15 November 2013

"50 PENA CINTA" part 2



BAGIAN 2
“Kotak Kehidupan”
                Vey masih sibuk membersihkan kamar barunya. Barang – barang miliknya sudah diangkut dengan susah payah ke dalam kamar itu. Beberapa barang yang sudah keluar dari koper berantakan di atas kasur, ada juga yang sudah diletakkan di tempat yang semestinya.
                Kemucing yang dipegang Vey daritadi masih dikibas -  kibaskan ke segala penjuru. Sesekali Vey bersin karena menghirup debu yang beterbangan di dalam kamarnya. Pikirannya mulai merancang berbagai rancangan untuk merenovasi kamar tersebut. Dari berbagai macam cat yang dicocok – cocokkan sampai perkakas yang di pas – paskan untuk tiap sudut kamarnya.
                Kamar yang Vey dapatkan sebenarnya adalah kamar yang bagus tapi kondisi berdebu dan kusam menutup pesona yang sebenarnya. Vey meletakkan kemucing di atas sebuah meja yang ada di dekat tempat tidurnya. Dia mengambil sebuah bolpen dan buku catatan miliknya yang berserakan dengan barang – barang lainnya di atas kasur. Vey duduk dan mulai berkutat dengan catatan kecilnya itu.
                “Yang harus aku beli itu.. cat warna kuning, biar kelihatan ceria, cat warna hijau biar keliahatan segar, emmm, apa lagi ya? Oh, iya, cat warna merah muda, ungu muda. Naah, kuning sisi utara, hijau sisi barat, merah muda untuk sisi selatan, dan ungu muda sisi timur.” Vey menulis semua kebutuhan yang dia inginkan. Sesekali dia memperhatikan tiap baris dinding yang membatasi kamar itu.
                “Oh? Iya, hampir lupa, kamar mandi harus dicat ulang juga, pakai warna biru deh biar lebih kerasa airnya. Hehehe, eh.. bolpen…” Belum selesai dia menulis, bolpennya terjatuh dari tangan. “Aduh, tangan ini udah capek mungkin ya..” Vey menunduk berusaha meraih bolpen yang jatuh tepat di sebelah kakinya. Beberapa kali ayunan tangannya masih belum sampai juga, maklumlah, tempat tidur yang dia duduki lumayan tinggi. Akhirnya dia bangkit dari duduknya dan berjongkok mengambil bolpen itu.
                “Naaaah, dapet.” Vey berhasil mendapatkan bolpennya, dia masih berjongkok. “Eh? Itu apa ya?” Dia melihat sebuah kotak besar di bawah ranjang itu. Tanpa pikir panjang, Vey menariknya keluar. Tidak begitu berat, meskipun kotaknya terlihat besar.
                “Ini apaan ya??” Vey masih saja penasaran, dia mengangkat kotak tadi ke atas tempat tidur. Vey membuka tutup kotak yang lusuh dan berdebu itu. “Haaahjjiiim… aaaah, debunya bandel banget sih..” Kotaknya terbuka. Vey mulai dapat melihat isinya. Amplop – amplop surat, bolpen – bolpen, dan sebuah buku catatan.
Untuk sejenak Vey tertegun, dia terdiam, entah apa yang dia pikirkan, hanya saja tangannya mulai merogoh sebuah amplop yang tersusun rapi di dalam kotak itu. “Seribu sembilan ratus enam puluh enam. Maret..” Vey membaca tulisan yang tertulis di balik amplo itu. Vey semakin penasaran, dia membuka amplop lusuh itu dan menemukan sebuah kertas didalamnya.
“Eh, ada isinya, kayaknya surat deh.” Vey segera mengeluarkan kertas di dalam amplop itu. Mungkin warna kertas tersebut awalnya putih bersih, sekarang warna kertasnya sudah berubah menjadi kecoklatan, tapi masih utuh dan dapat jelas terbaca.
Lombok, 3 Maret 1966.
Hai, sahabat penaku. Senang akhirnya bisa membalas suratmu. Ini adalah surat ketiga yang aku kirimkan untukmu setelah pengiriman keduaku pada tanggal 21 Februari lalu. Aku senang sekali memiliki teman sepertimu. Isi suratmu membuatku bersemangat untuk membacanya.
