BAGIAN 11
“Kembali ke Titik Awal Pencarian”
Pagi itu masih sepi. Baru saja jam tangan Vey menunjuk pukul 06.00 pagi.
Vey sudah berada di dekat rumah Dirga. Dia sendirian. Dia sudah memiliki cara
untuk masuk kerumah itu tanpa ketahuan orang lain. Ini hasil berpikirnya
semalaman suntuk. Dia akan meloncati pagar. Harapannya hanyalah agar tidak
ketahuan satpam.
Jalan di depan rumah Dirga masih benar – benar sepi. Vey mulai
melancarkan aksinya. Dia naik pagar yang terbuat dari tembok dan ditumbuhi
tanaman pagar yang menjalar memenuhi pagar itu. Vey berhasil mencapai puncak
pagar, hanya tinggal turun ke bagian dalam pagar. Tapi tiba – tiba sesosok
manusia beruban mengejutkannya. Itu pembantu beruban yang dulu berbohong
padanya.
Sebenarnya pembantu beruban itu tidak melihat Vey, tapi karena Vey kaget
dan jatuh dari pagar, aksinya pun ketahuan oleh manusia beruban itu.
“Kamu lagi? Mau maling ya?” Tuduhnya sambil memegang lengan Vey.
“Satpaaaaaam.. inii…” Mulut pembantu itu langsung di sumbat oleh tangan Vey.
Sebelum orang itu melepaskan tangan Vey dari mulutnya, Vey langsung berkata,
“Aku tahu Raja ada di rumah ini, aku tahu dari anak Bapak! Jangan menyangkal!”
Orang tadi langsung terdiam sambil memandang wajah Vey. Vey perlahan
melepaskan tangannya. “Kenapa Bapak bohong? Aku benar – benar butuh Raja
Kuswantoro untuk menyelesaikan masalah nenekku. Kenapa bapak malah berbohong?
Bapak tidak suka melihat orang bahagia ya?” Vey langsung menghakimi bapak –
bapak beruban itu. “Pak Uban tidak suka ya melihat tuan Pak Uban sendiri senang?”
Bapak beruban itu melepaskan genggaman tangannya dari lengan Vey. Dia
terkejut. “Tuan Raja bisa senang jika kamu bertemu dengannya?” Tanya Pak Uban
(panggilan Vey untuk pembantu beruban itu). “Loh? Pak Uban masih nanya lagi?
Pak Uban ini gimana sih!”
“Ini Tuan Muda yang memerintahkan, Non. Saya hanya mengikuti.”
“Jadi?” Lirik Vey pada Pak Uban. Pak Uban melihatnya. Pandangan mereka
bertemu. Seperti dihipnotis, Pak Uban tidak sadar ketika Vey berlari memasuki
rumah melalui pintu samping, baju Vey benar – benar berlumuran lumpur, terang
saja. Ey tadi jatuh tepat di atas tanah yang berlumpur karena baru saja di
siram oleh Pak Uban agar tidak kering.
“Looh? Nooon…” Pak Uban berlari mengikuti Vey. Vey sudah berlari mencapai
ruang tengah. Dia berhenti karena kebingungan mau masuk ke kamar mana lebih
dulu. Pak Uban sudah ada di belakangnya. “Nooon, kita bicarakan dulu sebentar!
Jangan langsung menyerang.. nanti ketahuan Tuan Dirga.” Bisik Pak Uban pada
Vey. Vey yang kaget karena kehadiran Pak Uban yang begitu tiba – tiba sedikit
kelepasan control, dia berteriak kaget, “Aaargh.”
“Non, pelankan suaranya!” Kata Pak Uban sambil berusaha menarik Vey. “Pak
Uban pasti bohong lagi! Pak Uban mau ngusir aku lagi ‘kan? Gak bisa gak bisa!
Aku harus ketemu Raja sekarang.” Vey berusaha melepaskan genggaman Pak Uban.
“Non, saya tidak bohong. Kita bisa kerja sama.” Vey masih saja tidak percaya,
dia tetap berusaha melepaskan genggaman Pak Uban.
“Ada apa kok rame pagi – pagi?” Dirga keluar dari kamarnya dengan hanya
memakai handuk, dia baru selesai mandi, pagi ini ada pertemuan dengan kliennya
di hotel, jadi harus siap – siap dipagi hari. Dirga kaget melihat ada orang
lain selain Pak Uban. Dia terdiam, Vey terdiam, Pak Uban terdiam. Vey berteriak
ketika melihat Dirga hanya menggunakan handuk, Pak Uban kaget karena Vey
berteriak, jadi dia pun ikutan berteriak. Dirga yang baru sadar dengan
handuknya ikut berteriak, dia langsung berlari masuk kamarnya lagi.
