BAGIAN 13
“Cerita Raja Kuswantoro”
Dirga membalikkan badannya, sesekali berbalik lagi ke arah lain. Matanya
masih belum bisa terpejam. Pikirannya tak karuan. Berguling – guling di atas
kasur adalah hal yang dilakukannya daritadi. Pada saat tubuhnya terlentang,
pandangan matanya menerawang ke langit – langit kamar. Sesekali wajah Vey
melintas di hadapannya. Dirga sedang kebingungan menghadapi perasaannya yang
kasmaran. Kasmaran? Ya, Dirga sedang kasmaran. Baru kali ini hatinya tak
karuan, arah pikirannya hanya berputar pada satu hal yang membuatnya tidak bisa
tidur malam ini.
“Haaaah… Kenapa gak ngantuk – ngantuk sih?” Dirga bangkit dari tidurnya.
Dia bingung harus berbuat apa di tengah malam yang sunyi ini. Dirga menoleh jam
dinding yang menggantung di dinding kamar. Benar
– benar tengah malam, gumam Dirga. Dirga kembali membaringkan badannya,
tiba – tiba dia senyum – senyum sendiri. Vey kembali menguasai pikirannya.
“Lagi apa ya dia sekarang?” Kata Dirga masih dengan senyumnya. “Aduuh,
kenapa aku tadi gak minta nomer teleponnya…” Dirga menyesali kebodohannya.
“Malah sibuk malu – malu…” Dirga melungkerkan tubuhnya, dia memeluk guling yang
ada di atas tempat tidur. Lamunan yang berkepanjangan membuatnya tambah segar
dan tak merasakan kantuk sama sekali.
“Hemmm, aku ke hotel aja deh, ketimbang cuma guling – gulingan aja. Kalau
di hotel mungkin aku bisa nyelesaian beberapa pekerjaan yang belum rampung.”
Dirga segera bergegas untuk berangkat ke hotel. Sopir Dirga terjaga ketika
Dirga mengetuk pintu kamarnya.
“Mau kemana malam – malam gini, Tuan?” Tanya sopir Dirga, matanya masih
terasa lengket. Ketukan Dirga membuat Pak Santo, sopir Dirga terbangun tiba –
tiba. Jantungnya berdegub kencang akibat bangun yang tidak terduga.
“Emmm, gak jadi, Pak. Sini STNK dan kunci mobilnya, biar saya bawa
sendiri.” Kata Dirga merasa kasian pada Pak Santo. “Loh, tidak apa – apa, Tuan.
Ini memang kewajiban saya untuk mengantar Tuan kemana saja.”
“Sudah, Pak Santo tidur lagi saja. Ini perintah! Jangan membantah!” Kata
Dirga sambil tersenyum. “Tapi, Tuan..”
“Sudah – sudah, mana STNK – nya?” Pak Santo menyerahkan STNK dan kunci
mobil dengan perasaan yang tidak enak kepada tuannya. Ketidak enakan Pak Santo
hanya ditanggapi dengan senyuman oleh Dirga. Dirga sadar kalau ini memang bukan
waktunya untuk bepergian, dia lebih baik menyetir mobil sendiri daripada
mengganggu istirahat orang lain. Meskipun Pak Santo adalah sopirnya, Dirga
tetap merasa bahwa sopir juga memiliki hak untuk beristirahat. Dirga adalah
tipe majikan yang memikirkan bawahannya. Itulah yang membuat sebagian besar
pegawai dan pembantu betah bekerja di bawah perintahnya.
Dirga berangkat menuju hotel, dipacunya mobil putih miliknya dengan
kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan pikirannya hanyalah Vey. Malam itu Vey
benar – benar menguasai pikirannya. Dan Dirga hanya diam saja ketika Vey mulai
meraja di hatinya.
***
Haduuuh, kenapa gak bisa tidur??
Vey menutup kepalanya dengan selimut yang sudah disediakan hotel di tempat
tidurnya. Hemmm, Dirga. Dia benar – benar
membuatku gila. Haduh – haduh. Masak aku suka? Vey terus berceloteh dalam
hatinya. Vey menyingkap selimutnya. Dia menoleh ke arah Nek Mira yang tidur di
ranjang terpisah darinya. Tepat di sebelah kiri Vey, Nek Mira tertidur pulas.