Seperti perjanjian kita sebelumnya di surat kedua. Di surat ketiga ini kita akan membahas tentang diri kita masing – masing. Tujuannya agar kita bisa tahu sama lain. Baiklah, akan aku mulai penjelasan tentang diriku.
Nama ku Raja, nama panjangnya Raja Kuswantoro. Orang tuaku memberikanku nama seperti itu karena mereka sangat suka dengan peran seorang raja. Menguasai, memimpin, bijaksana dan banyak lagi sifat yang mereka sukai dari seorang raja. Hehehe, alasannya begitu simple ya?
Orang tuaku memiliki sebuah usaha kecil – kecilan di Lombok, sebuah penginapan untuk pelancong yang lagi berlibur ke Lombok. Lain kali, kalau kamu ingin berlibur ke Lombok, mampirlah ke penginapan kami. Kami pasti menerima dengan sepenuh hati.
Keluargaku ada tiga orang, aku, dan kedua orang tuaku. Aku tidak memiliki saudara, oleh karena itu, ketika aku mendapatkan sahabat pena yang dapat di ajak berbagi sepertimu ini, aku benar – benar sangat bahagia. Setidaknya aku masih memiliki kamu sebagai pelipur lara.
Oh ya, ayo kita adakan perjanjian, setiap minggu kita akan berkirim surat, dan setiap pena yang kita habiskan untuk menulis surat – surat kita ini dikirim bersamaan dengan surat yang dikirim. Agar kita tahu sudah sejauh mana tinta pena itu menggambar perjalanan kita.
Vey tersenyum, dia menutup surat itu. Rasa penasaran yang semakin menjadi membuatnya tidak berhenti sampai itu saja. Dia sekarang mengambil sebuah buku catatan, seperti buku harian. Sampulnya berwarna ungu yang memudar, mungkin karena sudah termakan usia. Vey memperbaiki posisi duduknya dan mulai membuka dan membaca buku harian itu. Dia membaca lembar pertama.
Bogor, 10  Februari 1966
Hari ini, aku menerima sepucuk surat dari seseorang yang tidak aku kenal. Alamat dan namaku benar – benar jelas terbaca.  Aku baca dengan begitu hati – hati, siapa tahu dari seseorang yang terlupakan. Dia dari Lombok. Seseorang bernama Raja. Entah Raja siapa, dia hanya menuliskan nama pendek saja. Dia juga menyebutku sahabat pena. Dia mengajakku untuk berteman. Aku sebagai perempuan yang hidupnya terkungkung dalam sebuah rumah yang besar ini, sungguh sangat senang menyambutnya. Mendapatkan seorang teman untuk pertama kalinya adalah hal yang paling membahagiakan untukku.
Tulisannya begitu rapi, indah dan terlihat menarik untuk dibaca. Aku segera membalasnya, meskipun ada sedikit rasa ketidak percayaan dalam diri ini, tetapi, apa salahnya dicoba?
Vey mulai kegirangan, hobinya memang membaca kisah - kisah yang ditulis oleh penulis yang berisi tentang berbagai cerita cinta, tapi kebanyakan fiksi. Dan kali ini dia menemukan sebuah kisah lagi, kisah yang tepat ada dihadapannya. Kisah nyata, pikirnya.
“Wah, kayaknya seru ni.” Vey mulai membaca lagi, dia meneruskan bacaan di buku harian itu. Pikirannya mulai fokus, matanya hanya tertuju pada satu posisi, yaitu buku harian lusuh yang dipegangnya.
Aku tuliskan beberapa kata yang menurutku indah untuk dibaca oleh orang. Sebenarnya sulit diungkapkan, itu karena aku jarang berkomunikasi dengan lingkungan luar. Orang tuaku selalu mengurungku dengan alasan aku seorang anak gadis yang perlu dijaga. Ungkapan – ungkapan yang aku tulis untuknya adalah ungkapan – ungkapan yang ingin aku sampaikan kepada setiap orang yang ingin aku miliki, seorang teman.
Mungkin aku tidak bisa mengukur bagaimana ukuran kata dan kalimat yang pantas untuk dituliskan untuk seseorang yang baru aku kenal. Dan semoga kata – kata itu dapat membuatnya senang menerima suratku.