Dirga langsung mengambil baju handuknya, memakainya, kemudian keluar lagi
dari kamar. Waktu Dirga keluar kamar, Vey dan Pak Uban hampir saja menghilang.
“Heeei! Kembali.” Teriak Dirga.
“Haduh. Ketahuan, Pak!” Bisik Vey pada Pak Uban. “Kita acting, Non.” Bisik Pak Uban. Vey
mengangguk.
“Maaf sudah mengganggu istirahat, Tuan Muda. Saya bisa menanganinya,
Tuan.” Kata Pak Uban meyakinkan.
“Ada apa lagi kamu kesini?” Tanya Dirga pada Vey yang begitu kotor dengan
lumpur. “Aku mau cari Raja Kuswantoro!”
“Maaf, Tuan. Saya sudah bilang tidak ada, tapi dia memaksa untuk masuk
rumah. Bahkan dia menaiki pagar.”
Dirga terkejut. “Terus kenapa kamu penuh lumpur?”
“Dia jatuh dari pagar, Tuan.” Jawab Pak Uban.
“Aku mau bicara! Kenapa kamu bohong tentang Raja Kuswantoro!!” Teriak
Vey.
Dirga spontan kaget. Dia segera berlari mendekati Vey. “Bisa lebih pelan
suaranya?” Kata Dirga yang sudah ada tepat di depan Vey. Vey terkejut dengan
gerakan Dirga yang begitu tiba – tiba. “Enggaaaaak….” Teriak Vey, tangan Dirga
langsung dengan cepat menutup mulut Vey. “Biar aku yang urus, Pak.” Kata Dirga
pada Pak Uban. “Tapi, Tuan..”
“Sudah sudah sana.”
Mulut Vey masih di tutup oleh tangan Dirga. Tubuhnya ditarik masuk ke
kamar Dirga. Pak Uban hanya bisa melihatnya dengan khawatir. “Sudah saya bilang
bisa kerja sama, tapi masih aja gak percaya. Sekarang gimana dia bisa ketemu
dengan tuan Raja?” Pak Uban bergumam sendiri setelah Vey dan Dirga masuk ke
kamar Dirga.
“Aaargh.” Dirga berteriak, tangannya baru saja digigit Vey. “Kamu mesum! Kenapa aku dibawa ke kamarmu!”
teriak Vey.
“Karena kamu berisik!!” Bentak Dirga. “Aku Cuma pengen ketemu Raja.
Kakekmu itu.”
“Bukankah aku sudah bilang kalau Raja itu adalah pemilik rumah ini
sebelumnya. Kenapa tidak percaya?”
“Kamu bohong!”
“Cepat bersihkan badanmu! Aku antarkan kamu ke hotel lagi.”
“Tidak! Aku harus bertemu Raja!”
“Aku sudah bilang, Raja tidak ada di sini!! Cepat mandi! Kalau tidak akan
ku kunci di kamarku seharian.”
“Kamu siapa berani – berani menyuruhku mandi! Kalau memang mau diantar,
langsung diantar saja!”
“Aku tidak mau orang – orang di hotel nantinya menyangka aku menghajarmu.
Apalagi mobilku tidak bisa kotor.”
“Aku bisa balik ke hotel sendiri asalkan bisa bertemu Raja.”
“RAJA TIDAK DISINIII. CEPAT MANDIIII!!!!” Dirga membentak Vey. Vey yang
merasa kesal mencoba membuka pintu kamar, tapi tetap tidak bisa. Akhirnya Vey
masuk kamar mandi dengan gerutuan yang berkepanjangan.
“Dasar mesum!”
Ketika Vey masuk kamar mandi, Dirga langsung keluar kamar. Dia segera
memanggil Pak Uban. Pak Uban yang masih ada di depan pintu terkejut ketika
melihat Dirga tiba – tiba keluar.
“Oh, Pak, cepat periksa Kakek. Jaga dia, antarkan sarapannya ke kamar.
Selama cewek ini ada di sini jangan sampai Kakek keluar.”
“Tapi, Tuan..”
