BAGIAN 14
“Rencana Tak Terduga”
“Sudah dapat yang aku titipkan, To?”
“Sudah Pak. Ini. Tadi saya masih curi – curi kesempatan untuk memintanya
pada Non Vey.”
“Ini benar – benar nomer teleponnya ‘kan?”
“Benar, Pak.”
“Terima kasih ya, To.”
“Wah, bukan apa – apa kok, Pak. Kalau demi Tuan Raja apa pun bisa Santo
ini kerjakan.” Pak Santo pergi meninggalkan Pak Uban dengan secarik kertas
berisi nomer telepon Vey. Pak Uban segera mengambil ponselnya. Dia menekan
tombol – tombol angka mengikuti urutan angka yang ada di kertas tersebut.
“Halo? Siapa ya?”
“Ini Pak Umar, Non. Pelayan Tuan Dirga, emm, Non biasanya manggil saya
Pak Uban.”
“Oh, Pak Uban? Saya sudah nunggu
telepon dari Bapak. Kata Pak Santo, sopir Dirga itu Pak Uban mau nelepon saya
berkaitan dengan Raja. Betulkan, Pak?”
“Benar, Non. Non ada di hotelkan?”
“Iya, Pak. Jadi gimana nih rencana
Pak Uban sebenernya?”
“Gini, Non. Saya akan bawa Tuan Raja ke hotel dengan sembunyi – sembunyi
agar tidak ketahuan Tuan Muda Dirga.”
“Waah waah. Pak Uban ini nekad
banget ya? Gak takut dipecat ni kalau sampai ketahuan Dirga.”
“Saya milik Tuan Raja, Non. Bukan milik Tuan Muda Dirga. Yang berhak
memecat saya hanyalah Tuan Raja. Saya tahu benar apa yang diinginkan Tuan Raja.
Beliau hanya ingin mendapatkan kebahagiaan masa lalunya yang tertunda. Saya
tahu Non bisa membantunya. Oleh karena itu saya bicarakan rencana ini dengan
Non Vey.”
“Oh, baik kalau begitu, Pak. Ini
keputusan yang benar. Baiklah, Nanti Pak Uban ke hotel dengan Raja. Saya akan
bawakan Nek Mira nantinya. Kita sediakan tempat untuk mereka bertemu.”
“Baik, Non. Sebentar lagi saya langsung berangkat.”
“Sekarang? Kenapa cepat sekali? Apa
Raja tahu kalau dia akan dipertemukan dengan Nek Mira?”
“Tidak Non. Saya hanya bilang bahwa saya akan mempertemukan Tuan Raja
dengan seseorang yang dulu ingin dia temui. Begitu saja. Saya ingin memberinya
kejutan.”
“Waah, oke deh kalau gitu. Saya
juga akan bilang begitu pada Nek Mira.”
Beberapa menit kemudian telepon itu terputus. Mereka sudah menyusun
rencana pertemuan Raja dan Mira. Mereka benar – benar berharap rencana itu
berjalan dengan mulus demi kebahagian dua belah pihak.
***
Nek Mira duduk di bangku dekat kolam renang, bangku yang tadi malam
diduduki oleh Vey dan Dirga. Wajah Nek Mira begitu tenang memandang kolam yang
beriak – riak airnya. Pagi itu hotel begitu sepi. Mungkin karena hari libur
sudah berlalu. Nek Mira masih saja menikmati suasana sepi tersebut.
Sebuah buku harian di keluarkan Nek Mira dari tas kecil yang di
centelkannya di bahu kursi. Buku harian itu adalah buku yang disimpannya
bersama surat – surat dan pena – pena Raja, Vey sengaja membawanya beserta
beberapa surat dan pena yang dirasa penting untuk pencarian Raja.
Nek Mira juga memegang sebuah pena yang tintanya sudah mengering. Itu
pena ke – 50 milik Raja. Pena terakhir yang dikirimkan Raja untuknya. Nek Mira
memperhatikan kedua benda itu. Dia meletakkan keduanya diatas meja. Kemudian
Nek Mira mengambil sebuah pena lagi dari tasnya. Pena itu baru dibelinya tadi
di toko sebelah hotel.
Buku harian yang sudah kusam itu dibukanya. Nek Mira mulai menggores
tinta diatas kertas kusam itu.
