BAGIAN 12
“Bertemunya Dua Pasang Mata”
Vey berjalan begitu cepat. Dirga mengikutinya dari belakang. Dirga
berniat untuk minta izin mengobati pipi Vey yang memar karena tamparan preman
tadi. Perasaannya masih merasa bersalah pada Vey. Niat balas dendam malah
berakhir dengan kejadian seperti itu. Vey berhenti di depan kamar Riko. Dia
mengetuk pintu Riko dengan keras. Riko membukakan pintu. Dari jarak yang tidak
begitu jauh, Dirga memperhatikannya. Bodoh!
Kenapa harus khawatir. ‘kan sudah ada pacarnya yang bisa ngobatin lukanya.
Ngapain aku malah ngikuti dia. Gumam Dirga dalam hati.
“Loh? Kamu kenapa, Vey?”
Vey tak menjawab pertanyaan Riko. Dia terus nyelonong masuk kamar. “Hey,
kamu kenapa?” Kata Riko sambil mengikuti langkah Vey. Vey duduk di atas tempat
tidur Riko. Dia masih saja terdiam. “Kenapa pipimu ini. Haduh haduh! Tunggu
tunggu Kakak ambilkan es buat ngompres memarnya. Aduh aduh, ni lihat lagi,
pinggir bibirmu juga luka. Kena jotos
siapa kamu, hah?” Riko memegang dagu adiknya sambil menggeleng – gelengkan
kepalanya melihat luka di wajah adiknya itu.
Vey terdiam, dia masih saja teringat preman tadi yang sudah menampar
pipinya beberapa kali sampai memar dan terluka karena Vey berusaha memberontak
waktu mereka mengikat tangannya. Vey segera bergeming, dia berusaha melupakan
kejadian itu. “Ini juga tangannya, kenapa luka – luka? Bekas tali ya?” Tanya
Riko menginterogasi adiknya.
“Enggak, Kak. Tadi Vey jatuh kepeleset terus pipi kena benturannya
lantai.” Kata Vey berbohong. Dia takut tambah dimarahi kalau sampai ketahuan
dihajar preman. “Terus tanganmu ini?” Tanya Riko lagi, dia masih belum percaya
adiknya jatuh.
“Kena tarik tali yang ada di deket tempat Vey kepeleset. Waktu kepeleset,
Vey berusaha pegangan sama tali itu, tapi ternyata lebih berat badan Vey
daripada talinya, ya jadinya tali lepas dan ngegores tangan Vey.” Sepertinya
Vey sudah memikirkan cerita ini di dalam mobil tadi. Kata – katanya lancar,
tidak seperti cerita yang dibuat – buat.
“Kepeleset dimana?” Nah, kali ini Vey kebingungan. dia masih belum
memikirkan hal itu. Vey bingung menjawabnya, akhirnya dia menggunakan senjata
pamungkas. “Aduh, Kak. Sakit banget. Kakak bisa ngobatin Vey ‘kan? Cepet ambil
es sama obat merahnya.” Kata Vey, dia mengalihkan perhatian Riko.
“Eh? Sakit ya? Yaudah tunggu Kakak ambilkan dulu. Untung Kakak bawa P3K
dari Bogor. Kalau enggak bisa bingung cari obat.” Riko bergerak mendekati
ranselnya untuk mengambil obat merah di kotak kecil P3K yang dia bawa. “Nek
Mira belum tahu kalau kamu jatuh?”
“Enggak, Kak. Vey takut Nek Mira khawatir.” Riko duduk di dekat Vey. “Ini
obat merahnya pegang dulu. Kakak mau keluar dulu, mau minta es buat ngompres
pipimu.” Vey mengangguk. Dia mengambil obat merah yang diberikan Riko. Riko
keluar kamar meninggalkan Vey sendirian.
Vey berjalan mendekati cermin. Dia melihat isi wajahnya. “Mengerikan.”
Gumam Vey. Dia tidak tega melihat wajahnya sendiri. Kemudian dia mengambil kapas
pembersih yang ada dihadapannya. Dibukanya tutup botol obat merah yang
diberikan Riko tadi. Kapas yang digenggamnya dibasahi dengan obat merah dan di
tempelkannya pada ujung bibirnya yang keluar darah karena tamparan preman tadi.
Beberapa saat kemudian Riko datang membawa es untuk mengompres Vey. “Nek
Mira bingung kehilangan kamu daritadi pagi. Kakak udah kasih tahu Nek Mira
kalau kamu di kamar Kakak. Kamu ini daritadi pagi ngilang kemana aja sih?” Riko
menempelkan es yang sudah dibalut kain pada pipi Vey. Vey tidak menjawab
pertanyaan Riko.
“Bagus. Jangan jawab ya!” Riko mulai kesal melihat adiknya yang
kebanyakan diam daritadi. “Mungkin Nek Mira sebentar lagi kesini.. kamu ini,
udah janjian mau nyari Raja pagi ini sama kita, tapi malah ngilang gitu aja!”
“Vey ada kepentingan tadi. Mendesak.”
Pintu Riko dibuka oleh seseorang. Itu Nek Mira, dia masuk dengan tergesa
– gesa. Wajahnya begitu cemas melihat Vey yang babak belur. “Kamu kenapa bisa
gini sih, Vey?” Tanya Nek Mira yang duduk di samping kiri Vey. Nek Mira
mengusap – usap kepala Vey. Dia begitu sayang pada Vey, cucu yang dia miliki
tidak pernah sebaik Vey dan Riko yang rela mengantarnya sejauh ini.
“Vey gak papa kok, Nek. Vey Cuma kepeleset. Vey sendiri malu kalau inget
itu. Jadi gak usah dibahas lagi ya.” Vey tersenyum pada Nek Mira. Pipi sebelah
kanannya masih dikompres Riko. Sesekali Vey mengeluhkan sakitnya ketika Riko
tidak sengaja terlalu keras mendorong kompresnya.
“Kamu sudah makan siang?” Tanya Nek Mira, dia masih saja khawatir
meskipun Vey sudah mencoba untuk berwajah tenang dihadapannya. “Sarapan pagi
aja Vey belum, Nek. Vey lapar.”
“Yaudah ayo – ayo makan dulu. Ayo ke ruang makan. Di sana juga sudah ada
Ramon nunggu kita.”
“Eh? Jadi ya Nek yang mau cari Raja lagi?” Tanya Riko, dia meletakkan es
kompres di atas meja.
“Tunda saja dulu. Biarkan Vey istirahat.”
“Eh, jangan, Nek. Gak apa – apa kita cari sekarang. Vey sudah tahu gimana
caranya masuk.” Kata Vey tiba – tiba.
“Hah? Jangan – jangan kamu kayak gini karena nyoba masuk rumah Raja ya?”
Kata Riko menuduh Vey. Vey jadi kikuk sendiri.
“Bukan gitu..” Vey kehabisan alasan. Memarnya memang bukan karena masuk
rumah Raja, tapi itu juga salah satu akibat dia ke rumah Raja.
“Gak usah! Jangan sekarang. Nenek gak mau terjadi sesuatu yang lebih
parah nanti. Kamu istirahat Vey! Kesehatanmu lebih penting daripada pencarian
ini.” Nek Mira tersenyum, dia merangkul Vey mengajaknya keluar kamar. Riko
mengikuti mereka dari belakang.
Di ruang makan sudah ada Ramon dan Dirga yang tidak sengaja bertemu di
ruang makan tadi. “Hey.. Nek Mira, Riko, Vey. Duduk sini.” Teriak Ramon sambil
melambaikan tangannya kea rah Vey, Riko, dan Nek Mira. Vey terkejut, kenapa ada Dirga? Jangan sampai dia
menceritakan masuknya aku ke rumahnya.
“Ayo – ayo duduk.” Ramon begitu semangat hari itu. Vey, Riko, dan Nek
Mira sudah duduk di satu meja bersama dengan Ramon dan Dirga. “Loh? Vey? Kamu
kenapa?” Tanya Ramon. Vey langsung melihat Dirga, Dirga pun melihatnya.
Pandangan mereka bertemu. Begitu sinis Vey melihat Dirga.
“Kepeleset tadi.”
“Hah? Kepeleset sampek parah gini?” Tanya Ramon. “Yasudah nanti ke rumah
sakit aja. Biar gak tambah parah memarnya itu.” Kata Ramon begitu perhatian.
“Gak usah, Mon. Tadi aku sudah ngompres sama ngobatin lukanya.” Kata Riko.
“Kalau cuma diobati biasa nanti sembuhnya lama. Biar sembuhnya cepet, ke
rumah sakit aja. Nanti kalau kalian pulang ke Bogor ‘kan enak, gak perlu
khawatir bikin orang tua kalian khawatir karena memar – memar itu.” Betul juga
kata Ramon. Vey pun mengangguk menyetujui pendapat Ramon untk periksa ke rumah
sakit.
“Nanti biar aku yang antar.” Kata Ramon.
“Eh.. aku ikut! Aku gak mau entar terjadi apa – apa sama dia di rumah
sakit. Dia ‘kan tanggung jawabku. Aku gak mau mama sama papa nyalahin aku lagi
nanti.”
Ramon tertawa melihat Riko yang begitu khawatir. “Iya – iya, Ko. Adikmu
gak bakal kenapa – kenapa kok di tanganku. Hahaha”
Dirga kaget. “Adik?” Dirga memandang Ramon yang baru saja mengatakan
sesuatu yang membuatnya penasaran.
“Oh, iya. Kalian belum kenalan ya? Temen – temen, ini Dirga. Pemilik
hotel ini. Yang beberapa waktu lalu di katakan kepala pelayan pada kalian itu.
Terus, Dirga, ini Nek Mira, ini Riko dan ini adiknya Vey. Mereka sedang mencari
seseorang yang katanya sih itu kakekmu. Raja Kuswantoro.”
Dirga masih dalam lamunannya. Oh, itu
bukan pacarnya. Itu kakaknya. Syukurlah. “Dirga? Kamu dengarkan?” Tanya
Ramon mengejutkan Dirga. “Oh, I.. iya, aku dengar kok.”
“Jadi gimana, Dir? Apa benar Raja Kuswantoro itu Kakekmu?”
“Dia itu.. dia pemilik rumahku yang terdahulu.” Kata Dirga begitu hati –
hati, dia takut salah bicara.
Vey begitu kesal mendengar kata – kata Dirga. Dasar orang mesum tukang bohong! Gumam Vey dalam hati. Alis Vey
mulai menyatu. Dia benar – benar kesal mendengar kebohongan Dirga.
“Tukang bohong!” Gerutu Vey. Suaranya agak samar – samar, tapi bisa di
dengar oleh semua yang duduk di dekatnya. Vey bangkit dari duduknya kemudian
segera pergi meninggalkan meja tanpa permisi. Nek Mira, Riko, dan Ramon
terkejut. Bingung dengan sikap Vey yang tiba – tiba. Dirga segera bangkit mengejar
Vey. Diraihnya lengan Vey. Vey berhenti
tepat beberapa meja setelah mejanya tadi. Posisi mereka agak jauh dari
Nek Mira, Riko, dan Ramon.
“Vey. Tunggu. Kamu belum mengerti yang aku maksud.” Vey langsung berbalik
menghadap Dirga, mereka dekat.
“Dengar, orang mesum! Aku gak akan pernah nyerah buat cari Raja! Kejadian
tadi gak akan pernah membuat aku nyerah!”
“Aku ‘kan sudah minta maaf, Vey. “ Kata Dirga, tangannya masih
menggenggam lengan Vey. “Aku maafkan. Tapi masalah Raja. Aku gak bakal maafin
kamu kalau sampai aku punya kebenaran kalau kamu memang cucunya! Lepaskan!” Vey
memberontak dari genggaman Dirga.
“Vey..” Panggil Dirga, Vey meninggalkan Dirga yang masih berdiri di
posisinya tadi. Kejadian itu daritadi diperhatikan oleh Riko, Ramon, dan Nek Mira.
Mereka penasaran dengan apa yang Vey dan Dirga bicarakan.
“Ada apa dengan mereka? Kayaknya udah kenal lama. Kok ada acara tarik
menarik.” Tanya Riko.
Ramon menanggapi kata – kata Riko, “Wajah mereka sama – sama memar. Apa
mereka kepeleset di tempat yang sama ya?”
“Loh? Memangnya Dirga juga kepeleset katanya?”
“Iya, Nek. Dirga tadi bilangnya gitu.”
Dirga menghampiri meja tempatnya duduk tadi. Dia tidak duduk kembali
hanya pamit sebentar untuk meninggalkan meja itu.
“Kita lanjutkan lain kali saja ya. Terima kasih perkenalannya. Saya pamit
dulu, masih ada kerjaan yang perlu saya selesaikan.”
Tinggallah hanya Riko, Ramon, dan Nek Mira yang masih bingung dengan
kejadian tarik menarik tadi. “Oh, iya, katanya kamu mau cari cewek buat
dijadikan cewek?” Tanya Ramon tiba – tiba memecah kesunyian diantara mereka.
“Kapan memangnya?” Tanya Riko semangat menanggapi kata – kata Ramon.
“Ya kalau ada waktu. Tenang. Akan aku carikan cewek baik – baik yang
sesuai sama kamu. Temen – temenku banyak kok. Emm, gimana kalau sekarang aja?
‘Kan acara pencariannya ditunda. Jadi isi sama jalan – jalan aja.” Kata Ramon.
“Oke deh. Sekalian aku mau ngajak Nek Mira buat dimintai pendapat
nantinya. Nek Mira ‘kan pengganti mama
di sini.” Kata Riko sambil mencowel lengan Nek Mira.
“Kamu ini! Iya Nenek ikut. Hitung – hitung bantu Riko cari jodoh.” Nek
Mira tersenyum melihat tingkah Riko yang ke kanak – kanakan. “Terus Vey
gimana?” kata Nek Mira yang baru ingat dengan Vey.
“Ya ampun. Aku juga udah janji sama Vey buat nganter dia ke rumah sakit.”
Kata Ramon. Dia kebingungan antara janjinya dengan Vey dan janjinya dengan
Riko.
“Gini aja. Temenmu Dirga itu, apa mau ke rumah sakit juga? Dia ‘kan juga
kepeleset katanya. Gimana kalau Vey suruh bareng Dirga aja? Mereka ‘kan
sepertinya udah kenal tu.” Kata Riko mereka – reka.
“Emm, betul juga. Tapi kamu gak khawatir sama adikmu? Tadi kamu bilangnya
khawatir sampek mau ikut ke rumah sakit juga.”
“Ah, itu alasan aja biar aku bisa jalan – jalan, gak diem di hotel.
Hahaha”
“Apa Nenek aja ya yang ikut Vey periksa?” Tanya Nek Mira meminta pendapat
pada Riko dan Ramon.
“Jangan Neeeeeeek. Terus Riko minta pendapat siapa? Kalau di Bogor Riko
biasanya ngajak mama kalau mau kenalan sama cewek. Kalau di sini ‘kan gak ada
mama. Ini lebih urgent. Kalau Vey
‘kan tinggal periksa aja udah selesai.” Rengek Riko. Nek Mira yang gemas
melihat tingkah Riko menyetujui saja kata – kata Riko.
Beberapa saat kemudian mereka berangkat tanpa bilang - bilang dulu ke
Vey. Kata Riko lebih baik pamitan via telepon saja. Biar Vey gak perlu
membantah dan menyanggah. Mobil Ramon sudah melaju menjauhi hotel menuju suatu
tempat yang Ramon janjikan pada Riko.
***
“Aaaaaaarrrgh… Kak Riko jahaaaat. Kenapa aku malah ditinggal gini.” Vey
berteriak – teriak sendiri di kamar Riko. “Aku disuruh ke rumah sakit sama si
mesum itu? Ya ampun! Gak banget gak banget gak banget.” Vey heboh sendiri. “Sampek
malem gini mereka masih belum pulang! Aaaargghhhh.” Malam itu kamar Riko ramai
hanya karena Vey seorang. Teriakan – teriakannya mampu memecah suasana yang
sepi.
Ketukan pintu kamar Riko membuatnya agak tenang. Dia berhenti berteriak –
teriak sendiri, segera berlari mendekati pintu dan membukanya. Vey kaget
melihat Dirga ada di depannya.
“Mesum?” Vey secara tidak sengaja menyebutkan panggilannya untuk Dirga.
Dirga yang sudah merasa terbiasa dengan itu hanya diam saja.
“Mau apa kamu kesini?” Tanya Vey sinis.
“Aku disuruh Ramon dan Kakakmu buat ngajak kamu bareng ke rumah sakit.”
“Ogah!” Jawab Vey singkat. Dia langsung berbalik untk masuk kamar lagi.
“Terserah sih. Ramon gak mungkin ada waktu lagi buat nganter kamu, dia
orangnya sibuk. Ya kalau kamu mau pulang ke Bogor dengan keadaan seperti itu ya
gak apa – apa.” Dirga berusaha mempengaruhi Vey. Vey yang mendengarkan kata –
kata Dirga berhenti melangkah. Dia memikirkan bagaimana baiknya. Sedikit kesal
mendapatkan keputusan untuk ikut dengan Dirga, tapi mau bagaimana lagi?
Ini keputusannya sendiri. Vey
membalikkan tubuhny alagi menghadap Dirga.
“Minggir!” Kata Vey dengan ketus mengusir Dirga yang ada tepat di pintu.
Vey keluar dari pintu dan menguncinya, kemudian jalan keluar menyusuri lorong –
lorong kamar. Dirga mengikutinya dari belakang sambil tersenyum melihat sikap
Vey.
Sopir Dirga yang standby di
dekat mobilnya langsung menyambut Dirga dan Vey. “Selamat malam, Tuan.”
“Malam, Pak.” Jawab Dirga. Vey tidak menjawab salam sopir Dirga. Dia
berencana untuk tidak berbicara sepanjang perjalanan, agar Dirga tahu kalau Vey
masih marah padanya.
“Ke rumah sakit, Pak. Sekalian Bapak periksakan memar gara – gara tadi
siang itu.”
“Oh, saya sudah ke rumah sakit tadi, Tuan. Tadi waktu jam makan siang
waktu saya izin pada, Tuan itu.”
“Oh, kalau begitu kamu istirahat saja di sini. Biar aku yang bawa mobil
sendiri.”
“Apa tidak apa – apa, Tuan?” Tanya sopir itu dengan sopan.
“Tidak apa – apa. Silahkan istirahat dulu. Nanti pulangnya ke rumah baru
Bapak yang nyetir lagi.”
“Tunggu – tunggu. Cuma kita berdua maksudnya?” Kata Vey yang dari tadi
hanya diam saja. Niatnya untuk diam saja kacau gara – gara rencana Dirga dan
sopirnya.
“Sudah Bapak istirahat saja.” Kata Dirga tidak mendengarkan kata – kata
Vey.
Dirga masuk mobil. Vey yang masih gengsi satu mobil dengan Dirga masih
diam saja di luar mobil. Dirga menunggu Vey masuk. Agak lama mereka diam.
Akhirnya Dirga keluar lagi dari mobil dan mendekati Vey Kemudian membukakan
pintu mobil untuk Vey. Vey masih saja diam. Dirga menghela nafas, dia kehabisan
cara untuk membuat Vey mendengarkannya.
Dirga mendekat pada Vey, dia genggam tangan Vey. Vey terkejut, dalam
pikirannya hanya ada satu kata untuk Dirga, “Mesum”. Ingin rasanya Vey menarik
tangannya menghindar dari Dirga, tapi pandangan mata Dirga membuatnya terdiam.
“Ayolah Vey. Dengarkan aku sekali ini saja. Aku tahu aku salah sudah buat
kamu kayak gini. Oleh karena itu aku mau tanggung jawab untuk bantu ngobatin
kamu.” Kat Dirga lembut. Dia berusaha membujuk Vey yang begitu keras
pendiriannya.
Tanpa berkata – kata Vey akhirnya masuk ke mobil. Dirga tersenyum melihat
Vey akhirnya luluh juga. Mobil Dirga melaju sedang di jalanan beraspal.
Sepanjang perjalanan hanya sunyi yang dirasakan. Sesekali Dirga melirik pada
Vey kemudian kembali lagi fokus menyetir.