Vey mengernyitkan alisnya, dia sepertinya memikirkan sesuatu, dia terus membuka lembar demi lembar dengan cepat, tidak membacanya, hanya membuka saja.
“Gimana ya ending-nya? Aku pengen langsung lihat di lembar paling akhir aja deh. Mungkin mereka akhirnya ketemu.” Vey membuka lembaran paling akhir. Kosong. “Loh? Lembar paling akhir kosong?” Vey kembali membuka lembaran buku itu, tetapi sekarang dia membukanya dari belakang. “Oh? Dia menulisnya hanya sampai lembar ke – 19 dari belakang? Kenapa 19 lembar selanjutnya kosong? Apa mungkin dia ganti buku harian lain ya? Kalau aku sih bakal nyelesain buku ini, baru kalau sudah full ganti buku baru. Hemm, yasudahlah, itukan urusannya. Aku bagian baca aja. Hehehe”
Vey membaca tulisan akhir di buku itu. Vey memperbaiki posisinya agar lebih enak membaca temuannya, dengan posisi begitu dia dapat lebih berlama – lama membaca lembar demi lembar tersebut.
Bogor, 4 November 1969
Bolpen ke - 50 yang dia kirim masih ada tintanya, dia bilang kalau kita harus menghentikan ini semua sebelum semua terluka. Cukup kita berdua saja yang terluka, jangan sampai orang lain ikut terluka. Itu adalah kata – katanya.aku tidak bisa terima. Untuk pertama kalinya aku berjuang untuk diriku sendiri. Sebelumnya aku sudah mengikuti semua keinginan orang tuaku. Untuk kali ini saja ijinkan aku untuk memilih jalanku sendiri, tetapi mengapa dia tidak mendukungku? Aku sudah menceritakan kalau aku akan dijodohkan, dan aku juga sudah menceritakannya bahwa aku juga akan menentang perjodohan itu. Tetapi mengapa kamu lebih memilih untuk menghentikan kisah kita?
Aku akan membalas suratnya, tetapi aku tidak akan menyertakan bolpenku ini, bolpenku masih ada tintanya, itu pertanda bahwa aku masih belum boleh menghentikan suratku untuknya. Dia bilang dia akan di pasung jika dia tidak mengikuti kata orang tuanya, tetapi bukankah cinta butuh pengorbanan? Kenapa dia tidak berusaha untuk menolaknya? Sudah lebih dari 3 tahun kebersamaan ini, apakah harus berakhir dengan begitu sia – sia? Aku akan memperjuangkan cinta ini. Meskipun kita sama – sama dijodohkan, aku tidak ingin berpisah hanya karena keingina orang lain, meskipun aku tidak tahu harus berbuat apa.
Vey terkejut membacanya, dibeberapa bagian kertasnya seperti bekas basah. Membentuk bulatan – bulatan yang sudah mengering. Mungkin bekas tetesan air mata. Vey mengernyitkan dahinya. “Hah? Apa akhirnya sedih? Ah, enggak, enggak, aku gak suka kisah yang berakhir sedih. Mungkin aku harus baca semuanya agar mengerti maksudnya. Ini mungkin milik penghuni sebelumnya.” Vey menutup buku harian itu, dia berpikir sejenak.
“Bukankah papa bilang rumah ini milik teman nenek yang sudah lama gak ditempati. Siapa ya namanya? Kenapa di buku ini gak ada keterangan nama? Apa aku kurang teliti bacanya? Bukankah nama biasanya ada paling depan? Tapi.. di deppan tadi gak ada namanya..” Vey membuka buku itu lagi. Belum sempat Vey membacanya, mama Vey memanggilnya dari bawah.
“Vey, Riko.. cepet ke bawah, makan dulu.” Teriak mamanya. Suara pintu Riko dari sebelah terdengar terbuka. Vey segera meletakkan buku yang dipegangnya di dalam kotak semula. Dia segera menuju pintu untuk memenuhi panggilan mamanya.
Vey melangkah keluar kamar, tapi pikirannya masih melayang, membayangkan beberapa kalimat yang dia baca di lembar – lembar tadi. Mungkin kotak itu berisi kisah kehidupan pemilik rumah ini sebelumnya. Pikiran Vey masih saja terikat pada kotak lusuh itu meskipun mulutnya sudah mulai mengunyah makanan yang disiapkan mamanya.
Share:

2 komentar: