BAGIAN 16
“Rindu Dua Pasang Mata”
Tiga hari sudah sejak kedatangannya dari Lombok, Vey masih belum keluar
rumah sama sekali. Dia hanya berputar – putar di dalam rumah, dari kamar tidur
ke dapur, kemudian ke ruang keluarga untuk menonton televisi. Rute lainnya,
dari kamar tidur ke kamar Riko, ke kamar tidurnya lagi. Dan berbagai rute sudah
Vey tempuh di dalam rumahnya itu. Riko yang pernah mengajaknya keluar hanya
mendapat tanggapan negatif yang membuatnya dijitak kepalanya oleh Riko.
“Ayo keluar. Jalan – jalan kemana gitu, bosen dirumah terus. Mama sama
papa aja lagi keluar jalan – jalan. Sekalian kenalan sama tetangga – tetangga
kita.” Ajak Riko dengan tulus.
“Aah, males keluar sama Kakak, entar dikira pacaran sama orang.” Jawab
Vey yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.
“Kamu ini..” Taaak, jitakan tangan Riko tepat mendarat di kepala sebelah
kiri Vey. “Adooooh, Kakaaaaak. Jahatnyaaa.”
“Lagian kamu mikirnya aneh – aneh. Kakak ngajak tulus ikhlas, tapi
tanggapannya menyakitkan.”
“Ah, Kakak ‘kan udah biasa tersakiti.” Kata Vey dengan memasang muka yang
begitu datar.
“Kamu kenapa sih masih murung aja sejak nyampek rumah? Kesambet setan
Lombok ya?”
“Tahu ah.”
“Oya, Dirga tadi telepon, katanya….”
“Hah? Apa katanya? Apa?” Kata Vey bersemangat.
“Katanya Kakak Bohooong… hahahaha.” Riko tertawa lebar setelah memancing
emosi adiknya. Vey langsung menekuk wajahnya, geram melihat Riko yang
menertawakannya. “Ketahuan sekarang. Kamu dari kemarin – kemarinnya murung
soalnya mikirin Dirga, ya?” Kata Riko menggoda adiknya yang sudah membentuk
tekukan – tekukan menyeramkan di wajah manisnya.
“Kenapa gak telepon atau SMS dia aja? Ketimbang kepikiran gini. Kamu ‘kan
sudah punya nomer teleponnya.” Kata Riko sambil mendekati Vey dan duduk di
sebelah kirinya.
“Gengsi ah, masak cewek yang telepon atau SMS duluan.” Kata Vey mulai
menanggapi kata – kata kakaknya yang daritadi berusaha membuatnya jengkel.
“Gengsi ya. Emmm, mungkin Dirga sama pikirannya kayak kamu. Sama – sama
gengsi untuk ngubungi lebih dulu, jadi… ya… sama – sama gak ngubungi.”
“Ya gak samalah, dia ‘kan cowok, seharusnya dia punya inisiatif untuk
memulainya lebih dulu.”
“Kecuali Dirga memang gak suka sama kamu.” Kata Riko sambil senyum –
senyum mengejek Vey. Vey langsung melirik Riko, pandangannya yang sinis tiba –
tiba berubah sayu. “Iih Kakaak.. jangan bilang gitu..” Kata Vey merajuk manja
pada Kakaknya. “Masak iya Dirga gak suka setelah kejadian malam itu?” Kata Vey
tanpa sadar mengatakannya.
“Kejadian apa?” Tanya Riko penasaran. Vey terkejut, dia baru sadar akan
kata – katanya.”Kejadian apa? Memangnya Vey bilang apa tadi?” Kata Vey gugup.
“Hayooo kalian pernah ngapain?” Goda Riko sambil senyum – senyum nakal pada
Vey.
“Apa sih, Kak?” Vey berusaha menutupi kegugupannya. Dia tidak mungkin
menceritakan bahwa ciuman pertamanya yang tidak di sengaja itulah yang terjadi
di malam yang Vey sebutkan tadi. Benar – benar memalukan. Menurutnya itu bukan
ciuman, hanya sekedar ketidak sengajaan karena jatuh. Tapi meskipun sudah
beberapa kali dia memungkirinya, masih saja ingatan sering terlintas
dipikirannya. Benar – benar membuat pusing dan sulit menghindar.
Riko terus menggodanya, terus memaksa agar Vey mengatakan yang membuatnya
gugup. “Emmmm, kalau kamu gak mau cerita yasudah. Sekarang giliran Kakak yang
mau cerita.” Kata Riko sambil tersenyum – senyum.
“Cerita apaan sih? Pasti gak menarik.” Vey acuh tak acuh menjawab kata –
kata Riko.
“Gini, kejadian ini terjadi pas waktu kita di Lombok. Waktu Kakak diajak
buat dikenalin ke temen – temennya Ramon sama Nek Mira juga.”
“Oh, yang cari pacar itu ya?” Kata Vey dengan singkat sambil nyengir
sedikit mengejek Kakaknya.