Hanya sebentar saja mereka sudah sampai di rumah sakit. Dokter hanya
memeriksa beberapa bagian yang dianggap paling parah, setelah itu memberikan
resep obat untuk kesembuhan mereka. Tak begitu lama mereka di rumah sakit.
Setelah membeli obat yang ada di resep, mereka langsung balik ke hotel.
Seperti tadi, di mobil keadaannya masih saja sunyi. Vey tak mengeluarkan
kata sepatah pun. Sedangkan Dirga sibuk dengan pikirannya. Pikiran Dirga agak
bimbang. Pikirannya melayang pada kakeknya yang ada di rumahnya. Tidak ada yang boleh menyakiti Kakek lagi.
Gumam Dirga dalam hati. Dia memang cucu Raja Kuswantoro. Dia juga yang
menyembunyikan Raja dari Vey dan kawanannya. Itu semua karena Dirga punya
alasan tersendiri untuk melakukannya.
Dirga terus memikirkan segala hal yang berkaitan dengan Vey dan dirinya.
“Aku bukan orang jahat.” Kata Vey tiba – tiba. Dirga terkejut dengan kata –
kata Vey. “Aku hanya ingin Nek Mira bahagia. Aku yang sudah menumbuhkan
semangatnya untuk mencari Raja. Jadi akulah yang bertanggung jawab atas semua
ini.”
Dirga masih terdiam. “Tapi kamu malah membuatku kesulitan untuk
mendapatkannya.” Vey melanjutkan kata – katanya.
Dirga tambah gelisah mendengarkan kata – kata Vey. Dia ingin
memberitahukan kebenarannya. Tapi dia juga tidak ingin membuat kakeknya sakit
hati lagi. Dirge menghentikan mobilnya di jalan dekat sebuah taman. Malam itu
tidak begitu banyak kendaraan yang lalu lalang. Dirga menghentikan mobilnya
hanya agar hatinya aga tenang sedikit.
“Apa kamu tidak suka kalau ngelihat orang senang?” Tanya Vey. Pandangan
Vey tetap ke depan. Tidak sedikitpun dia melihat Dirga.
“Kamu yakin akan berakhir bahagia?” Tanya Dirga. Vey langsung menoleh
pada Dirga. “Kenapa kamu bicara kayak gitu?” Vey mengernyitkan alisnya. Dia
baru saja mendapat tanggapan dari Dirga.
“Aku tidak ingin membuat Kakek sakit hati lagi seperti dulu.”
Vey terkejut mendengar kata – kata Dirga.”Jadi benar Raja itu Kakekmu?”
Dirga tidak menjawab pertanyaan Vey. Vey
kesal, dia segera membuka pintu mobil, dia ingin berjalan sebentar untuk
menghilangkan kesalnya. Tapi Dirga salah paham. Dirge mengira Vey akan keluar
dan meninggalkannya sendirian. Dirga segera keluar mengejar Vey.
“Vey.. tunggu. Dengarkan penjelasanku dulu!” Dirga mengejar Vey. Vey yang
berjalan cepat tiba – tiba berhenti dan membalikkan badannya. Dirga yang kaget
melihat Vey yang tiba – tiba berbalik menghadapnya tidak dapat mengontrol
langkahnya, dia tidak bisa menghentikan langkahnya begitu saja. Dan Bruuuk.
Tabrakan terjadi lagi untuk kedua kalinya. Kali ini cukup keras. Vey terjatuh
duduk dan Dirga pun ikut terjatuh mengikuti arah jatuhnya Vey. Begitu cepat
terjadi sampai mereka tidak sadar kalau bibir mereka bersentuhan.
Vey terdiam, Dirga pun terdiam. Kenapa mata mereka selalu bertemu ketika
kejadian yang selalu terjadi tiba – tiba. Mereka masih saja terdiam dengan
posisi yang membuat mereka dag dig dug. Sebuah mobil yang melintasi mereka
membuat keduanya langsung tersadar. Dirga segera bangkit dari jatuhnya. Dia
kebingungan sendiri. Vey masih duduk termenung
. Dia masih teringat kejadian yang baru saja dialaminya.
