BAGIAN 17
“Akhir Kisah”
Dua minggu berlalu terlalu lama menurut Vey dan Dirga. Selama dua minggu itu mereka masih saja belum pernah
saling menghubungi meskipun rindu semakin menjadi. Vey baru saja keluar dari
pesawat yang ditumpanginya bersama Riko, mama, papa, dan Nek Ningsih. Koper
yang dibawanya tidak begitu banyak seperti pertama kali menginjak tanah Lombok.
Hanya berisi baju – baju santai untuk dipakai dua hari di Lombok. Mereka tidak
bisa terlalu lama bepergian. Proyek bisnis yang mereka garap masih belum
selesai, itulah alasan keterburu – buruan mereka.
Ramon sudah menunggu mereka di depan bandara. Pakaiannya begitu rapid an
sopan. Sebenarnya lima menit lalu acara pernikahannya sudah dimulai olehkarena
itu Ramon sudah siap dengan dasi kupu – kupunya saat menjemput Riko dan
gerombolannya. Vey terlihat begitu cantik dengan gaun yang sudah di pakainya di
toilet tadi. Riko dan papanya sudah siap dengan jas yang gagah dan rapi, Nek
Ningsih dan mama Vey juga sudah berdandan dengan dandanan yang sederhana tapi
anggun.
Mobil Ramon melaju dengan kencang di jalan yang beraspal hitam. Sesekali
bunyi klakson Ramon terdengar berdenging untuk memperingatkan orang – orang
yang akan dilewatinya. Mobil Ramon terus berpacu mengikuti jalan menuju arah hotel,
tempat pernikahan Nek Mira dan Kek Raja melangsungkan pernikahannya.
Tak berapa lama kemudian, mobil Ramon sudah memasuki area hotel. Begitu
sesak kondisi parkiran mobil di hotel itu. Bukan penyewa kamar, tapi kesesakan
itu karena tamu – tamu Kek Raja yang datang dari berbagai daerah dan dari
berbagai kalangan. Ini benar – benar acara besar. Ramon menyelipkan mobilnya
diantara beberapa mobil yang sudah diparkir terlebih dahulu. Segera setelah
itu, mereka turun dan tergesa – gesa memasuki area resepsi.
“Selamat datang tamu istimewa.” Kata seorang MC yang membawakan acara
pernikahan Kek Raja dan Nek Mira. “Silahkan duduk di tempat sudah kami sediakan
untuk kalian.” Mereka pun duduk di bangku paling depan, bangku yang sudah di
sediakan khusus untuk mereka. Setelah mempersilahkan Vey dan yang lainnya
duduk, MC tadi melanjutkan lagi acara resepsi pernikahannya.
“Terima kasih telah sabar menunggu. Acara selanjutnya yaitu sambutan oleh
orang – orang terdekat dari Raja Kuswantoro dan Mira Laksmina. Baiklah, saya
persilahkan Dirga Dirwan Putra sebagai cucu satu – satunya dari Raja
Kuswantoro. Mata Vey langsung mengarah pada Dirga yang duduk agak jauh darinya.
Vey benar – benar memperhatikann tiap gerak Dirga.
Dirga memenuhi panggilannya untuk menyampaikan sebuah sambutan dari pihak
keluarga. “Terima kasih kesempatannya. Saya berdiri di depan sini dengan
kondisi jantung yang benar – benar berdegup kencang karena saya akan memberikan
sebuah sambutan untuk Kakek saya sendiri.” Beberapa tawa tamu terdengar
kesetiap telinga yang ada di ruangan tersebut. “Yang akan saya sampaikan
sebenarnya bukan seperti sambutan yang biasanya orang – orang penting sampaikan
ketika membuka sebuah acara.” Dirga terus melanjutkan kata – katanya dengan
tenang.