“Sudah cepat. Sebelum cewek gila ini keluar dari kamar mandi.” Setelah
memberi perintah penyembunyian, Dirga masuk kamar lagi, berpura – pura tidak
pernah keluar kamar. Selagi Vey di dalam kamar mandi, Dirga cepat – cepat ganti
baju.
Vey keluar dari kamar mandi dengan baju yang sudah di siapkan Dirga
untuknya. Dirga yang sudah selesai berganti baju sejak tadi bangkit dari
duduknya. Dia tidak melihat ataupun melirik Vey. Hatinya masih kesal.
“Bajumu nanti akan aku kirimkan ke hotel. Sekarang ayo cepat kembali ke
hotel.” Dirga berkata pada Vey tetapi matanya mengarah ke tempat lain.
“Aku ingin ketemu Raja!”
“Kubantu mencarinya nanti! Jangan terlalu ramai di rumah orang! Apa kamu
tidak tahu sopan santun?”
“Kamu bohong! Raja ada di rumah ini! Untuk apa dicari lagi!”
Dirga kesal, dia yang sudah tidak ingin melihat wajah Vey, akhirnya
menoleh pada Vey untuk membentaknya lagi. Ketika menoleh Vey, tiba – tiba Dirga
terdiam. Mulutnya terkunci, dia menelan ludahnya sendiri. Vey terlihat begitu
cantik dengan balutan dress bunga –
bunga yang indah. Dirga tetap terdiam ketika Vey mendekatinya.
“A KU I NGIN KE TE MU RA JA.” Kata Vey, Vey mengeja kata – katanya agar
jelas didengar Dirga yang hanya diam saja.
Dirga tersadar, dia menggelengkan kepalanya. “Tidak tidak tidak.”
“Tidak? Apa maksudmu? Aku tidak boleh ketemu Raja?”
“Maksudku, tidak sekarang, nanti akan ku bantu mencari Raja.”
“Kenapa kamu masih saja bohong sih!”
Dirga tidak banyak bicara lagi, dia berjalan menuju pintu kamar. Dia
membuka pintu dan memastikan Pak Uban sudah tidak lagi di depan pintunya.
“Aman.” Gumam Dirga. Dirga berlanjut, dia terus berjalan menuju pintu depan,
Vey mengikuti di belakangnya.
“Dirga..” Teriak Vey pada Dirga yang berjalan cepat di depannya. Dirga terkejut, dia tiba – tiba berbalik
berniat untuk menutup mulut Vey yang berteriak. Vey yang berjalan cepat
mengejar Dirga di belakangnya kaget ketika mengetahui Dirag berbalik tiba –
tiba, Vey tidak sempat mengerem. Dan Bruuuk.. mereka berbenturan satu sama
lain.
“Aaargh.” Vey berteriak lagi.
Dirga langsung menutup mulut Vey denga tangannya. Mereka begitu dekat.
Mata mereka saling bertemu. Untuk beberapa saat mereka diam, Vey yang tersadar
segera mendorong Dirga. “Dasar mesum!” Teriak Vey.
“Aduuuh, ni anak. Jangan teriak! Ayo cepat keluar.” Dirga menarik lengan
Vey. Vey masih saja memberontak dari genggaman Dirga. Begitu masuk mobil, sopir
Dirga langsung melaju dengan kecepatan sedang menuju hotel milik Dirga tempat
Vey menginap.
“Aku gak bakal nyerah untuk ketemu Raja!” Kata Vey pada Dirga yang duduk
di sebelahnya.
“Terserah deh.” Jawab Dirga singkat.
“Kamu tukang bohong!” Vey berniat untuk membuat Dirga marah, tapi Dirga
terlihat santai saja mendengar kata – kata Vey, bahkan seperti tidak
mendengarkan.
“Iiiih, ngeselin! Ketemu cowok ngeselin kayak kamu. Udah ngeselin, mesum
lagi. Udah itu kasar juga. Haduh – haduh, lengkap banget sikapmu, keseluruhan
nilainya buruk!! Kenapa harus kamu sih cucunya Raja! Haahhhh.” Vey terus
mengoceh. Tapi masih saja Dirga tidak mempedulikannya. Dirga pura – pura sibuk
dengan ponsel pintarnya.
“Heh cowok mesum! Kamu tahu rasanya buah maja gak?” Vey memancing emosi
Dirga yang masih tenang daritadi. Dirga merasa heran, kenapa anak ini bahas buah maja? Bukannya daritadi sibuk nyela – nyela
aku? Dirga melirik pada Vey yang sudah melihatnya dengan sinis daritadi.