Ini ciuman pertamaku. Kenapa dengan
si mesum ini!!!! Vey masih diam. Dia tidak bergerak dari duduknya. Dia
masih duduk di aspal pinggir jalan. Kenapa
aku senang? Jangan jangan jangan… jangan sampai senang!! Tidaaaak. Secara
tidak di sadarinya Vey berteriak sambil menutup mulutnya “Tidaaaaaaak..”
Dirga yang masih salah tingkah kaget mendengar teriakan Vey. “A a ada ada
apa, Vey?” Kata Dirga gugup. Vey berdiri, “Hah? Ah, gak apa – apa.” Kata Vey.
Mereka berdua jadi salah tingkah. “Emm, lebih baik kita balik ke hotel.” Kata
Dirga berusaha mencairkan suasana.
Vey mengangguk menyetujui kata – kata Dirga. Dia langsung masuk ke mobil
Dirga. Dirga mengikutinya dari belakang. Untuk beberapa saat mereka terdiam
dalam kebimbangan.
Apa Vey marah karena barusan?
Kenapa dia diam aja? Dirga bergumam dalam hatinya. Pikirannya sudah tidak
bisa fokus lagi. “Emm, Vey. Aku tadi…” Dirga tidak sanggup meneruskan kata –
katanya. Lidahnya begitu kelu. “Apa, Dir? Aku apa?” tanya Vey berusaha tenang.
Sebenarnya mereka sama – sama dalam kondisi dimana jantung mereka begitu cepat
memacu darah, deg deg deg deg. Begitu cepat degup jantung yang terasa. Vey
mengepal –kepalkan tangannya, dia mencari cara bagaimana untuk dapat tenang.
“Aku tadi gak bermaksud untuk…” Dirga benar – benar tidak bisa melanjutkan
kata – katanya. “Aku juga tidak bermaksud untu menabrakmu tadi.” Kata Vey
menyambung kata – kata Dirga yang kikuk.
“Ah, iya, aku juga minta maaf, Vey. Aku tadi gak sengaja nabrak kamu.”
“Hehe, iya.. kita sama – sama gak sengaja. Jadi gak apa – apa.”
“Hah? Apanya yang gak apa – apa?”
“Itu tabrakannya tadi.”
“Oh, I.. i.. iya. Tabrakannya.” Dirga tersenyum mendengarkan suara Vey,
begitu juga Vey. Dia senyum – senyum sendiri menyadari sikap mereka yang sama –
sama salah tingkah. Untuk saat itu mereka melupakan beberapa kejadian yang
membuat mereka bertengkar dan berselisih.
Dirga menghidupkan radio di dalam mobilnya. Niatnya hanya agar tidak sepi
saja. Beberapa kali menekan tombol akhirnya hidup dan dibiarkan begitu saja
menyala.
Bagi para pendengar musik setia.
Ini persembahan kami bagi kamu – kamu yang lagi jatuh cinta. Nidji, Bila aku
jatuh cinta…
Radio tadi memutarkan sebuah lagu dari band Nidji. Vey dan Dirga terus
membiarkan lagu – lagu itu mengalun di tengah – tengah mereka.
Bila ku jatuh cinta..
Aku mendengar nyanyian, seribu dewa
dewi cinta menggema dunia..
Bila ku jatuh cinta..
Aku melihat matahari, ‘kan datang
padaku dan memelukku dengan.. sayang..
Bila ku jatuh cinta aku melihat
sang bulan..
‘Kan datang padaku dan menemani
aku..
Melewati, dinginnya mimpi..
Melewati, dinginnya mimpi No.. ooooo…
Bila aku jatuh cinta, jatuh cinta,
bersama dirimu…
Peluk aku, dan ciumlah aku,
sayaaaang…
Wah, jadi malu juga baca ttg Vey dan Dirga :D
BalasHapusada salah ketik lagi kayaknya..
'kata' jadi kat trus Dirga jd Dirge :D
Wah, makin penasaran dan makin suka ceritanya >_<
Iya memang, nama Dirga itu kalau udah di ketik entar sama Ms.Word langsung otomatis di ubah jadi Dirge. Niat mau di ubah jadi lupa.. :D
Hapusmakasih udah diingetin.. :D
ohw :D di stop automatically aja :D
HapusSama2 :D
Chapter 13nya dong :D