“Berawal dari sebuah kisah bermakna yang mengantarkan kita sampai pada
titik indah ini. Suatu hari rumah saya di ketuk oleh seorang gadis yang menggandeng
neneknya di samping tubuhnya. Mereka berdua menanyakan apakah ada yang bernama
Raja Kuswantoro pada pelayan rumah saya, Pak Umar. Dengan kebodohan yang saya
miliki saya membuat Pak Umar berkata bohong. Pak Umar saya suruh berkata bahwa
Raja Kuswantoro bukanlah pemilik rumah itu.
Mereka pun pergi dengan tampang yang kecewa. Tapi beberapa hari kemudian
gadis yang tadi datang mencari Kek Raja itu menaiki pagar rumah kami. Katanya
dia terpaksa melakukan hal tersebut demi bertemu dengan Kek Raja. Waktu itu
wajahnya begitu polos terlihat, dan itulah yang membuat hati saya luluh.”
Vey tercengang mendengar kata – kata Dirga yang begitu tiba – tiba.
“Berkat perjuangannya itu, Kek Raja dan Nek Mira akhirnya bersatu kembali
setelah 44 tahun berpisah. Kata mereka, pena ke – 50 Kek Raja-lah yang
mengantarkan Nek Mira pada Kek Raja. Tapi menurut saya, gadis inilah yang
mempersatukan mereka kembali. Siapa yang tidak luluh pada gadis seperti ini.
Saya saja…” Dirga mengambil nafas panjang. Niatnya untuk mengatakan
perasaannya pada Vey di depan umum ini sudah beberapa hari direncanakan dan
dipikirkan dengan matang. “Saya saja, sudah jatuh cinta pada gadis yang penuh
semangat ini.” Dirga memandang pada Vey yang masih kaget dengan tekad Dirga.
Para tamu bersorak – sorak mendengar pengakuan Dirga. Seorang pemuda tampan
menyatakan cinta di depan umum, itu adalah perbuatan yang begitu keren. Dan
semua tamu setuju hal itu, mereka masih bersorak – sorak riang.
“Maaf ya, Kek, Nek. Dirga pinjam podium ini untuk ngungkapin perasaan,
bukan untuk sambutan, soalnya Dirga rasa, ungkapan perasaan itu lebih penting
dari sebuah sambutan.”Dirga tersenyum melihat Kek Raja dan Nek Mira yang
menertawai perbuatannya itu. “Saya, Dirga Dirwan Putra, jatuh cinta pada gadis
yang telah membuat hari pernikahan ini akhirnya terlaksana juga. Vey.” Dirga
menunjuk Vey yang duduk tepat di depan podiumnya. Ungkapan cinta Dirga
mengakhiri sambutannya di atas podium. Dirga tersenyum pada Vey. Kemudian dia
turun dari podium dan menghilang di sesaknya tamu.
Vey masih tercengang. Dia masih belum percaya dengan yang baru saja
terjadi dihadapannya. Dirga menyatakan perasaannya begitu mendadak dan dengan
senyum kemudian dia menghilang dari hadapan Vey. Vey baru tersadar dari
cengangnya. Matanya mulai menyusuri setiap sudut ruangan untuk mencari sesosok
manusia yang baru saja membuatnya mendapat kejutan listrik.
Dirga tidak ada. Batang hidungnya tiba – tiba menghilang begitu saja
setelah membuat seisi ruangan itu heboh. Vey berdiri dari duduknya, dia ingin
mencari Dirga. “Vey? Mau kemana?” Tanya mamanya yang duduk tepat di sebelah
kanan Vey. Vey tidak menjawab pertanyaan mamanya. Pikirannya masih terfokus
pada Dirga. Dimana orang itu? Dimana?
Kenapa tiba – tiba menghilang? Bisik Vey dalam hati. Matanya terus
memperhatikan setiap wajah yang ada diruangan. Kakinya mulai melangkah pergi
menjauhi tempat duduknya.