Lombok, 5 Juni 2013
Pena ke – 50 Raja membawaku ke
tanah asalnya. Ini adalah sebuah perjuangan untuk mendapatkan cinta yang sudah
lama aku kubur dengan keputusasaan. Pertemuanku dengan seorang anak yang
memiliki semangat seperti Raja mengawali keputusanku untuk melakukan perjalanan
ini.
Tidak ada kisah yang berakhir dengan
sedih, jika memang nantinya sedih, itu berarti masih belum akhir. Anak itu
selalu mengatakan itu padaku. Dan anehnya, aku mempercayai kata – katanya.
Semangatku benar – benar tumbuh kembali.
Fakta yang baru aku ketahui
beberapa waktu lalu tentang kedatangannya ke Bogor adalah salah satu alasan
yang juga membuatku mengingat kembali kisah – kisah masa laluku dengannya.
Vey, anak yang menyemangatiku itu,
membuatku semakin bersemangat ketika dia berkata bahwa “Ini bukan masalah umur,
Nek. Tapi ini masalah cinta.” Dia menyadarkanku bahwa cinta tidak mengenal
umur. Umurku memang sudah tua, dan sudah begitu rentan. Tapi kalau masalah
cinta, masalah cintaku dengan Raja, aku masih menyimpannya sampai sekarang. Aku
masih mencintainya seperti dulu waktu kami sama – sama merasakan cinta ini.
Pencarianku di tanah Lombok ini
tidak akan pernah kusesali bila akhirnya aku masih belum bisa menemukannya.
Tidak akan pernah kusesali perjuangan cinta ini. Hanya sekali dalam hidup aku
merasakan cinta seperti ini, hanya sekali juga akan aku labuhkan cinta
sejatiku. Hanya padanya. Raja Kuswantoro.
Mira Laksmina…
Nek Mira menutup buku harian itu. Dia menghela nafas panjang. Begitu
banyak hal yang dipikirkannya akhir – akhir ini. Tapi anehnya itu malah
membuatnya lega. Nek Mira tersadar dari lamunannya ketika sebuah panggilan
telepon menggetarkan ponselnya. Itu dari Vey.
“Neneeeeeek. Kemana aja? Vey nyari
Nenek muter – muter gak ketemu.”
“Ada apa, Sayang?” Tanya Nek Mira. Nek Mira tersenyum mendengar suara Vey
yang begitu khawatir.
“Vey ada perlu. Ada seseorang yang
mau ketemu Nenek. Penting. Menyangkut Raja, Nek.”
“Oh? Benarkah? Baiklah kalau begitu Nenek langsung ke tempatmu. Kamu
dimana?”
“Vey di kamar, Nek. Yaudah, Vey
tunggu ya..”
Telepon terputus, Nek Mira langsung bergegas mendatangi Vey. Dia benar –
benar terburu – buru karena mendengar kabar dari Vey tentang Raja. Nek Mira
menyusuri lorong – lorong kamar hotel. Pikirannya terus melayang, siapa orang
yang akan membawa kabar tentang Raja. Di telepon tadi Vey begitu semangat
menyampaikan kabar itu. Itu berarti kabar gembira, bukan kabar buruk. Pikir Nek
Mira sepanjang jalan menuju kamarnya.
Setibanya di kamar hotel, Nek Mira semakin penasaran apa yang sedang
terjadi. Di dalam kamar sudah ada Vey, Riko, dan Ramon. Mereka berkumpul di
kamar Nek Mira. Wajah mereka tampak berseri – seri. Vey menyambut Nek Mira yang
baru sampai. Dituntunnya Nek Mira untuk duduk di pinggir tempat tidur.
“Ada apa, Vey? Tumben kalian berkumpul di kamar Nenek? Apa ada masalah?
Atau ada apa? Kenapa wajah kalian sulit diprediksi?” Tanya Nek Mira begitu
penasaran.
“Nenek, pake acara diprediksi. Kayak ujian aja. Hahaha.” Riko tertawa,
diikuti dengan tawa kecil yang dilepas Vey dan Ramon.
“Apa kalian sudah menemukan Raja?” Nek Mira menatap semua wajah dalam
ruangan itu. “Vey? Apa benar itu?” Tanya Nek Mira lagi.
“Nek, Pak Uban ingin bertemu dengan Nenek, katanya beliau mau menyampaikan
sesuatu tentang Raja Kuswantoro.”
