BAGIAN 3
“Mira Laksmina”
Vey masih saja bengong. Dia hanya diam. Pikirannya melayang, tapi
mulutnya tetap bergerak beraturan mengunyah makanan ringan yang disediakan
mamanya setelah makan siang selesai.
Keluarga Vey memiliki kebiasaan yang masih tetap terjaga sampai sekarang,
mereka akan berkumpul di ruang keluarg setelah makan siang ataupun makan malam
selesai sambil menikmati makanan ringan yang disediakan. Katanya untuk menjaga
kekompakan keluarga.
“Vey? Kamu kenapa daritadi bengong? “ Mama Vey berusaha menegur Vey. Tapi
sepertinya Vey lagi asyik dengan pikiran dan khayalannya. Riko gatal melihat
adiknya yang diam. Tidak biasanya diam, biasanya kalau sudah berkumpul pasti
ada saja yang dijadikan bahan untuk menggoda satu sama lain, yang akhirnya akan
berujung pertengkaran yang semakin memanas. Tapi pertengkaran mereka hanya
pertengkaran yang lucu jika diperhatikan, karena biasanya yang mereka jadikan
bahan untuk bertengkar hanyalah hal – hal yang tidak penting untuk
dipertengkarkan. Contohnya seperti tadi waktu perebutan kamar. Mereka sudah
dewasa, tapi pertengkaran – pertengkaran lucu yang mereka lakukan membuat
mereka menyerupai anak – anak kecil.
“Heh tukang mikir! Tu diajak bicara sama mama. Udah mulai berkurang ya
pendengarannya? Emmmm, maklum ya, kamu ‘kan memang terlihat lebih tua dari
Kakak.” Ledek Riko sambil menyenggol lengan Vey yang duduk di sebelahnya. Vey
menoleh pada RIko dan seperti tidak terjadi apa – apa sebelumnya dia menjawab
kata – kata Riko, “Ha?” hanya kata ‘ha’ yang dia keluarkan dari mulutnya.
“Bukan aku yang ngajak kamu bicara! Mama tu! Iih, kamu ini lagi jatuh
cinta ya? Biasanya ‘kan kalau cewek bau kencur kayak kamu jatuh cinta
kerjaannya tu ngelamun, gak siang gak malem. Kesurupan baru tahu rasa! Hahaha.”
Riko mulai melancarkan serangan pertamanya.
Sepertinya Vey sudah mulai terpancing. Alisnya mulai membentuk kesatuan,
beberapa kata sudah terancang di otaknya, kata – kata itu terkumpul dan menjadi
satu dan siap dikeluarkan. “Heh! Aku bukan kencur lagi ya! Umurku udah 21
tahun. Kakak tu udah tua tapi masih aja belum punya pacar!” Vey belum puas, dia
masih melanjutkan serangannya, “Kalau seumuranku jatuh cinta itu wajar, kalau
seumuran kakak masih nyari cinta itu malah gak wajar.. hahaha”
Riko mengerucutkan bibirnya, tanda ketidak setujuan yang ditunjukkan
melalui raut muka. Memang kalau sudah bicara cinta dan hubungan tentang
percintaan, Riko pasti tidak punya jawabannya, karena setiap menghadapi yang
namanya cinta, Riko pasti saja mengalami kegagalan. Kegagalan di pertengahan
jalan masih wajar, tapi berbeda dengan yang dialami Riko. Dari awal perjalanan
cintanya sudah terlalu sering mengalami kegagalan. Bukan salah cewek yang
didekati Riko, tapi salah Riko sendiri. Setiap kali ngajak kenalan sama cewek
selalu bawa mamanya. Mamanya sudah tidak mau ikut, tapi Riko selalu beralasan
agar mamanya mau ikut. Entah malu, entah ragu, atau yang lainnya. Tapi yang
paling sering digunakan Riko sebagai alasan adalah, “Riko ‘kan cari mantu buat
mama, berarti harus cocok sama mama, kalau sampai mama gak ikut, entar Riko
bisa salah pilih, bisa – bisa gak cocok sama mama.” Dan setiap kali alasan itu
diluncurkan, mamanya tidak pernah bisa menolak ajakan Riko. Itulah alasan
mengapa sebagian cewek jadi illfeel
pada pandangan pertama.
