BAGIAN 15
“Pulangnya Vey dan Riko”
Pagi yang cerah tidak membuat hati Vey ceria. Dia masih murung sama
seperti kemarin setelah percakapan singkatnya dengan Dirga. Sekarang Vey benar
– benar merasa bersalah. Telepon dan pesan singkatnya tidak mendapat balasan
dari Dirga. Niatnya untuk meminta maaf karena sudah keterlaluan membuat Dirga
merasa bersalah masih belum dapat terlaksana juga. Vey bingung bagaimana cara
menemui Dirga. Dia benar – benar kehilangan Dirga. Hubungan melalui telepon
tidak mendapat tanggapan, Dirga juga tidak di hotel, dan menurut Kek Raja,
Dirga juga tidak pulang ke rumah. Jadi dimana Dirga?
Vey sudah hampir kehabisan waktu. Besok pagi dia dan Riko akan kembali ke
Bogor. Nek Mira akan tetap di Lombok sampai hari pernikahannya dengan Kek Raja
terlaksana. Vey dan Riko akan kembali lagi ke Lombok pada waktu pernikahan
tersebut. Bukan hanya mereka nantinya yang akan datang, Nek Ningsih, mama dan
papa Vey juga akan ikut ke Lombok untuk menghadiri pernikahan Nek Mira dan Kek
Raja.
Pernikahan Nek Mira dan Kek Raja akan di adakan dua minggu lagi di hotel
tersebut. Selama dua minggu itulah Vey dan Riko pulang untuk menyelesaikan
pekerjaan mereka yang belum rampung karena tertunda oleh perjalanan mereka ke
Lombok.
“Murung amat wajahmu, Vey!” Kata Riko ketika ada di sebuah toko oleh –
oleh khas Lombok bersama Ramon.
“Lagi gak mood tu, Rik. Biasa
kalau masalah hati memang datangnya gak milih waktu. Hehehe.” Ledek Ramon yang
ada di sebelah Vey. Vey melirik Ramon. “Iih, sok tahu.” Sahut Vey ketus. “Judes
banget. Tak kasi tahu Dirga lo ya..” Ramon semakin menggoda Vey.
“Eh? Kamu tahu Dirga dimana?” Tanya Vey kaget mendengar kata – kata
Ramon.
“Yaiyalah tahu. Dirga ‘kan nginep di rumahku yang gak ditempati. Rumahku
dulu, tapi udah jarang aku tempati. Tapi suasananya bagus, deket pantai. Bisa
menjernihkan pikiran kalau lagi suntuk. Olehkarena itu Dirga izin untuk tinggal
beberapa hari di sana. Kamu gak tahu? Yaaah, aku kira sudah tahu.” Jelas Ramon
pada Vey.
Vey langsung menarik lengan Riko dan Ramon keluar toko. Riko dan Ramon
hanya terheran – heran melihat tingkah Vey yang tiba – tiba. “Ada apaan sih,
Vey? Kenapa narik – narik gini?” Tanya Riko setelah sampai di luar toko.
“Antarkan aku ke Dirga!” Kata Vey singkat.
“Loh? Katanya mau jalan – jalan?” Tanya Riko.
“Sudahlah turuti aja orang yang lagi kasmaran.” Ledek Ramon.
“Cepetaaaaaan.” Teriak Vey yang sudah ada di dalam mobil terlebih dahulu.
Mobil Ramon melaju kencang menuju pantai kuta. Pantai dimana rumah Ramon
berada. Selama perjalanan, Vey hanya terdiam memikirkan bagaimana cara untuk
berbicara dengan benar di hadapan Dirga. Dia tidak ingin melakukan kesalahan
lagi. Sesekali Ramon dan Riko menggodanya tentang hubungannya dengan Dirga.
Tapi Vey tidak begitu memperhatikan, dia terlalu sibuk pada lamunannya tentang
Dirga.
Beberapa saat kemudian, mobil Ramon memasuki sebuah pekarangan rumah.
Rumah itu tidak begitu besar. Bisa dibilang rumah itu begitu sederhana, tetapi
indah. Halamannya terawat, banyak bunga dan tanaman hiasan yang tumbuh di
halaman tersebut. Kalau masalah rumah, meskipun jarang ditempati tapi
kebersihannya masih terjaga.