Vey terus berjalan sampai keluar ruangan untuk mencari Dirga yang tiba –
tiba menghilang. Kemudian dia berhenti di depan pintu masuk hotel. Vey benar –
benar kehilangan jejak Dirga. Hendak kembali ke ruangan lagi tiba – tiba
pundaknya ditepuk oleh seseorang. Vey segera menoleh, “Dirga..” Kata Vey. “Aku
Ramon, Vey. Bukan Dirga.” Terlihat di wajah Vey kekecewaan yang tiba – tiba
merasuki tubuhnya.
“Kamu cari Dirga?” Tanya Ramon.
“Iya, kamu lihat dia?” Tanya Vey lemas. “Dimana dia sekarang, Mon?” Tanya
Vey lagi tak sabar menunggu jawaban Ramon.
“Loh? Kamu gak tahu? Dirga itu langsung terbang ke Belanda. Ada acara
kumpulan pebisnis hotel seasia – eropa. Cuma satu minggu kok. Entar juga
balik.” Kata Ramon dengan santai.
“Beneran, Mon?”
“Ah, terserah deh kalau gak percaya. Kalian itu sama aja, sama – sama suka
tapi gak ngubungin satu sama lain. apa gunanya ada ponsel? Cepet hubungi. Siapa
tahu dia masih ada di bandara, belum berangkat.” Ramon memberikan saran pada
Vey yang terlihat kebingungan mendengar kabar keberangkatan Dirga ke Belanda
itu.
Vey kelimpungan, dia segera mengambil ponsel yang ada di dompet pestanya.
Segera dibukanya kontak telepon untuk mencari nomer Dirga. Dirga.. Dirga.. Nah, ketemu. Vey langsung menekan tombol hijau di
ponselnya. Tidak seperti yang diharapkan. Nomer Dirga sudah tidak aktif. Vey
begitu lemas. Tangannya terkulai. Ponsel yang digenggamnya kini terasa begitu
berat di angkat.
“Gimana Vey?” Tanya Ramon. Vey tak banyak bicara. Dia hanya menanggapi
pertanyaan Ramon dengan gelengan kepala. Langkahnya mulai gontai. Dia melangkah
masuk ruangan lagi. Ramon yang ada di hadapannya tidak begitu di pedulikan.
Ramon bertanya tentang sesuatu, tapi Vey terus saja berjalan tak mendengarkan
Ramon. Ramon hanya geleng – geleng melihat perubahan sikap Vey yang begitu
cepat.
Pesta yang sangat meriah, tidak membuat Vey semangat menikmatinya. Dia
masih saja terpikir tentang kata – kata yang dikatakan Dirga tadi. Apa benar dia suka aku? Tapi kenapa dia
langsung ninggalin aku gitu aja tanpa kebar terlebih dahulu. Apa dia cuma main
– main dengan kata – kata yang sudah di ucapkannya tadi? Vey terus berpikir kenapa Dirga bisa berbuat
seperti itu pada dirinya.
Beberapa candaan yang di keluarkan MC acara tetap tidak membuatnya
merasakan pesta yang ramai. Beberapa menit berlalu dengan suasana yang begitu
sunyi bagi Vey.
Pesta yang berlangsung tiga terasa begitu cepat berlalu. Vey baru
tersadar dari lamunannya setelah beberapa orang tidak sengaja menyenggol kursi
tempatnya duduk karena berdesakan untuk keluar ruangan. “Udah selesai pestanya,
Pa?” Tanya Vey pada papanya yang duduk di sebelahnya. Papanya mengangguk
mengiyakan.
“Ma, Vey ke toilet dulu ya.. mau cuci muka bentar.” Vey izin ke kamar
mandi untuk sekedar menyegarkan diri. Vey melangkah menjauhi tempat duduknya.
Vey sudah sampai di toilet yang tidak begitu jauh dari ruangan acara.