“Heh.. heh.. heh.. sudah - sudah. Kalian ini kalau udah ngumpul pasti
rame. Ada aja bahan buat didebatin.” Papa mereka merasa gatal telinganya
mendengar percekcokan yang tidak jelas arah dan tujuannya itu.
Vey tersenyum mengejek Riko, “Tenang, Pa. Meskipun kita selalu bertengkar
begini, tapi Vey sayang dan cinta kok sama kakakku satu – satunya ini. Meskipun
tak ada seorang wanitapun yang mencintaimu, tenanglah kakakku tersayang, masih
ada aku, keluargamu yang akan memperhatikanmu. Hahaha.” Jelas sekali Vey
meledek Riko dengan majas yang begitu ironi. Dia benar – benar puas melihat
kakaknya kesal.
“Untung kamu adikku, kalau bukan, udah aku tenggelemin ke sumur!” Sahut
Riko kesal. Vey tertawa – tawa sendiri melihat kakaknya menjadi seperti itu.
Mama dan papanya hanya bisa geleng – geleng melihat mereka berdua bertingkah.
“Oh ya, Pa. papa bilang rumah ini punya temen nenek ‘kan?” Tanya Vey
ketika suasana sudah mulai kondusif.
“Iya, kenapa memangnya?”
“Siapa namanya, Pa?”
“Emmmm, kalau gak salah namanya tu ada Mira Mira-nya gitu. Nama panjangnya
Papa lupa.”
“Mira Laksmina.” Sambung mama Vey. “Temen nenekmu itu dulu sering dibawa
orang tuanya main ke rumah. Dulu kata Nenekmu, dia gak bakal ke rumah kalau gak
dikawal. Biasa, orang kaya. Takut dirampok di jalan, kalau enggak ya takut
diculik.” Lanjut mama Vey sambil mengaduk segelas teh yang dipegangnya.
“Emm, Mira Laksmina ya, Ma. Sekarang ada dimana dia, Ma?” Vey menanyakan
rasa penasarannya.
“Di panti jompo, kita kemarin yang melakukan transaksi jual beli rumah
ini juga dilakukan di panti jompo itu. Kamu sih diajak gak mau. Kenapa kamu
nanya gitu? Ada sesuatu yang bikin kamu penasaran ya?”
“Enggak sih, Ma. Cuma nanya aja.”
“Kata nenekmu sih, nek Mira itu pernah diajak tinggal bareng. Tapi dia
menolaknya. Padahal niat nenek itu baik. Keluarga nenek dan keluarga Nek Mira
itu udah akrab, jadi mungkin nenek pengen nolongin Nek Mira yang lagi dalam
kesusahan.” Mama Vey menjelaskan lebih lanjut tentang Mira Laksmina.
“Kesusahan? Kesusahan apa, Ma? Memangnya ada apa?”
“Nek Mira itu katanya sih udah bertahun – tahun tinggal sendiri,
keluarganya udah lama meninggal karena kecelakaan. Oleh karena itu, dia lebih
memilih tinggal di panti jompo daripada di rumah besar ini. Katanya sih kalau
di sini dia gak ada yang bisa ngerawat, gak ada temen, gak ada siapa – siapa
buat diajak bicara. Kalau di panti jompo kan ada perawat yang bisa jagain dan
ngerawat dia.”
“Kalau memang gitu alasannya, kenapa gak tinggal bareng nenek aja ya, Ma?
Nenek ‘kan temennya juga.”
“Katanya sih, Nek Mira gak mau ngerepotin dan menyusahkan nenekmu.”
“Mama tahu detil ceritanya?” Vey sepertinya ingin tahu lebih dalam lagi.
“Ya nggaklah, kamu kira Mama wartawan yang bisa mewawancarai kehidupannya
orang.” Mama Vey tertawa kecil.
“Aah Mama gak asyik. Aku kira Mama tahu banyak.” Vey memperbaiki duduknya
setelah menjumut sebuah kue coklat buatan mamanya di atas meja.
“Memangnya kamu kenapa kok banyak nanya tentang pemilik rumah ini?” Tanya
papa Vey.
“Ya cuma pengen tahu aja, siapa tahu ada yang menarik.” Vey tersenyum,
dia berencana untuk menyembunyikan penemuan sebelum dia tahu pasti alur – alur
cerita yang sebenarnya.