Vey terus memandangnya. Nenek, pena –
pena yang Raja torehkan di atas surat – surat yang dikirimnya untuk nenek
membuatku bertemu dengan seseorang yang kini hadir membayangi seluruh
khayalanku. Hati Vey berkata dengan puitisnya.
Vey menghela nafas. Sama halnya dengan Dirga yang kebingungan bagaimana
caranya untuk dapat tidur, Vey juga merasakan hal itu. Kejadian malam itu
membuat mereka sama – sama merasakan perasaan yang sama. Mungkin jatuh cinta,
mungkin juga hanya perasaan suka biasa, itu menurut pikiran Vey. Kalau memang suka biasa, kenapa sampek
kepikiran segininya ya? Gumam Vey. Kali ini pandangannya mengarah pada
langit – langit kamar hotel. Pikirannya melayang.
Vey bangkit dari tidurnya. Dia berniat untuk keluar mencari udara segar.
Perlahan dia langkahkan kakinya agar tidak membangunkan Nek Mira yang sedang
tertidur. Langkah kakinya terus bergerak menuju taman hotel. Di taman itu ada sebuah
kolam renang. Vey ingin duduk – duduk di pinggir kolam itu sambil menikmati
malam di alam yang terbuka.
Tempat duduk yang tepat ada di pinggir kolam juga dilengkapi dengan
payung yang menaunginya dari panas maupun hujan. Vey menduduki salah satunya. Tak
banyak hal yang dia lakukan, hanya diam merenung mengamati gerak air yang
bergerak mengikuti arah angina yang membawanya.
Dirga yang baru saja tiba di hotel bergegas menuju kantornya. Tak di
sengaja ketika menoleh ke arah kiri ketika berjalan menuju kantornya, Dirga
melihat Vey yang sedang duduk termangu di kursi pinggir kolam.
“Vey? Itu Vey?” Dirga menggosok – gosokkan matanya. “Ah, apa ini khayalan
lagi?” Kata Dirga. Dirga masih mengira – ngira. Langkahnya terus maju menuju
Vey. Dengan perasaan setengah percaya dan setengah tidak percaya bahwa itu
memang Vey. Sampai di samping Vey. Dirga menyebutkan nama Vey dengan perlahan
untuk memastikan kebenarannya.
“Vey?” Vey menoleh. “Dirga?” Dirga tersenyum, lega hatinya ketika
mengetahui bahwa itu benar – benar Vey. “Kok kamu masih di hotel? Bukannya tadi
sudah pulang?” Tanya Vey keheranan melihat Dirga yang ada dihadapannya.
“Aku baru aja nyampek hotel. Di rumah gak bisa tidur, jadi ke hotel
sekalian mau ngerjain kerjaan yang belum kelar.” Kata Dirga, perasaannya begitu
senang dapat melihat wajah Vey lagi. “Kamu? Kenapa masih di luar? Ini udah
tengah malam, kok belum tidur?” Tanya Dirga pada Vey yang juga terlihat senyum
di wajahnya.
“Oh, aku cuma pengen cari udara segar aja. Gak bisa tidur.” Kata Vey.
“Oh begitu.” Jawab Dirga. Setelah tanya jawab singkat itu mereka diam
satu sama lain, masih bingung apa yang akan mereka bicarakan selanjutnya. “Emm,
Dir.. mau lanjutin pembicaraan kita yang sempat terpotong tadi?”
“Yang apa?” Tanya Dirga yang sudah duduk di dekat Vey.
“Tentang itu..” Vey masih ragu – ragu mengatakannya. Dia takut merusak
suasana yang sedang terasa menyenangkan untuk mereka berdua.
“Tentang?” Tanya Dirga menoleh pada Vey yang terlihat bimbang. “Oh, ya
aku ngerti.” Kata Dirga langsung menangkap maksud Vey. Pandangannya kini
beralih pada kolam yang airnya riak di terpa angin malam.
“Tentang Raja dan Nek Mira, Dir. Misiku ke tanah Lombok untuk itu.” Kata
Vey memperjelas keinginan hatinya untuk membahas hal tersebut. Raut wajah Dirga
berubah. Senyumnya memudar. Wajahnya berubah menjadi begitu serius.
“Tiga tahun lalu, sebelum kakekku meninggal, beliau menitipkan sebuah
titipan berharga miliknya yang selama ini beliau kasihi dan sayangi. Beliau
berkata untuk tetap menjaga dan melindunginya sampai akhir hayatku. Jangan
sampai titipan beliau ini merasakan sakit yang sama seperti dulu. Beliau juga
sempat menceritakan bagaimana titipannya ini menghadapi segala kehidupannya
yang menyedihkan. Aku sebagai cucunya akan terus mengingat amanah itu. Apa aku
salah jika tetap mengingat dan menjalankan amanahnya?” Kata Dirga.
Vey terdiam. Dia sepertinya mengerti yang Dirga ceritakan padanya. “Apa
yang kamu maksud titipan itu adalah Raja?” Dirga terdiam. “Raja bukan kakekmu?”
Tanya Vey sekali lagi. “Bukankah aku sudah bilang padamu sejak pertama bertemu,
Vey? Kakek Raja adalah pemilik rumahku sebelumnya. Dia juga pemilik hotel ini
sebelumnya. Aku tidak bohong. Tapi kamu malah menuduhku berbohong.”
“Tapi kamu berbohong mengatakan kalau Raja tidak berada di rumah itu!”
Kata Vey. Sepertinya pembicaraan itu semakin panas.
“Apa yang harus aku lakukan agar kamu berhenti mengganggu kehidupan Kek
Raja kalau bukan membohongimu tentang keberadaannya? Aku serba salah sekarang!
Tolong sedikit mengerti, Vey. Aku juga ingin melihat kamu bahagia mendapatkan
yang kamu inginkan, tapi aku juga ingin melihat Kek Raja tetap tenang tanpa
mengingat masa lalunya!” Perasaan Dirga benar – benar kacau. Dia bangkit dari
duduknya dan segera pergi meninggalkan Vey masih termangu karena kata – kata
Dirga.
“Dirga.. aku…” Vey tidak sanggup meneruskan kata – katanya. Dia merasa
bersalah karena merusak suasana malam yang indah itu. Apa aku salah menanyakannya tentang Raja sekarang? Apa ini waktu yang
salah untuk membicarakan itu? Gumam
Vey dalam hati. Matanya terus memandang punggung Dirga yang semakin jauh dari
pandangannya.
***
Tiga tahun silam ketika kakek Dirga sedang di rawat di rumah sakit,
beliau menceritakan sesuatu yang selama ini disembunyikan dari keluarga
besarnya. Beliau memberitahu Dirga tentang cerita tersebut karena Dirgalah yang
akan meneruskan sesuatu yang di dapatkan dari orang yang akan diceritakan
tersebut.
Malam itu Dirga diminta untuk menjaga kakeknya di rumah sakit. Dirga yang
memang sangat akrab dengan kakeknya dengan senang hati menjaganya. “Dirga, kamu
yang akan meneruskan kepemimpinan hotel ini. Jadi kamu harus tahu milik siapa
sebenarnya hotel ini.”
“Maksud Kakek?” Dirga benar – benar tidak mengerti apa yang sedang
dikatakan kakeknya. Kakeknya membicarakan kepemilikan hotel yang akan
dipimpinnya nanti, mengapa harus
dibicarakan? Bukankah hotel ini memang milik Kakek? Gumam Dirga dalam hati.
Dirga hanya mengangguk patuh mendengar kata – kata kakeknya.
“Hotel ini milik sepupu Kakek, Dir. Kakek hanya menjalankan apa yang dia
inginkan selama ini.”
“Maksud Kakek? Sepupu Kakek? Kek Raja?”
“Iya. Dia yang sudah memberikan segalanya pada Kakek yang miskin ini. Dia
yang menolong Kakek ketika Kakek sedang kesusahan.”