Diputarnya kran air dengan perlahan, sedikit demi sedikit air keluar. Vey
langsung menengadahkan tangannya membentuk sebuah mangkok untuk menampung air
yang keluar dari kran. Ketika tampungan air di tangannya sudah penuh, langsung
di usapkan pada mukanya. Beberapa kali dilakukannya hal tersebut sampai dirasa
cukup segar.
Sedikit make up setelah cuci
muka sudah di oleskan Vey pada kulit mukanya yang halus. Setelah itu dia keluar
untuk bergabung lagi dengan keluarganya. Sekarang Vey sudah tidak begitu tegang
seperti tadi. Air yang dibasuhkan pada mukanya sedikit mengurangi rasa lusuh
yang dia rasakan.
Sesampainya di ruangan, Vey keheranan. Sepi. Tadi waktu Vey masuk,
suasananya tidak begitu sepi, masih ada tamu – tamu yang masih lalu lalang
keluar ruangan, tapi sekarang, satu pun tidak ada. Vey juga tidak menemukan
mama, papa, Nek Mira, dan Riko di ruangan itu. Vey keluar ruangan, dia mencari
keluarganya di lobi hotel, siapa tahu mereka berkumpul di sana, pikir Vey.
Sesampainya di lobi hotel, Vey hanya menemukan Ramon yang sedang duduk
membaca Koran hari ini. Vey menyapa Ramon, “Mon? Lihat keluargaku gak?”
“Oh, mereka udah kerumahku duluan, rumah dipinggir pantai itu. Bareng Nek
Mira dan Kek Raja. Aku tadi disuruh nungguin kamu.”
“Loh? Memangnya mereka naik mobil siapa aja?”
“Pak Santo kan bisa di pake Vey, Nek Mira, Kek Raja, dan Nek Ningsih
diantar Pak Santo. Kalau mamamu, papamu, dan Riko bareng Pak Umar.”
“Loh? Pak Uban bisa nyetir?”
“Yaiyalah, dia ‘kan dulu bekas sopir. Yaudah ayo langsung berangkat, biar
gak kelamaan. Nanti kata Kakek ada acara bakar – bakar. Pasti seru.” Ramon
berjalan mengiringi Vey yang juga mulai melangkah menuju mobil Ramon di
parkiran hotel. Vey tidak begitu banyak tanya lagi, dia menuruti saja apa yang
dikatakan Ramon padanya.
Perjalanan menuju rumah Ramon yang sudah dihadiahinya pada Nek Mira dan
Kek Raja tidak begitu terasa lama oleh Vey. Lamunannya membuat segalanya
berjalan di luar perkiraan. Tak berapa lama berjalan, mobil itu sudah memasuki
halaman rumah. Ramon menghentikan mobilnya tepat di tengah – tengah halaman.
“Loh? Kemana mereka?” Tanya Ramon heran.
“Katanya sudah berangkat duluan?”
“Takutnya terjadi sesuatu di jalan. Tunggu, aku telepon Riko dulu.” Ramon
mengambil ponselnya untuk menghubungi Riko.
“Halo? Kamu dimana, Ko? Kenapa belum sampai?”
“Mobil yang disetir Pak Santo
bannya bocor. Kita masih dorong – dorongan ni. Bingung cari tempat tambal ban
mobil. kamu ke sini aja. ‘Kan yang lebih ngerti daerah sini kamu.”
“Owalah, iya iya, tunggu kalau gitu.” Telepon terputus. Ramon segera
menghidupkan mobilnya. “Emmm, Vey. Kamu tunggu di sini aja, gimana? Biar kamu
yang nyiapin tempat. Mau ‘kan?”
“iya, boleh deh.”
Vey turun dari mobil Ramon. Wajahnya begitu datar, tak berubah sejak
Dirga selesai memberikan kejutan sambutan tadi di acara resepsi pernikahan Nek
Mira dan Kek Raja. Baru kali in Vey merasakan bosan yang begitu dalam. Itu
semua karena orang yang Vey harapkan tiba – tiba meninggalkannya begitu saja.