Angin yang menghembus setiap waktu dari arah pantai membuat rumah itu
begitu sejuk dirasa. Ramon, Riko, dan Vey turun dari mobil. Mereka melangkah
mendekati pintu rumah. Vey mulai terheran – heran. Tidak ada mobil Dirga di
halaman rumah, apa benar Dirga ada di rumah ini?
“Ramon.. apa benar Dirga di sini? Kok gak ada mobilnya?” Tanya Vey
penasaran.
“Mobilnya mungkin sudah dibawa pulang sama Pak Santo, sopir Dirga itu.
Dirga ‘kan kalau kemana – mana lebih sering di antar jemput sopir.” Jawab
Ramon. Mereka sudah sampai di depan pintu. Ramon mengetuk pintu beberapa kali,
tapi tak ada jawaban yang terdengar.
“Ramon… kemana Dirga?” Rengek Vey, dia sudah mulai tidak sabar menunggu
tanggapan dari ketukan tersebut.
“Oh, mungkih Dirga di bagian belakang rumah. Disana ada tempat nyantai
yang langsung mengarah ke pantai. Mungkin Dirga lagi bersantai di sana. Ayo
ikut aku ke belakang.” Riko dan Vey mengikuti langkah Ramon. Mereka melewati
jalan samping rumah menuju kebelakang rumah. Dan benar kata Ramon, Dirga sedang
duduk bersantai sambil mendengarkan lagu dengan headsheet di telinganya.
“Benar ‘kan? Itu Dirga. Sana kamu aja yang nyamperin. Kita jadi penonton
aja dari jauh.” Kata Ramon sambil mendorong tubuh Vey maju. Vey melangkah
mendekati Dirga. Jantungnya kali ini benar – benar berdebar – debar tak
terkontrol. Sesekali dia mengambil nafas panjang agar tidak terlihat terlalu
gugup di hadapan Dirga nanti.
Vey terus mendekat, dan berhenti di samping tempat Dirga duduk. Mulutnya
terkunci. Dia bingung kata apa yang harus lebih dulu keluar dari mulutnya.
Dirga yang tersadar ada orang di sampingnya segera menoleh dan melepas headsheet-nya.
“Vey?” Dirga terkejut melihat Vey yang berdiri di hadapannya.
“Dirga, aku…” kata – kata Vey terputus, dia masih gugup. Dirga yang
tadinya duduk sekarang berdiri tepat di depan Vey. “Aku minta maaf atas
kejadian kemarin.”
“Minta maaf? Bukan kamu yang salah, tapi aku.” Kata Dirga singkat.
“Aku juga salah, maaf sudah membuatmu mengambil keputusan yang salah,
maaf juga sudah membuatmu merasa begitu bersalah. Aku tidak pernah bermaksud
untuk membuatmu kepikiran seperti ini.”
“Bukan kamu yang salah. Aku tinggal di sini bukan karena kepikiran
tentang masalah kemarin, aku hanya ingin menenangkan pikiran saja.” Kata Dirga,
ekspresinya begitu datar, mungkin masih ada rasa kesal di hatinya. “Sekarang
kembalilah ke hotel. Jangan khawatir tentang masalah salah menyalahkan ini. Itu
sudah selesai. Jangan dibahas lagi.” Setelah mengatakan kata – kata itu, Dirga
melangkah untuk meninggalkan Vey.
“Aku bukan khawatir karena masalah salah menyalahkan ini.” Kata Vey tiba
– tiba, kata – katanya membuat Dirga berhenti melangkah. Kini Vey ada di
belakangnya. Meskipun Dirga menghentikan langkahnya, dia tidak membalikkan
badan pada Vey. Vey memandang punggung Dirga. Aku ke sini cuma ingin bilang aku suka kamu, Dir. Bisik Vey dalam
hati. Tapi mulutnya terkunci. Egonya mengalahkan segala yang ada di hatinya. “Aku
hanya tidak ingin meninggalkan kesan buruk selama aku tinggal di Lombok ini.
Besok aku pulang ke Bogor. Syukurlah kamu sudah menganggap masalah salah
menyalahkan ini selesai sebelum aku pulang.” Lanjut Vey. Kata yang
dikeluarkannya tidak sesuai dengan apa yang ada di hatinya.