Dirga benar – benar kaget. Bisnis hotel yang selama ini kakeknya jalani
ternyata bukanlah milik beliau. “Hah? Apa itu benar, Kek? Kakek gak bercanda
‘kan?”
“Ya tidaklah, Dir. Ini bukan bahan bercandaan yang bagus. Ini serius.
Raja dulu begitu baik pada Kakek. Meskipun Keluarga Kakek tidak sekaya
keluarganya, dia tetap menerima Kakek sebagai sepupunya. Tidak seperti keluarga
yang lain yang hanya ada di sisi kita ketika kita sudah bergelimangan harta
seperti saat ini.” Dirga diam mendengarkan cerita kakeknya. Dia begitu serius
mendengarkan cerita itu.
“Raja selalu membantu Kakek ketika Kakek sedang membutuhkan bantuan
tentang suatu hal, terutama bantuan tentang uang. Dia selalu memberikan Kakek
segalanya. Padahal Kakek tidak pernah memberikan apa – apa pada Raja. Dan tiba
saat dimana Raja benar – benar harus Kakek bantu.
Dia menghadapi kehancurannya. Itu semua berawal dari sebuah tas slempang
kecil yang ditemukannya hanyut di pantai saat Kakek dan Raja pergi untuk
menenangkan pikiran sejenak. Dalam tas slempang itu ada sebuah buku harian dan
dompet yang sudah basah kuyup tercebur air laut.
Tapi anehnya, meskipun tas itu benar – benar basah, tapi isi semuanya
masih utuh. Mungkin tidak ada ikan yang menyenggol atau mengobrak - abrik
isinya. Di dalam dompet itu terselip sebuah kartu identitas atas nama Mira
Laksmina. Tulisannya agak tidak jelas karena sudah basah, tapi masih bisa
dibaca dengan baik. Dalam kartu identitas itu juga tertera alamat pemiliknya
dengan jelas.
Raja yang memang memiliki sifat keingintahuan yang kuat begitu ingin tahu
bagaimana wajah sebenarnya pemilik tas itu. Sebenarnya itu adalah hal yang
tidak penting, tapi pemikiran Kakek berbeda dengan Raja. Segala sesuatu yang
membuatnya penasaran adalah hal yang sangat penting untuk dicari faktanya.
Akhirnya, rasa penasaran terbayar sudah ketika dia mulai berkirim surat
dengan pemilik tas slempang itu. Surat demi surat dikirim dan diterimanya.
Berbagai hal telah dia ceritakan pada Mira Laksmina, pemilik tas slempang itu.
Mereka begitu dekat.
Setiap kali Raja mendapatkan balasan dari Mira, dia selalu berlari
menemuiku dengan memasang tampang bahagia. Itulah kebiasaannya. Ada beberapa
kebiasaan aneh yang mereka berdua lakukan. Salah satunya adalah, setiap kali
pena yang mereka gunakan untuk menulis surat itu habis, mereka akan
mengirimkannya satu sama lain pena kosong itu. Ketika Kakek bertanya untuk apa
mereka melakukan itu, Raja hanya menjawab, ‘sebagai kenang – kenangan saja.
Juga sebagai indikator perkenalan kita. Semakin banyak pena yang sudah kosong
menandakan bahwa semakin banyak kita mengenal satu sama lain. Kalau kamu belum
mengerti, kata – kata itu sama artinya dengan, semakin banyak tinta pena yang
kita torehkan di atas kertas, semakin banyak pula kita menceritakan bagaimana
diri kita sebenarnya.’
Meskipun Kakek masih belum bisa memahami betul bagaimana jalan pikiran
Raja waktu itu, tapi hanya satu yang Kakek tahu. Raja sedang jatuh cinta. Dia
masih belum sadar bahwa cintanya itu yang akan membuatnya jatuh dan hancur.
Cinta yang mereka rajut itu membuat Raja benar – benar kehilangan segalanya.