Mobil Ramon meluncur keluar halaman rumah menuju tempat Riko dan yang
lainnya berada. Vey masih diam termangu di tempat turunnya dia tadi. Baru saja dia sadari hal bodoh yang
dilakukannya. “Kenapa tadi aku gak minta kunci rumahnya ya ke Ramon? Huft..
Bodohnya. Sekarang jadi bingung sendiri nyari pintu masuk.” Vey berjalan
mendekati pintu rumah. Seperti orang yang sedang kebingungan karena tidak
menemukan lubang untuk masuk ke rumah.
“Oh? ‘Kan ada tempat nunggu yang enak.” Vey berjalan menyusuri jalan
kecil di samping rumah. Sebuah tempat berlantai kayu di bagian belakang rumah
yang langsung menghadap pantai adalah tempat tujuan Vey. Di tempat itulah
terakhir kali dai bertemu dan berbicara dengan Dirga dua minggu lalu.
Dua buah kursi santai terbuat dari kayu berjejer menghadap pantai. Vey
duduk disalah satu kursi tersebut. Matanya memandang pantai yang berombak kecil
– kecil. Sesekali ingatannya kembali pada saat dia dan Dirga bertemu di tempat
ini dengn suasananya tidak begitu menyenangkan.
Kali ini suasananya berbeda, begitu sunyi dan tenang. Bisa dibilang
menyenangkan, Vey betah berlama – lama di tempat itu. Meskipun besok dia sudah
pulang ke Bogor, hatinya tidak begitu berat seperti dulu saat hendak pulang
untuk pertama kalinya dari Lombok. Vey sekarang lebih tenang, mungkin karena
sudah lelah dengan kondisi yang sedang menghimpitnya sekarang.
“Bukankah aku sudah bilang jatuh cinta padamu tadi? Kenapa wajahmu malah
tampak murung?” Suara Dirga tiba – tiba terdengar di belakangnya. Vey benar –
benar kaget, dia segera menoleh ke arah suara untuk memastikan apa benar itu
Dirga. Kemudian dia berdiri dan melangkahkan kakinya untuk mendekati Dirga
perlahan – lahan.
“Dirga?” Vey kaget, dia tidak menyangka Dirga yang dipikirkannya sejak
tadi, sekarang ada di hadapannya. “Kamu bukannya ada urusan bisnis di luar
negeri?” Tanya Vey. Dia masih belum percaya bahwa yang ada di depannya itu
adalah Dirga. Dirga tersenyum, di hatinya begitu senang melihat Vey yang
dirindukannya.
Dirga langsung memeluk Vey. Rindunya benar – benar dalam pada Vey. Vey
terkejut mendapat pelukan dari Dirga. Kali
ini aku tidak akan ragu lagi untuk memelukmu. Tidak akan kuulangi kesalahanku
dulu. Gumam Dirga yang masih memeluk Vey. Hati Vey berdesir. Angin pantai
terasa masuk ke dalam relung – relung hati dan pikirannya, benar – benar sejuk.
“Aku sayang kamu, Vey. Benar – benar sayang.” Vey tersenyum haru dalam
pelukan Dirga. Rindunya pada Dirga seakan tumpah saat itu juga. Rasa rindu
mereka melebur menjadi satu dalam satu ikatan hati yang tak bisa dipisah. “Aku
juga sayang kamu, Dirga.” Tak disadarinya, air mata mulai membasahi pipi Vey. Vey
menangis bukan karena sedih, tapi karena dia senang dapat bertemu dan
menyampaikan rindunya.
Tiba – tiba terdengar suara sorakan yang berbunyi serentak dari belakang
punggung Dirga. Vey terkejut dan melepaskan pelukannya. Di sana terlihat ada
Nek Mira, Kek Raja, Nek Ningsih, mama, dan papanya. “Loh? Mama? Papa? Yang lain
juga di sini.. kok kalian keluar dari dalam rumah? Katanya kalian….” Kata –
kata Vey terputus, kemudian dia mulai sadar bahwa hal ini sepertinya sudah ada
yang merencanakannya. “Oh oh oh, Vey tahu, kalian yang merencanakan ini ya?”