“Pak Uban? Siapa itu Vey?” Tanya Nek Mira. Rasa penasarannya semakin
menjadi ketika Vey menyebutkan satu lagi nama yang belum dikenalnya.
“Dia pembantu Dirga yang dulu pernah berbohong pada kita tentang tempat
tinggal Raja.” Kata Vey dengan santai. “Nenek tunggu di sini ya. Vey mau
panggil Pak Uban dulu.” Vey berkata dan Nek Mira mengangguk menanggapinya.
Vey keluar kamar untuk memanggil Pak Uban. Langkahnya begitu cepat,
setengah berlari. Dia begitu semangat untuk hari ini. Sementara itu Nek Mira
menunggunya di dalam kamar. Pikirannya begitu gelisah. Buru – buru ingin tahu
apa sebenarnya kabar yang dibawa Pak Uban.
“Ya ampun, Riko.”
“Ada apa, Nek?” Tanya Riko kaget, dia mengira terjadi sesuatu pada Nek
Mira.
“Nenek melupakan sesuatu di meja pinggir kolam tadi.”
“Apa, Nek?”
“Buku dan pena Nenek. Pena milik Raja juga Nenek tinggal di sana. Aduh,
Nenek ini benar – benar sudah pikun.”
“Biar saya yang ambil, Ya, Nek?” Kata Ramon dengan sigap.
“Tidak usah, Mon. Biar Nenek saja yang ambil.”
“Tapi Nenek disuruh menunggu di kamar ini sama Vey.” Kata Ramon berusaha
mencegah Nek Mira.
“Nenek Cuma sebentar kok. Cuma ambil buku dan pena Nenek. Nanti Nenek
langsung balik lagi ke sini. Kalau Vey sudah datang, bilang saja suruh tunggu
sebentar.” Kata Nek Mira sambil berjalan keluar kamar. Langkahnya sama seperti
tadi ketika dia melangkah menuju kamar itu, begitu terburu – buru. Nek Mira
meninggalkan Riko dan Ramon di dalam kamar. Mereka berdua ingin menolong
mengambilkan barang milik Nek Mira, namun Nek Mira lebih memilih untuk
mengambilnya sendiri.
***
“Non Vey. Tuan Raja baru saja saya tinggal di lobi, sekarang sudah
menghilang. Saya sedang kebingungan mencarinya.”
“Loh? Kok bisa? Yasudah, gini aja. Pak Uban temui Nek Mira dulu. Sekedar
bicara basa – basi tentang Raja Kuswantoro. Nanti kita langsung cari Raja
bersama Nek Mira sekaligus.”
“Oh, begitu. Baiklah, Non.”
Pak Uban dan Vey berjalan menuju kamar Nek Mira. Hari ini adalah hari
terburu – buru, Vey dan Pak Uban pun juga terburu – buru. Mereka hanya ingin
segera menyelesaikan urusan pertemuan ini. Di perjalanan menuju kamar, Vey dan
Pak Uban menyusun kata apa saja yang nantinya harus diucapkan oleh Pak Uban.
Setibanya di kamar, Vey kehilangan sosok Nek Mira. “Dimana Nek Mira?
Bukannya tadi Nenek ada di sini?”
“Nek Mira sebentar ke taman, mau ngambil barangnya yang ketinggalan.”
Sahut Riko.
“Gini aja, Non. Kita langsung ke taman nyusul Nenek Non. Biar sekalian
nyari Tuan Raja.” Kata Pak Uban memberi saran.
“Loh? Raja juga ilang?” Tanya Riko kaget.
“Iya.. yaudah ayo keluar semua nyusul Nek Mira.”
***
Nek Mira melangkah memasuki taman menuju pinggir kolam tempatnya tadi
duduk. Setibanya di pinggir kolam, Nek Mira melihat ada seseorang yang duduk di
kursi roda didekat meja bangku tersebut. Nek Mira menghampirinya perlahan.
“Maaf, permisi sebentar mengganggu. Apakah Anda melihat sebuah buku dan
pena di atas meja ini tadi?” Tanya Nek Mira dengan sopan.
Orang tadi menoleh pada Nek Mira. Matanya begitu sayu memandang Nek Mira.