Dirga sedikit kaget mendengar bahwa Vey akan pulang besok ke Bogor. Dia
ingin berbalik, tapi sepertinya rasa gengsi masih menguasainya. Dirge masih
terdiam di tempatnya. “Terima kasih atas semuanya.” Kata Vey, kemudian dia
mendahului tempat Dirga berhenti tadi. Ingin sekali Dirga mengejar dan memeluk
Vey dari belakang. Tapi kakinya terpaku.
Vey yang melangkah menjauhi Dirga begitu sesak dadanya. Kenapa dia tidak mengejarku? Apa dia rela
aku pergi dengan cara seperti ini? Gumam Vey dalam hati. Mereka sama – sama
suka. Hati mereka sama – sama saling memanggil, tapi ego mereka mampu
mengalahkan hati nurani yang suci.
***
Malam yang sunyi membuat Vey melangkahkan kakinya di lorong – lorong
kamar hotel tanpa tujuan. Kakinya terus melangkah mengikuti irama hatinya yang
sedang kacau. Besok dia akan kembali ke tanah kelahirannya, Bogor. Seharusnya
hal tersebut membuatnya senang karena bisa bertemu dengan kedua orang tuanya
lagi, tapi malam itu suasananya membuat Vey tidak ingin pulang.
Vey merindukan Dirga. Merindukan saat – saat ketika mereka masih bisa
bertemu, meskipun setiap pertemuannya selalu diisi dengan keributan. Tapi
itulah yang membuat Vey rindu pada Dirga. Langkah Vey berhenti pada di pinggir
kolam tempat pertemuan Nek Mira dan Kek Raja. Dia menghela nafas panjang.
Pikirannya melayang mencari hal yang dicari – carinya.
Vey duduk di sebuah bangku pinggir kolam. Disandarkannya leher pada
sandaran kursi, kepalanya menengadah ke atas. Matanya kini mengarah pada
bintang yang bertaburan menghiasi malam yang sunyi. Vey mengambil ponsel
pintarnya di saku baju. Dia membuka aplikasi catatan. Sebuah lembar kosong
terpampang di hadapannya. Tangannya mulai menekan beberapa tombol untuk
menghasilkan kesatuan kata padu.
Pena Kek Raja yang ke – 50 mengantarku
bertemu dengan sosok manusia sepertinya. Manusia yang bukan seperti tipeku,
tapi dia mampu membuatku merindukannya. Manusia yang bukan seperti Kak Riko,
tapi dia mampu membuatku melamunkannya.
Aku ke tanah Lombok ini berniat
untuk mencarikan cinta Nek Mira yang telah lama hilang. Tapi aku sendiri malah
menemukan cinta yang tak tentu jawabannya. Apa yang harus aku lakukan? Aku akan
pulang besok pagi. Tapi sampai sekarang, aku masih belum mendapatkan jawaban
tentang cintaku ini.
Aku bingung harus mulai berpikir
darimana untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaanku sendiri. Apa aku benar –
benar menyukai Dirga? Tapi kenapa sulit mengatakannya?
Vey berhenti mengetik. Dia
menghela nafas panjang. Pikirannya sekarang penuh pertanyaan yang belum mampu dijawabnya
sendiri. “Apa aku benar – benar suka Dirga ya?” Vey menggaruk – garuk
kepalanya. Kalau sudah merasakan sendiri yang namanya cinta, baru terasa
bimbang dan gelisahnya. Biasanya mampu menasehati orang tentang cinta, tapi
ketika diri sendiri mengalaminya, satu nasehat pun tak keluar dari hatinya. Itu
yang dirasakan Vey saat ini.
“Dirgaaaa… aku rindu.” Kata Vey. “Dirga pasti rindu juga padamu, Vey.”
Tiba – tiba suara Kek Raja muncul dari belakang Vey. Vey benar – benar kaget
bercampur malu. Dia menoleh pada Kek Raja. Ya itu benar Kek Raja. “Kakek? Loh?
Kakek gak pulang?”
“Kakek nginep di hotel, Vey. Di rumah sepi. Dirga yang biasanya nemenin
Kakek sekarang lagi minggat entah kemana.” Vey berdiri untuk mendorong kursi
roda Kek Raja. Setelah ada di samping tempat duduknya tadi, Vey kembali duduk
di kursi.
“Kakek ngapain malam – malam gini keluar?”
“Kakek Cuma pengen cari udara segar aja. Kamu sendiri?”