“Hah. Iya. Tapi bukan itu inti ceritanya. Gini, pas waktu perjalanan ke
rumah Ramon yang baru, setelah pulang dari tempat nongkrong teman – temannya,
kami menemukan sebuah kejadian yang sangat…” Kata – kata Riko dipotong oleh Vey
dengan pertanyaan yang tidak begitu penting. “Eh? Masih ke rumah Ramon? Udah
dapet memangnya pacar?”
“Ah, kamu ini gak penting. Kakak udah bilang bukan itu inti ceritanya.
Ayo dengerin ceritanya. Seru ini.” Kata Ramon dengan begitu semangat. Wajahnya
benar – benar meyakinkan, tapi Vey masih saja tidak begitu peduli dengan cerita
Riko. Pandangan matanya masih tertuju pada televise yang ada di depannya.
“Waktu Kakak, Nek Mira, dan Ramon lagi di perjalanan menuju rumah Ramon
yang baru, kami menemukan sebuah mobil terparkir di pinggir jalan. Mobil itu
sepertinya kami kenal. Ketika kami melewati mobil itu, ternyata di dalamnya tidak
ada orang, ternyata orangnya ada tidak jauh dari mobilnya di parkir, dia lagi
sama seorang cewek. Lagi duduk, dan lagiiii…..” Riko menghentikan kata –
katanya sambil melirik Vey, menunggu tanggapan dari Vey.
Vey yang baru sadar maksud dari cerita Riko itu langsung tercengang.
Mukanya tegang. Dia melirik Riko yang ada di sebelah kirinya. Terlihat di sana
Riko sedang cengar – cengir melirik Vey yang sedang gugup. Vey mengingat ulang
kejadian malam dimana Dirga dan dirinya tidak sengaja jatuh duduk dan tidak
sengaja juga bersentuhan bibir. Malam itu Dirga dan Vey disadarkan oleh sebuah
mobil yang melewati mereka. Hanya satu mobil. Apa itu mobil Ramon? Tanya Vey dalam hati.
Mukanya mulai berubah warna menjadi merah. “Emmmm, mau tahu gak lagi
ngapain?” Tanya Riko sambil cengar – cengir. Perutnya geli melihat Vey yang
berubah menjadi begitu tegang. Vey langsung menutup wajahnya dengan bantal yang
ada di sebelahnya sambil berteriak – teriak.
“Aaaaaaaaaargghhh.. Kak Riko jahaaaaat.” Vey berlari naik tangga lalu masuk
kamarnya. “Hahahahahahahaha….. “ Riko tertawa terbahak – bahak, kedua pipinya
seakan – akan ingin meletus karena tidak sanggup menahan tawa yang begitu luar
biasa. “Veeeeey… Kakak belum selesai cerita…” Teriak Riko. Masih saja dirinya
ingin menggoda adiknya yang sudah malu tidak karuan.
“Vey.. ayo turun.. Kakak masih mau cerita tentang Mr. Kiss dan Miss. Kiss
yang Kakak temui malam itu. Ayo turun.” Riko terus menggoda Vey yang sudah
mengunci kamarnya rapat – rapat. “Veeeeeey…” Riko terus memanggil – manggil
nama Vey dengan berteriak – teriak sesukanya. Memang hobinya menggoda Vey,
apalagi jika Vey sampai malu – malu seperti ini, tambah jadilah dia
menggodanya.
“Aaaaaaargh… gak denger… gak denger… “ Teriak Vey dari dalam kamarnya.
Rumah itu tiba – tiba berubah menjadi kegaduhan yang diciptakan oleh dua orang
bersaudara. Riko kegirangan, sedangkan Vey kelimpungan.
***
“Kamu sampai kapan mau tinggal di sini? Gak kasian Kek Raja sendirian di
rumah?”
“Kakek nginep di hotel terus sekarang. Maklumlah, pacarnya ‘kan juga ada
di hotel. Ya jadi aku gak begitu khawatir ninggalin Kakek. Kakek udah ada
temennya. kenapa memangnya? Ngusir nih?”
“Ya enggaklah, meskipun kamu mau tinggal seumur hidup ya gak apa – apa,
lagian ini udah gak ditempatin juga.”
“Eh? Aku beli deh sekalian ni rumah. Katanya sih Kakek pengen bulan madu
di pantai. Ketimbang bulan madu di pantai – pantai lain mending di sini aja.
Pantai Kuta ‘kan gak kalah bagusnya sama pantai – pantai lainnya.”
“Boleh deh. Eh? Gak usah di beli. Aku mau ngasi rumah ini sebagai hadiah
pernikahan buat Kek Raja sama Nek Mira.”
“Wah wah.. baik banget.” Kata Dirga menggeleng – gelengkan kepalanya
sambil menepuk – nepuk pundak Ramon yang duduk di sebelahnya.
“Kek Raja sama Nek Mira itu udah membuatku sadar akan sesuatu.” Kata
Ramon begitu serius.
“Apa memangnya?”
“Mengajarkan tentang makna kesetiaan yang begitu indah.” Ramon melirik
Dirga yang senyum – senyum mendengar kata – katanya.
“Eh, gak bercanda ini, lagi serius ini.”