Orang itu masih belum menjawab perkataan Nek Mira. Nek Mira keheranan melihat
tanggapan orang tersebut. Sekali lagi Nek Mira mengulang kata – katanya.
“Maaf, permisi sebentar mengganggu. Apakah Anda melihat sebuah buku dan
pena di atas meja ini tadi?” Nek Mira kali ini mengatakan kata – katanya dengan
begitu jelas agar pendengarnya dapat segera mengerti dan menanggapi
pertanyaannya.
“Mira? Apa benar ini kamu?” Mata orang itu berkaca – kaca.
Nek Mira kebingungan melihat tanggapan orang dihadapannya tersebut.
“Bukankah ini penaku 44 tahun lalu? Mengapa masih kamu simpan?” Kata orang itu
sambil mengeluarkan pena yang ditinggalkan Nek Mira di meja tadi. Nek Mira
kaget, dia kebingungan apa yang sedang terjadi.
“Mengapa kamu masih mencariku setelah sekian lama perpisahan kita?” Nek
Mira langsung paham. “Ka.. kamu.. Raja? Apa benar? Raja?” Tanya Nek Mira
terbata – bata. Orang tadi meneteskan air mata. Orang itu adalah Raja. Raja
Kuswantoro.
Nek Mira tidak kuat berdiri, lututnya tertekuk, dia berlutut sambil
menangis tersedu di depan Raja. Raja segera merangkul dan memeluknya. “Waktu
begitu lama memisahkan kita. Begitu lama pertemuan ini aku harapkan.” Kata Kek
Raja sambil tersedu – sedu. Nek Mira begitu pilu hatinya menghadapi pertemuan
tersebut.
“Aku ingin mencarimu karena aku yakin kisah kita berakhir dengan bahagia,
bukan berakhir seperti dulu.” Kek Raja melepaskan pelukannya. Mereka saling
pandang. “Maafkan aku terlalu lama berpikir untuk mencarimu.” Kek Raja
tersenyum dalam tangisnya. “Sudahlah. Jangan menangis. Aku sekarang ingin
melihat wajah yang selama ini aku nanti.”
“Apa yang mau kamu lihat dari wajah nenek – nenek tua sepertiku ini?”
“Bukankah aku juga sudah tua?” Mereka tersenyum bersama – sama. “Kamu
masih terlihat cantik, Mir. Sama seperti di foto dulu.” Mereka kembali
tersenyum semakin lebar. Terlihat raut wajah bahagia terpampang antara kedua
insan manusia yang baru saja dipertemukan.
Dari kejauhan, Vey, Riko, Ramon, dan Pak Uban memperhatikan mereka. Vey
meneteskan air mata haru. Bukan hanya Vey. Riko dan Ramon sama – sama merasakan
haru yang luar biasa, mata mereka berkaca – kaca menyaksikan peristiwa
bersejarah itu. Pak Uban yang ada di samping Vey malah lebih parah, Pak Uban
menangis sesenggukan melihat Tuannya menemukan apa yang selama ini dicarinya
dalam hidup.
“Kakek?” Gumam Dirga yang juga tidak sengaja melihat kejadian itu dari
kejauhan. Dia mengalihkan pandangannya pada gerombolan Vey dan kawan – kawan
yang berada tak jauh dari dirinya. Vey melihat Dirga. Pandangan mereka bertemu.
“Dirga?” Vey melihat Dirga yang kemudian pergi meninggalkan tempat itu.
Entah apa yang dipikirkan Dirga. Wajahnya begitu kacau terlihat. Vey berlari
mencoba untuk mengejarnya. “Dirgaa..” Panggil Vey. Dirga yang sudah berjalan
agak jauh dari tempatnya tadi berdiri berhenti dan berbalik pada Vey yang
mengejarnya di belakang.
“Dirga, aku..” Kata – kata Vey terputus, dia merasa tidak enak pada
Dirga.
“Aku tahu Vey. Seharusnya memang itu yang aku lakukan sejak awal.
Mempertemukan mereka. Bukan malah menyembunyikan Kek Raja. Kamu benar. Dan kamu
menang.” Kata Dirga, hatinya tidak karuan. Dia merasa malu akan kesalahannya dalam
mengambil keputusan dulu.