Orang tua Raja menjodohkannya dengan seseorang yang menurut mereka
sederajat dengan keluarga mereka yang kaya raya. Anehnya, ternyata itu juga
terjadi pada Mira. Kakek sudah bilang kalau itu pertanda bahwa mereka tidak
jodoh. Tapi Raja dan Mira benar – benar bersikeras untuk memenangkan cinta
mereka. Ancaman orang tua Raja untuk memasungnya jika tidak menuruti perjodohan
itu tidak di gubrisnya. Raja benar – benar nekad.
Bukan hanya ancaman pasung yang diterima Raja. Usaha penginapan milik
keluarga Raja yang pada saat itu akan mengalami pergantian dari ayah Raja ke
tangan Raja juga dijadikan ancaman oleh orang tua Raja. Mereka berkata bahwa
usaha penginapan tersebut akan di alihkan ke orang lain jika Raja tidak
mengikuti perintah perjodohan tersebut. Tapi tetap saja Raja tidak peduli.
Pena ke – 49 milik Mira membuat Raja mengambil suatu keputusan yang
membuatnya Raja rela pergi ke Bogor untuk menemui Mira. Tapi malangnya, ketika
sampai di Bogor, Mira malah tidak di rumahnya. Dia sedang dalam perjalanan untuk
perjodohannya.
Raja pulang dengan tangan kosong. Orang tuanya benar – benar marah dengan
semua tindakan Raja. Perjodohan Raja memang dibatalkan, tapi Raja di pasung
kakinya. Orang tuanya benar – benar murka pada Raja. Kepemimpinan usaha
keluarga Raja masih ada ditangan ayah Raja. Tepat sebelas tahun Raja di pasung,
ibunya meninggal karena serangan jantung. Setahun kemudian ayahnya menyusul
karena sebuah kecelakaan lalu lintas.
Kematian ayahnya membuat hidup Raja sedikit mengalami perubahan.
Pengacara ayahnya membacakan surat wasiat. Raja di bebaskan dari pasungan, dia
juga mendapatkan posisi pimpinan diusaha keluarganya. Meskipun orang tua Raja
dari luar terlihat begitu membenci Raja karena perbuatan Raja yang mengecewakan
mereka, ternyata kasih sayang mereka pada Raja masih ada dan terjaga. Buktinya,
meskipun mereka pernah mengancam akan mengalihkan kepemimpinan usaha penginapan
mereka pada orang lain jika Raja tidak menurut, kenyataannya mereka tetap
memberikannya pada Raja juga.
Raja memang bebas dari pasungan, tapi sebelas tahun lamanya membuat Raja
kehilangan kemampuannya untuk berjalan dengan normal seperti dulu. Sejak saat
itu Raja menggunakan kursi roda untuk membantunya bergerak kemanapun dia mau.
Raja memang sudah mendapatkan posisi sebagai pimpinan, tapi dia merasa tidak
pantas mendapatkan jabatan itu. Bukan Cuma itu, dia juga berpikir bahwa dia tidak
pantas mendapatkan segala kemewahan milik kedua orang tuanya itu. Dia sadar
bahwa dia sudah benar – benar mengecewakan orang tuanya.
Keputusan yang agak gila dia buat seketika. Dia menyerahkan posisi
pimpinan tersebut kepada Kakek. Dan segala kekayaan miliknya diserahkan pula
pada Kakek. Katanya, ‘bantu aku menebus kesalahanku pada orang tuaku.’ Matanya
begitu sayu memohon pada Kakek. Baru kali ini Raja meminta bantuan Kakek.
Meskipun keputusannya itu agak menggentarkan pihak kerabat yang lain, akhirnya
Kakek menerima apa yang Raja berikan.
Bukan soal mudah, Dir. Menerima suatu kekayaan yang tiba – tiba membuat
Kakek serba salah. Raja yang sudah tidak berdaya dengan keadaannya pada waktu
itu masih saja membantu Kakek mengatasi segala masalah yang Kakek hadapi.
Sampai sekarang pun begitu. Begitu besar jasa Raja pada Kakek. Dia benar –
benar orang baik.