“Tahu gak rasanya buah maja?” Tanya Vey lagi. Dirga ingin sekali menjawabnya,
tapi dia masih gengsi untuk bercakap – cakap dengan Vey. Dirga hanya
mengernyitkan dahinya. Bahunya diangkat sebentar, pertanda kalau dia tidak tahu
rasa buah maja. Dengan senang Vey langsung membalas jawaban Dirga.
“Rasanya pahit! Kayak sifatmu! Pahit banget! Gak ada manis – manisnya!
Hahaha” Vey merasa puas. Sekalinya Dirga menanggapi kata – katanya langsung
dijatuhkan begitu saja. Dirga merasa kesal menyadari bahwa dirinya baru saja
dikelabui oleh Vey. Vey tertawa puas, sopir Dirga yang daritadi diam
mendengarkan pertengkaran sebelah pihak itu senyum – senyum melihat Vey yang
baru saja menjatuhkan Dirga.
“Pak Sopir. Sudah berapa lama kerja dengan orang mesum ini?” Tanya Vey
tanpa merasa berdosa memanggil Dirga dengan sebutan ‘orang mesum’. “Tuan muda
Dirga maksudnya, Non? Sudah 10 tahun, Non.” Jawab sopir Dirga.
“Kok betah ya.” Tanya Vey santai, dia berkata seperti tidak ada Dirga di
sampingnya. “Berhenti, Pak.” Kata Dirga
tiba – tiba.
“Ada apa, Tuan? Di sini rawan preman, Tuan. Mending berhenti di tempat
lain saja kalau memang ada sesuatu.” Sopir tadi memberi saran sambil
memperpelan jalan mobilnya.
“Di sini, Pak. Turunkan dia di sini.”
“Hah?” Vey tercengang.
“Hah?” Sopir tercengang. “Di sini benar – benar rawan, Tuan. Benar –
benar berbahay untuk seorang gadis seperti Nona ini. Sebaiknya turunkan di
tempat lain saja.”
“Turunkan dia di sini! Cepat! Ini perintah!” Kata Dirga dengan tegas. Vey
yang terkejut langsung angkat bicara, “Ternyata selain mesum kamu masih punya
sifat buruk lagi. KEJAM!” Vey langsung membuka pintu untuk turun.
“Non, hati – hati, di sini benar – benar rawan.” Sopir tadi masih
khawatir dengan turunnya Vey. Vey turun tak mendengarkan kata – kata sopir itu.
Dia merasa benar – benar kesal pada Dirga. Dirga yang juga merasa kesal langsung
memerintahkan sopirnya untuk segera berangkat. Mobil Dirga pun mulai menjauh
dari tempat Vey berdiri sekarang.
Vey berdiri sendiri di tengah jalan yang sepi. Dia merasa kebingungan.
Tadi waktu berangkat dari hotel dia langsung naik taksi dan tidak lewat jalan
yang sepi ini. Sekarang dia benar – benar tidak tahu harus kemana. Tidak ada
angkutan ataupun taksi yang terlihat berkeliaran di sekitar jalan itu. Pikiran
Vey mulai memikirkan hal aneh. Dia teringat kata – kata sopir tadi “Di sini benar – benar rawan, Tuan. Benar –
benar berbahay untuk seorang gadis seperti Nona ini. Sebaiknya turunkan di
tempat lain saja.”
“Iiih, kenapa suasananya jadi nyeremin gini sih. Aduh.. Kenapa aku deg –
degan banget ya?” Vey bergumam sendirian sambil berjalan mengikuti jalan yang
di lewati oleh mobil Dirga tadi. Dari kejauhan beberapa orang memperhatikannya.
Sementara itu, di mobil Dirga sudah merasa menang. Dia senyum – senyum
sendiri. Sopir Dirga melihatnya dari cermin di bagian depan. “Tuan. Ini tidak
main – main. Jika Nona tadi adalah teman Tuan, lebih baik kita putar balik
untuk menjemput dia. Tuan sudah tahu sendiri ‘kan gimana daerah sana?”
“Maksudmu?” Kata Dirga sambil mengernyitkan alisnya.
“Kalau hanya pertengkaran seperti tadi saya kira Tuan tidak akan tega menurunkan
teman Tuan itu di daerah yang berbahay seperti tadi.”
“Bukan itu maksudku. Tentang daerah itu! Apa seburuk yang kamu
ceritakan?”