“Apa maksudmu dengan kata menang? Ini bukan persaingan. Ini bukan
perlombaan. Ini masalah hidup orang. Kamu merasa bersalah sekarang? Terus
kenapa kamu malah bersikap seperti ini? Kamu benar – benar aneh! Seharusnya
kamu juga ikut senang melihat Kek Raja bahagia bertemu dengan cinta yang selama
ini dia nantikan.” Vey mulai kesal melihat tingkah Dirga yang merasa bersalah
tapi malah bersikap tidak suka melihat pertemuan itu.
“Kalau kamu memang merasa salah, kenapa tidak minta maaf dan setelah itu
ikut berbahagia bersama kita?” Vey terus mendesak Dirga yang sudah diam tanpa
kata. Dirga tetap terdiam. Dia kebingungan harus berbuat apa. Satu sisi dia
bahagia melihat kakeknya bahagia, di sisi lain, dia begitu kesal karena
kesalahan yang diperbuatnya.
“Kamu memang gak mau jawab, Dir?” Vey tambah kesal melihat tingkah Dirga
yang hanya diam saja. Dirga bukannya tidak ingin menjawab, tapi dia hanya
bingung bagaimana caranya menjawab pertanyaan Vey. “Pengecut.” Kata Vey tiba –
tiba. Kata itu muncul begitu saja.
Setelah mengucapkan satu kata yang membuat Dirga terdiam seribu bahasa,
Vey melangkah pergi meninggalkan Dirga yang masih terpaku di tempatnya berdiri.
Dalam hati Dirga benar – benar kacau. Dia benar – benar bingung apa yang harus di
lakukannya. Dia mengaku salah dalam mengambil keputusan, dan setelah itu dia
bingung harus berbuat apa dengan keputusannya itu.
***
“Terima kasih sudah mempertemukan kami. Sudah sekian lama hari ini kami
tunggu – tunggu.” Kata Kek Raja yang duduk di sebelah Nek Mira. Mereka duduk
berdekatan. Cinta muda yang tertunda dulu sekarang muncul dan mengembang begitu
cepat. Wajah Nek Mira begitu berseri – seri. Begitu pula Kek Raja yang dari
tadi tiada henti menggenggam tangan Nek Mira.
“Ini berkat semangat yang Vey berikan kepada Nenek. Terima kasih ya Vey.
Terima kasih juga buat kalian yang sudah rela buang – buang waktu untuk Nenek.”
Kata Nek Mira pada Vey, Riko, dan Ramon yang duduk di hadapannya.
“Umar. Terima kasih sudah membawaku kepada kekasih lamaku ini.” Kek Raja
mulai menggombal. Pak Uban atau nama aslinya Pak Umar hanya tersenyum – senyum
melihat majikannya bertingkah genit. “Langsung saja, Tuan.” Sahut Pak Uban
sedikit menggoda tuannya.
“Maksudmu apa, Mar?”
“Langsung ijab Kabul maksudnya, Kek. Hahaha.” Celetuk Vey, serentak yang
lainnya ikut tertawa mendengar celetukan Vey.
“Benar, Tuan. Itu maksud saya.” Pak Uban membenarkan kata – kata Vey.
“Oh, tenang. Harus itu. Meskipun sudah tua – tua gini, tapi cinta kita
masih kayak anak muda ya, Mir? Menggebu – gebu.” Kek Raja benar – benar senang,
gombalan dan godaannya pada Nek Mira membuat Nek Mira tersipu – sipu malu.
“Vey seneng banget, Nek. Bener ‘kan? Kisah Nenek sama Kek Raja ini gak
pantas buat berakhir sedih. Ini kisah lebih pantas buat dapat ending yang bahagia. Seperti sekarang
ini.” Kata Vey dengan semangat.
“Benar, Vey. Semua kisah tidak akan berakhir sedih. Kakek juga yakin
itu.” Kek Raja menambahkan semangat pada mereka semua. “Namanya kesakitan hidup
itu sudah biasa. Itu bumbunya kehidupan. Nah, setelah dibumbui, tinggal
merasakan enaknya hidup. Sistem kehidupan memang seperti itu.” Tambah Kek Raja.
Dirga muncul dari sudut ruangan, dia menghampiri gerombolan Vey yang
duduk di ruang makan bersama. Dirga datang karena Kek Raja yang memintanya datang
untuk ikut berkumpul dengan mereka. Kek Raja melambaikan tangannya pada Dirga.
Dirge menghampiri lambaian itu.