“Ya sama, Kek. Cari udara segar.”
“Sekalian melepas galau ya?” Goda Kek Raja. Vey tersenyum mendengar kata
– kata Kek Raja. “Kakek memang sudah tua, Vey. Tapi Kakek masih peka melihat
orang yang lagi jatuh cinta.” Kek Raja tersenyum melihat wajah Vey yang mulai
merona merah. “Dirga orangnya kalau sudah mencintai seseorang pasti akan
menjaganya dengan sepenuh hati, contohnya Kakek. Kakek hanyalah Kakek
sepupunya. Tapi dia benar – benar menyayangi kakek, dan karena sayang itu dia
benar – benar menjaga Kakek sampai – sampai kamu salah paham dengan dia kemarin
tentang masalah sembunyi –sembunyian itu.” Kek Raja tersenyum. Vey merasa
bersalah, “Maafin Vey, Kek.”
“Gak ada yang salah, Vey. Dirga dan kamu itu cuma salah paham.”
“Iya, Kek. Tapi sepertinya Dirga benar – benar marah sama Vey. Vey jadi
bingung sendiri gimana caranya biar dia mau nanggepin Vey lagi.”
“Berikan dia waktu, Vey. Jangan mendesaknya lagi dalam mengambil
keputusan. Kamu suka dia ‘kan?”
“Hah? Emmm.” Vey menggaruk – garuk kepalanya. “Apa benar Vey suka, Kek?”
tanya Vey. Vey berbalik tanya pada Kek Raja. Dia bingung harus menjawab apa.
“Kamu bingung dengan perasaanmu sendiri?” Vey mengangguk. “Memangnya apa
yang kamu rasakan sekarang Vey? Apa kamu memikirkan Dirga?”
“Lebih dari itu, Kek. Aku benar – benar merindukannya. Kalau sudah inget
dia pikiran jadi gelisah sendiri, pengen ketemu tapi kondisi tak memungkinkan.”
“Kamu mulai memasuki tahap pertama cinta, Vey.”
“Oh? Begitu ya, Kek? Terus aku harus gimana? Aku kayaknya gak bisa apa –
apa, Kek. Besok sudah pulang ke Bogor. Gak mungkin punya waktu untuk
mengungkapkan atau berbicara lagi sama Dirga.” Vey menunduk, dia kebingungan
sendiri.
“Biarkan itu mengalir seperti air di sungai, Vey. Jangan kamu paksakan.
Kalau sudah waktunya nanti kamu pasti punya kesempatan untuk berbicara dan
mengungkapkan rasa yang kamu rasakan. Sekarang kondisi sedang memanas. Beri
waktu untuk hati kalian merindu satu sama lain. Dan waktu itulah waktu yang
tepat untuk kalian berbagi satu sama lain. Dua minggu lagi kamu ‘kan kesini
lagi, mungkin itu kesempatan keduamu untuk berbicara dengan Dirga.”
“Jadi Vey harus…”
“Jadi kamu harus menunggu waktu yang tepat. Jangan paksakan disaat yang
tidak memungkinkan seperti sekarang ini. Kalau sudah jodoh ‘kan gak mungkin
kemana, Vey.”
“Tapi bukankah cinta butuh perjuangan dan pengorbanan, Kek?”
“Betul. Ini perjuanganmu untuk bertahan meskipun jarak berjauhan. Ini
juga pengorbanananmu untuk cinta, mengorbankan perasaan menggebu – gebu untuk
sesaat. Jangan terburu – buru, nanti hasilnya bisa jelek.” Kek Raja memberikan
nasehat pada Vey. Vey hanya diam mendengarkan apa yang dikatakan Kek Raja. Sekarang
Vey mengerti apa yang harus dilakukannya. Menunggu waktu yang tepat.
Malam itu terasa menenangkan bagi Vey. Suasana hatinya agak mereda
setelah mendengar beberapa petuah dari Kek Raja. Semilir angin malam berhembus
pelan mengiringi senyum Kek Raja dan Vey yang masih bertahan duduk dipinggir
kolam itu sampai larut malam. Mereka masih berbincang – bincang tentang segala
hal yang belum mereka pahami dan belum mereka mengerti, terutama soal cinta
yang akhir – akhir ini menguasai hari – hari mereka.