“Iya benar, Tuan. Oleh karena itu setiap kita lewat sana kita tidak
pernah melihat orang jalan kaki, itu karena tidak ada yang berani lewat sana
dengan jalan kaki atau naik sepeda motor sekalipun. Mungkin hanya mobil – mobil
yang terburu – buru seperti kita ini
yang lewat sana, karena memang di sana jalan alternative. Preman di sana
brutal, Tuan. Nenek – nenek tua aja mereka garap! Apalagi Nona tadi. Nona
cantik seperti teman Tuan itu pasti dijadikan sasaran empuk buat mereka.”
Dirga terdiam. Dia kacau. Niat balas dendam tapi malah salah tindakan.
“Balik, Pak! Jemput dia.” Hemmm,
menyusahkan! Guman Dirga dalam hati. Sopir langsung membelokkan mobil
dengan cepat. Mereka sudah agak jauh dari tempat dimana Vey di turunkan.
Mobil Dirga tiba tepat pada waktu Vey sudah ada di gengaman tiga preman
yang sudah memperhatikan Vey dari jauh tadi. Tangan Vey diikat ke belakang punggungnya
sendiri. Vey yang memberontak tidak kuasa melepaskan diri. Mulutnya di sumbat
oleh tangan dari salah satu preman itu. Vey benar – benar tidak kuat melepaskan
diri. Genggaman preman – preman itu begitu kuat.
Dirga yang melihatnya segera turun. Sopir Dirga pun ikut turun. Mereka
berusaha menyelamatkan Vey. Perkelahian antara preman dan Dirga serta sopirnya
terjadi tidak begitu lama. Vey yang terlepas dari tangan preman itu segera
berlari masuk ke mobil yang masih terbuka pintunya karena Dirga tadi tidak
sempat menutupnya. Vey menarik pintu mobil dengan kakinya. Tangannya masih
terikat tali di belakang tubuhnya.
Perkelahian terus berlanjut. Pipi Dirga terkena tonjokan, pelipis sopir
Dirga kena jotos. Tiga preman tadi juga terkena beberapa pukulan di bagian
perut dan mukanya. Mereka terus saling memukul satu sama lain. Dua lawan tiga.
Jurus –jurus karate yang di pelajari Dirga waktu SMA dia keluarkan saai itu
juga.
Setelah mereka merasa lelah saling pukul, Dirga segera berlari ke mobil
diikuti oleh sopirnya. Preman tadi berusaha mengejar mereka. Berusaha mencegah
mereka untuk masuk mobil. tapi preman – preman itu kalah cepat. Setelah
sopir itu menutup pintu mobil barulah
preman itu sampai di samping mobil. mereka menggedor – gedor pintu mobil. sopir
Dirga segera memacu mobil dengan cepat.
Mobil berjalan perlahan ketika sampai di jalan yang sudah mulai ramai
dilewati orang. Dirga yang daritadi masih terengah – engah sekarang sudah mulai
tenang. Bekas pukulan tadi benar – benar terasa sakit. Dia melirik Vey yang
daritadi hanya diam saja. Tangan Vey masih terikat.
“Tanganmu terikat?” Tanya Dirga. Vey tidak menjawab. Pikirannya sudah
tidak karuan. Dirga memandang wajah Vey yang menunduk. Dia melihat memar di
pipi Vey. Dirge langsung mengangkat dagu Vey. Berniat untuk melihat pipi Vey
yang memar. “Kamu kena pukul?” Tanya Dirga mulai cemas. Vey masih terdiam, tapi
air matanya mulai mengalir.
Dirga segera melepaskan tali yang mengikat tangan Vey. Dirga merasa
bersalah. Sopir Dirga menjulurkan tissue dari depan. “Ini, Tuan. Buat Nona.”
Dirga mengambil lembaran tissue itu, kemudian memberikannya pada Vey. Vey masih
saja terdiam. Dia tidak bergerak sedikitpun. Dirge menghela nafas, dia mengerti
kalau Vey masih belum stabil setelah mendapat kejadian tadi. Dirga tetap
memegang tissue itu, dia menghapuskan air mata Vey dengan tissue yang
dipegangnya. Vey tetap terdiam. Pikirannya masih belum bersatu dengan raganya.
“Maafkan aku.” Kata Dirga singkat. Menit – menit selanjutnya suasana
terasa begitu sunyi. Vey tetap terdiam, pikirannya tidak sempat memikirkan
siapa yang benar dan siapa yang salah. Untuk saat ini dia hanya ingin tenang.