“Semuanya, kenalkan, ini Dirga, cucu Kakek.” Kata Kek Raja sambil
tersenyum senang mengenalkan cucu satu – satunya itu.
“Waah waah.. Ini ni yang menghambat kita ketemu Kakek kemarin –
kemarinnya.” Kata Riko tiba – tiba. Vey hanya diam saja mendengarkan Riko.
“Maksudnya?” Kek Raja mengernyitkan dahinya tanda bahwa dia tidak mengerti apa
yang dibicarakan Riko.
“Cucu Kakek ini menghalangi kami ketemu sama Kakek. Pake acara bohong
segala. Kami sebenarnya sudah sampai di rumha Kakek di hari pertama kami
melakukan pencarian. Tapi dia menghalangi langkah kami dengan mengatakan kalau
itu bukan rumah Kakek. Wah wah.. ckckck.” Kata Riko sambil menunjuk pada Dirga.
Dirga hanya terdiam menanggapi perkataan Riko.
Kek Raja tiba – tiba terdiam. Dia sepertinya mengerti kenapa Dirga
melakukan hal itu. “Dia bukan menghalangi kalian. Dia hanya ingin melaksanakan
amanah Kakeknya saja. Jadi mohon di maafkan, ya.” Kata Kek Raja dengan sabar.
“Kenapa Kakek yang minta maaf? Orangnya saja gak minta maaf.” Celetuk
Vey. Dia benar – benar kesal dengan diamnya Dirga. Vey bangkit dari duduknya,
dia izin pamit ke kamar. Dia tidak betah melihat Dirga yang hanya diam saja.
Vey ingin Dirga berbicara dan minta maaf. Bukan hanya diam saja seperti ini.
Diamnya Dirga membuat Vey kecewa. Vey sudah terlanjur menaruh hati pada Dirga,
tapi Dirga membuatnya kecewa dengan sikap tak bertanggungjawabnya.
Vey melangkah meninggalkan meja. Dirga segera bangkit mengejar Vey. Nek
Mira dan yang lain memperhatikan mereka dari jauh. “Yak, adegan kejar mengejar
terjadi Saudara – Saudara.” Bisik Riko. Bisikannya didengar oleh semua yang
duduk di dekatnya, mereka pun tersenyum – senyum mendengar candaan Riko.
“Kayaknya mereka memang ada sesuatu. Sesuatu banget.” Sambung Ramon. Yang
lainnya hanya mengangguk – angguk sambil tersenyum – senyum melihat kedua insan
yang masih berjalan menuju satu titik pertemuan.
“Apa sejak malam itu ya? Hehehehe.”
Riko dan Ramon cengar – cengir melihat Dirga dan Vey.
“Vey. Tunggu.” Kata Dirga sambil menahan lengan Vey. Vey hanya menoleh
tanpa berkata apa pun.
“Aku bukannya tidak ingin minta maaf! Aku hanya bingung bagaimana
caranya! Aku juga bukannya ingin menghalangi kalian bertemu dengan Kek Raja!
Aku hanya bingung bagaimana cara agar amanah Kakekku tetap terjaga dan
terlaksana tanpa cacat. Aku hanya butuh berpikir, tapi kalian mendesakku untuk
cepat mengambil keputusan. Yang aku pikirkan hanyalah bagaimana nantinya kalau
Kek Raja bertambah sedih. Hanya itu. Tapi kamu selalu menganggapku salah! Apa
aku salah menjalankan amanah Kakekku untuk menjaga Kek Raja? Apa salah?
Seandainya aku tahu kalau akhirnya bisa membuat Kek Raja senang sudah dari awal
aku pertemukan kalian dengannya. Sekarang terserah kamu mau memaafkan atau
tidak. Aku lelah disalahkan terus. Aku juga manusia. Aku juga punya
kekurangan.” Dirga melepaskan genggamannya pada lengan Vey, kemudian pergi
meninggalkan Vey yang tertegun mendengarkan kata – kata Dirga.
Apa aku sudah keterlaluan?
Bisik Vey dalam hati. Dia memandang Dirga yang sudah semakin jauh
meninggalkannya. Nek Mira dan yang lainnya hanya memperhatikan mereka dari
jauh, yang mereka pikirkan hanyalah, apa yang terjadi pada Dirga dan Vey.
0 komentar:
Posting Komentar