“Hahaha, iya – iya, ayo lanjutin.”
“Selama ini aku selalu bermain – main dengan yang namanya cinta. Hari ini
cinta – cintaan sama cewek A, besoknya ngumbar cinta lagi ke cewek B, parahnya
lagi, cewek C, D, E juga di rayu – rayu. Hemmmm, nyesel banget kalau udah inget
itu.”
“Emmmm, jadi kamu sedang dapat hidayah ya sekarang?” Dirga meledek Ramon
yang sedang serius bercerita padanya.
“Kamu ini daritadi gak serius. Aku udah serius – seriua curhat.”
“Hahhaha… iya, Mon. ini aku udah serius.”
“Serius tapi cengar – cengir.”
“Enggak ni udah serius wajahku.” Kata Dirga sambil berusaha membentuk
wajahnya agar terlihat serius.
“Bener ni sekarang serius?”
“Iya, Mon.”
Ramon melanjutkan kata – katanya yang tertunda tadi. “Aku juga udah
mutusin mereka semua. Aku berpikir, aku hanya boleh melabuhkan cintaku pada
satu orang yang memang benar – benar aku cintai dan mencintai aku. Dan dari
kelima cewekku itu masih belum ada yang begitu aku cintai.”
“Jadi kamu sekarang gak punya pacar?”
“Iya, mulai sekarang, aku bakal cari cewek yang bener – bener pantas
untuk jadi istriku. Aku bakal lebih serius kali ini. Tidak main – main seperti
dulu.”
Dirga mengangguk – angguk, dia menepuk – nepuk bahu Ramon lagi. “Semangat
semangat.”
“Kamu juga seharusnya sadar, Dir. Kejadian Nek Mira dan Kek Raja sudah
banyak merubah hidupmu.”
“Maksudmu?”
“Tentang Vey?”
Dirga langsung terdiam. Dia tidak tahu harus memberi tanggapan apa dari
kata – kata Ramon. “Nek Mira sudah mencontohkan pada kita tentang perjuangan
mendapatkan cintanya lagi. Tapi sepertinya kamu masih belum bisa melihat makna
– makna baik dari perjuangan itu. Seharusnya kamu juga terapkan konsep
perjuangan itu pada Vey. Ya, itu kalau kamu suka dia sih.” Kata Ramon panjang
lebar. Tidak puas mengatakan kata – kata panjang tersebut, Ramon menambahkan
kata – katanya lagi untuk menyadarkan Dirga.
“Seharusnya kamu sekarang sudah mengerti makna dari perjuangan cinta yang
di lakukan Nek mira. Beliau berjuang menemukan cintanya yang sudah lama hilang.
Tapi kamu malah melepaskan cinta yang baru saja hinggap. Kalau sudah seperti
ini, seharusnya kamu berjuang mendapatkan Vey yang sudah kamu acuhkan.
Vey sudah berjuang mencarimu untuk menyampaikan isi hatinya, tapi kamu
malah mengacuhkannya, ya, dia gak jadi yang mau bilang cinta. Dia suka kamu,
Dir. Kamu jadi cowok gak peka banget.” Dirga terdiam. Pandangannya masih
terpaku pada air laut yang sudah terbias matahari sore. “Apa sebenarnya kamu
gak suka Vey?” Tanya Ramon tiba – tiba. Dirga langsung menoleh pada Ramon.
“Bukan begitu, Mon. aku Cuma bingung aja gimana caranya nyampaikan maksud
hati.” Dirga kembali pada pandangan awalnya. “Aku suka Vey. Suka, benar – benar
suka. Tapi kalau sudah ada di hadapannya, aku malah bingung harus berbuat apa.“
“Kayak sinetron aja kata – katamu.”
“Ah. Kamu ada – ada aja. Sudahlah, mau gimana lagi?”
“SMS? Telepon? Memangnya kamu gak ngelakuin itu semua?”
“Malu, takut dicuekin. Entar malah nambah sakit hati karena ditolak.”
“Aku udah bilang. Dia itu suka sama kamu.”
Dirga tersenyum pada Ramon. Dia ingin melakukan apa yang dikatakan Ramon.
Tapi dia hampir kehabisan kata kalau sudah menyangkut Vey. Apa yang harus Dirga
lakukan sebenarnya? Dari dulu dia hanya bisa berpikir, berpikir tentang Vey
yang di sukainya. Tanpa melakukan apa – apa yang dapat mewujudkan rasa sukanya
itu.
Dirga merindukan Vey, sama seperti Vey merindukannya. Tapi penyakit
mereka sama. Penyakit ego yang hanya dapat disembuhkan dari diri mereka
sendiri. Mereka juga sama – sama suka. Tapi mereka juga memiliki kebiasaan yang
sama. Kebiasaan takut diacuhkan yang hanya dapat diatasi dengan keyakinan.
Sebenarnya masalah mereka hanya dapat di selesaikan dari dalam diri mereka
sendiri. Jika dibiarkan, maka seterusnya mereka akan mengalami perpisahan yang
tak pernah diinginkan.
0 komentar:
Posting Komentar