***
Vey dan Riko sudah bersipa untuk pulang. Koper mereka bertambah satu
lagi, berisi oleh – oleh dari tanah Lombok yang sudah mereka beli kemarin.
Mereka sudah berdiri di depan bandara bersama Kek Raja, Nek Mira, dan Ramon.
Perbincangan mereka tidak begitu berat, hanya sekedar basa – basi salam dan
pesan.
“Hati – hati di jalan ya, Vey.” Kata Ramon sambil menyerahkan koper milik
Vey yang dibawakan Ramon.
“Iya, tenang. Entar aku bilangin ke pilotnya suruh hati – hati.” Ramon
tertawa mendengar kata – kata Vey.
“Salam sama papa dan mamamu ya, Vey. Sampaikan juga pada Nenekmu untuk
tentang kabar gembira ini.” Kata Nek Mira sambil tersenyum bahagia. Sejak
pertemuaannya dengan Kek Raja, di wajah Nek Mira selalu terpancar rona bahagia
yang berseri – seri. Dan Vey senang melihatnya.
“Iya, Nek. Tenang saja. Nanti waktu pernikahan Nek Mira sama Kek Raja,
mereka semua bakal Vey ajak ke sini. Agar tambah meriah.” Vey tersenyum melihat
kedua insan yang baru dipersatukan itu. Senyum Vey memang terlihat seperti
orang yang begitu bahagia, tapi dalam hati, dia merasakan sesuatu yang hilang.
Daritadi dia menoleh kanan kiri, memastikan apakah Dirga benar – benar tidak
datang untuk mengantarnya pulang. Setelah tiba gilirannya untuk berangkat,
barulah Vey sadar kalau Dirga memang tidak mungkin datang.
Vey melangkah menuju pintu masuk pesawat, langkahnya masih berat.
Pikirannya masih tertinggal di tempat lain. Dia terlalu memikirkan Dirga. Riko
yang berjalan mendahuluinya mengerti apa yang sedang dipikirkan adik
perempuannya itu. Riko langsung merangkul bahu Vey sambil berkata, “tenang,
Vey. Dirga baik – baik saja. Dua minggu lagi kita bakal ketemu sama dia kok.
Ayo cepet jalannya, mama sama papa udah nunggu di Bogor.” Kata Riko sambil
tersenyum berusaha untuk menyemangati adiknya.
Pesawat yang ditumpangi Vey dan Riko baru saja terbang menuju Bogor.
Seorang laki – laki berlari mendekati Ramon, Nek Mira, dan Kek Raja yang sudah
mau beranjak pulang. “Kakek, Vey udah berangkat?” Tanya Dirga sambil terengah –
engah kehabisan nafas karena berlari.
“Baru saja. Kenapa kamu bisa telat?” Tanya Kek Raja pada Dirga yang
terlihat begitu murung mendengar kabar bahwa Vey sudah berangkat. Dirga
terdiam, dia menyesali keterlambatannya.
“Dia masih bingung berpikir, Kek. Masih bingung berpikir suka apa enggak
ke Vey. Kelamaan berpikir jadi telat deh.” Celetuk Ramon sambil cengar - cengir
mengejek Dirga. Dirga meliriknya, tapi Ramon hanya menanggapinya dengan senyum
nakal yang membuat Dirga jadi ragu untuk menanggapi candaan Ramon.
“Ayo pulang, Kek, Nek. Biarkan Dirga merenungkan nasibnya sekarang.” Nek
Mira, Kek Raja, dan Ramon pun melangkah pergi meninggalkan Dirga yang masih
terdiam. Tak berapa lama dari kepergian mereka, Dirga pun melangkah keluar
untuk pulang, langkahnya begitu gontai, seperti tak punya otot. Dia sekarang
tidak tahu harus berbuat apa. Menunggunya
dua minggu lagi? Aku sudah terlalu merindukannya. Gumam Dirga dalam hati.
Derungan mobilnya mulai terdengar menjauhi bandara yang ramai dengan
sesak desak manusia yang ingin bepergian. Dirga terus menyetir mobilnya
menyusuri jalanan beraspal tanpa ujung. Dirga tidak tahu harus kemana agar
pikirannya tidak kacau seperti saat ini, yang dia tahu hanyalah menyetir dan
terus menyetir tanpa tujuan yang jelas.
Di tunggu lanjutannya ;)
BalasHapus