“Hahahaha, kalau gak direncanain gak mungkin romantis kayak gini
jadinya.” Ledek Ramon sambil membawa satu kardus minuman jeruk. “Dan sekarang
kita mulai pesta pantainya. Kita barbeque-an.”
Lanjut Ramon sambil meletakkan kardus minuman itu di bawah. “Ayo bantu angkat pemanggangnya!
Jangan pelukan terus.” Ledek Ramon yang sambil berjalan masuk rumah untuk
mengambil perlengkapan lainnya.
“Kak Riko dimana?” Tanya Vey yang sejak tadi sudah mencari – cari batang
hidung kakaknya.
“Aku di sini.” Kata Riko yang baru saja datang dengan menggandeng seorang
cewek cantik.
“Loh loh? Siapa ni?” Tanya Vey sambil senyum – senyum hendak menggoda
kakaknya.
“Pacar baru kakakmu.” Sahut Nek Mira yang membawa bungkusan berisi sosis
untuk acara barbeque tersebut.
“Hah? Sumpah? Hahahaha, selama ya Kakakku… Akhirnya punya juga.” Vey
tertawa melihat kakaknya ternyata sudah bisa menggandeng cewek cantik.
“Selamat juga ya udah dapet si Mr. Kiss..” Riko mulai meledek Vey. Vey
terkejut mendengar kata – kata Riko. Pikirannya langsung mengarah pada hari dimana
Riko membuatnya malu karena masalah malam pinggir jalan dulu. Mata Vey melotot
pada Riko. Itu sebuah isyarat agar Riko berhenti mengatakan hal itu. Riko
mengetahuinya, tapi dia lebih suka menentang isyarat dari Vey. Dia terus
menggoda Vey dengan kata – kata “Mr. Kiss”.
Dirga yang ada di dekat Vey merasa penasaran dan langsung bertanya pada
Riko, “Mr. Kiss? Maksudnya apaan?” Tanya Dirga begitu penasaran. “Itu lo, Dir…”
mulut Riko langsung disumbat dengan tangan Vey. “Aaaarhg. Gak ada apa – apa
kok. Udah gak usah di bicarain, gak penting kok.” Kata Vey dengan senyum –
senyum malu.
Ramon muncul dari dalam rumah dengan mengangkat sebuah pemanggang. “Eh?
Adik ipar datang. Ayo bantu Kakak iparmu ini.” Kata Ramon sambil bersusah payah
menggeret pemanggang tadi.
“Hah? Adik ipar?” Tanya Vey kaget.
“Pacar Riko itu adiknya Ramon, Vey.” Kata Kek Raja yang sejak tadi hanya
diam saja sambil membantu – bantu membereskan meja untuk pesta.
“Kok beda ya?” Tanya Vye setengah meledek. Mereka tertawa mendengar kata
– kata Vey. Setelah tawa aga mereda terdengar sebuah pembelaan dari Ramon yang
tidak ingin kalah. Setelah pembelaan dari Ramon, muncul lagi kata – kata
ledekan dari sisi lain. dan begitu seterusnya sampai mereka memulai pesta yang
mereka adakan sendiri.
Sore itu menjelang malam. Suasananya sangat mendukung untuk acara
keluarga seperti yang diadakan mereka. Tempatnya pun begitu indah untuk
dijadikan tempat kumpul bersama. Menit – menit selanjutnya mereka terus ramai
dengan ledekan dan cerita – ceria yang sambung – menyambung dari satu orang ke
orang berikutnya. Sejenak mereka melupakan segala hal yang pernah membuat
mereka sedih dan menangis. Hanya perasaan bahagia yang tersisa.