Kakek ingin membalas semua kebaikannya, tapi sulit untuk dilakukan. Dia
hampir memiliki semua dan hampir bisa melakukan semuanya sendiri tanpa meminta
bantuan Kakek. Sekarang keadaan Kakek sudah seperti ini. Jelas sudah Kakek
tidak mungkin sempat untuk membalas semua kebaikan Raja. Oleh karena itu, Dir.
Bantu Kakek membalas jasa Raja dengan cara menjaganya dari segala macam hal
yang membuatnya dalam bahaya atau apa pun itu. Jaga dia dari masa lalunya yang
begitu kelam. Jaga dia agar tidak merasakan sakit seperti yang dia rasakan dulu
dihidupnya. Jaga dia agar tidak merasakan sakit lagi. Hanya itu yang bisa kita
lakukan untuk membalas segala kebaikan Raja pada Kakek. Bukankah kebaikan Raja
juga berdampak baik pada masa depanmu, Dir? Jadi jagalah amanat Kakek. Ingatlah
kata – kata Kakek."
Dirga tercengang mendengar cerita Kakeknya yang begitu panjang dan
menegangkan. Dirga hanya mengangguk – angguk saja ketika mendengar kakeknya
meminta jawaban pasti dari Dirga tentang permintaanya untuk menjaga Kek Raja.
Sejak saat itulah Dirga baru tahu tentang kebenaran Kek Raja yang tinggal
bersamanya sejak umurnya 15 tahun.
Sebelum umurnya 15 tahun, tepatnya ketika umurnya 1 sampai 14 tahun,
Dirga tinggal bersama ibu dan ayahnya di Surabaya. Perceraian orang tuanya di
saat umurnya menginjak 15 tahun membuat Dirga harus mengikuti kepindahan ibunya
ke daerah asal mereka di Lombok. Sejak saat itulah Dirga tinggal bersama
Kakeknya dan Kek Raja.
Dirga benar – benar mengerti yang diinginkan kakeknya. Ketika kakeknya
meninggal dunia, dia mulai menjalankan amanah dari beliau. Menjaga dan
melindungi Raja dari sakit hati masa lalu. Dirga sudah menganggap Raja adalah
kakeknya sendiri. Itulah alasan mengapa Dirga benar – benar menyembunyikan Raja
dari masa lalunya, Mira Laksmina.
***
Dirga masih duduk di dalam kantornya sejak tadi. Pikirannya berkecamuk. Perasaan
bersalah dari dalam dirinya muncul begitu saja. Merasa bersalah pada Vey yang
ditinggalkannya begitu saja, merasa bersalah pada Raja karena tidak ada yang
bisa dia lakukan kecuali menyembunyikannya. Dirga benar – benar bingung, apakah
keputusannya ini baik untuk Raja, atau malah sebaliknya.
Dirga memang tidak tahu bagaimana cara yang dapat membuat Raja bahagia,
yang dia tahu hanyalah melindunginya. “Apakah Raja bisa bahagia jika
dipertemukan dengan cinta masa lalunya itu?” Dirga terus berpikir keras.
Kebimbangan yang mendalam membuatnya ragu akan tindakannya menyembunyikan Raja.
“Apa yang harus aku lakukan?” Dirga mengacak – acak rambutnya.
Sejenak dia terdiam. Berpikir apa yang terbaik untuk Raja. Beberapa
kemungkinan diprediksinya agar tidak sampai salah langkah. Ini masalah hidup
orang, bukan hidupnya, ini lebih membingungkan daripada mengambil keputusan
untuk dirinya sendiri.
Malam itu begitu terasa tegang. Angin malam tenang yang di rasakan Vey
tadi berubah menjadi angin yang membuatnya gelisah. Vey kembali ke kamarnya
untuk menenangkan diri. Malam itu berlalu dengan akhir yang tidak di harapkan. Tapi
seperti bukan Vey namanya jika dia percaya bahwa hari itu berakhir dengan
sedih.
“Malam ini memang tidak sesuai harapan. Dan itu berarti bukan akhirnya.
Masih ada besok untuk memperbaikinya.”
0 komentar:
Posting Komentar