“Kak Riko.” Vey menggoda Riko yang dari tadi diam saja sambil sibuk
melahap kue – kue mungil bikinan mamanya itu. Riko sedang meneguk minumannya
ketika Vey memanggilnya sambil menyenggol lengan Riko. “Ukkhhuuk..” Mungkin
sedikit teh yang masuk dalam mulutnya menyerong ke tenggorakan gara – gara
senggolan Vey. “Apaan sih kamu, lihat – lihat dulu dong kalau mau nyenggol.”
Gerutu Riko.
“Hehehe, maaf deh. Kak, besok ada acara gak??” Ketika Vey mulai
menunjukkan tampang dan sikap manis pada Riko, itu pertanda bahwa sedang ada
maksud tertentu yang akan dilancarkan oleh Vey.
“Sibuk, sibuk banget.” Jawab Riko acuh tak acuh. “Aaaah, kakak, ayo dong
yang bener.. “ Vey tersenyum dan bergelayut manja pada lengan Riko. “Iih, apaan
sih kamu. Kamu kalau lagi sok manis gini nyeremin tahu gak!” Riko berkelit,
berusaha menghindari rangkulan tangan Vey. Tapi Vey masih saja mengejar
lengannya.
“Kakaaaaak.”
“Apaan sih Vey.. kamu itu lama – lama kayak orang kesurupan beneran, tiba
– tiba nyerang tiba – tiba sok manis. Nyeremin!” kata Riko sambil berusaha
berkelit dari kejaran tangan Vey. “Aku cuma pengen minta anter ke rumah nenek
besok.”
“Mau ngapain sih, bukannya baru kemarin yang ke rumah nenek? Kemarin
waktu kita pamitan mau pindahan rumah, inget gak?” Kata Riko, Vey mulai reda,
tidak mengejar – ngejar lengan Riko lagi. “Aku cuma pengen denger cerita nenek
tentang temennya ini.”
“kamu ini kenapa sih Vey? Kok kayaknya penasaran banget? Kamu nemuin
sesuatu yang bikin kamu penasaran ya?” Papa Vey mulai mencurigai tingkah laku
Vey yang begitu keras keingin tahuannya mengenai Mira Laksmina. “Apalagi rumah
nenek itu jauh dari rumah kita yang sekarang ini. Butuh dua jam perjalanan
untuk sampek. Apalagi besok Riko sama kamu masih harus bantu beres – beres
rumah, besoknya lagi kalian juga harus bantu proyek bisnis papa biar cepet
kelar.”
Vey cemberut, dia menekuk sebagian wajahnya, sifat manja pada dirinya
masih saja ada meskipun umurnya sudah begitu dewasa. Mungkin itu karena faktor
kakak adik. Dia adalah anak paling bungsu. Biasanya, anak paling bungsu adalah
anak yang memiliki sifat manja yang lebih dibanding dengan anak sulung. Tetapi
tidak semua kejadian seperti itu.
“Terus, kapan kita bisa pergi ke kota?”
“Mungkin satu minggu lagi, sekalian beli cat dan beberapa perabot rumah
yang dirasa kurang.” Jawab papanya dengan tenang.
“Oya, Pa. Sekalian mama juga mau ikut kalau mau keluar. Mama mau belanja
keperluan dapur untuk seminggu, biar gak belanja – belanja ke pasar. Kata ibuk
sih pasar di sekitar sini agak jauh, harus jalan kaki dulu. Mama ‘kan gak
terbiasa jalan kaki.” Mama Vey menyumbang kata – kata untuk rencana minggu
depan itu.
Untuk beberapa saat suasana menjadi sepi. Vey masih terganggu pikirannya
dengan rasa penasaran yang menjadi, sedangkan Riko, mama, dan papanya sibuk
berkutat dengan makanan yang tersedia. Menit – menit selanjutnya suasana
pedesaan yang sejuk dan menenangkan begitu terasa. Mereka hanya diam dan
memandang keluar jendela yang berlukiskan pemandangan desa yang menghijau.
Makin penasaran :D
BalasHapusoh iya, makasih udah folback blog aku ;)
salam kenal yaaaa...
Hampir lupa, tadi aku sempat baca ada kata tenggorakan. Itu emang benar tenggorakan atau tenggorokan?
hehehehehe, makasih.
Salam kenal juga :D
Hapusmakasih udah baca blogku.. :D
eh, maaf itu tenggorokan aslinya, tapi waktu ngetik jariku keseleo, jadinya malah tenggorakan.. hehehhe :D