuki kamarnya, melihat setiap sudutnya. Yah, lumayanlah, masih muat banyak juga.
Gumam Vey menenangkan diri sendiri. Matanya terus menyusuri ruangan yang kini
jadi kamarnya itu.
Dia melangkah mendekati jendela yang lebar, tirainya yang lusuh
disingkapnya. Dengan seketika sinar matahari langsung masuk menyinari ruangan
itu. Vey menganga, matanya terpaku, tubuhnya membatu.
“I… i.. ini, ini indah bangeet. Ya ampuuuun, pemadangannya…” Vey sambil
kehabisan kata - kata. Kamar Vey langsung menghadap pegunungan dan sawah –
sawah yang sedang menghijau. Jendela yang begitu lebar itu segera dibukanya.
Udara segar khas pedesaan langsung menyerbu memasuki kamarnya menggantikan
udara sumpek yang ada di kamar.
Riko melangkah keluar kamarnya melewati kamar Vey. Pintu kamar Vey yang
tidak ditutup rapat membuat Riko penasaran, sedang apa adiknya ini. Dia
mendorong pintu dengan perlahan. Begitu pintu terbuka seluruhnya, Riko
terkejut, dia menganga, matanya terpaku, tubuhnya membatu, sama seperti
kejadian pertama kali Vey melihatnya.
“Seperti lukisan nyata.” Kata Riko tanpa disadari.
“Kenapa Kakak ke sini? Kecewa dengan isi kamar ya?? Hahahaha.” Kata Vey
sambil nyengir. “Aku mau lihat kamar Kakak, mau lihat jendelanya. Apa kayak
punya Vey juga pemandangannya.” Goda Vey, dia segera berlari kecil menuju
pintu, tapi langsung ditangkap oleh Riko.
“Jangaaaaan!! Gak boleh!”
“Kenapa?”
“Gak boleh. Kamu bersihin kamarmu aja. Gak usah ngurus kamar orang lain.”
“Hahahaha, pasti jelek aslinya, makanya itu Kakak gak ngebolehin aku
lihat. Hahahaha.” Vey membalikkan badannya, dia masuk lagi ke kamarnya.
“Ah, sok tahu!” Riko meninggalkan kamar adiknya. Jelas saja Riko tidak
membolehkan Vey melihat kamarnya. Dia tidak mau dibilang kalah, karena pemandangan
yang bisa dilihat dari jendelanya hanyalah semak belukar dan rumah – rumah
penduduk yang bergenting merah diselingi hitam disetiap baris gentingnya.
Bibir Riko menyudut ke atas, mengejek Vey yang
sedang senang karena mendapat bonus pemandangan alam asli dari alamnya sendiri.
Tenang, Rik. Kamarmu lebih luas, jangan
merasa kalah. Harus tetap optimis. Jangan sampai merasa kalah. Bisik Riko
dalam hatinya. Dia menyemangati diri sendiri setelah menyadari apa yang baru
saja dia dapatkan. Kegaduhan yang dibuat mereka seketika menghilang. Rumah kuno
itu kembali dalam kesunyiannya. Vey dan Riko yang tadi bersitegang hanya karena
masalah kamar kini sibuk dengan kamar mereka masing – masing.