BAGIAN 7
“Keputusan yang Tepat”
Beberapa hari setelah pesta kecil – kecilan itu, Vey tidak pernah
mendengar lagi kabar dari Nek Mira. Seperti ditelan bumi. Vey membiarkan itu,
tidak mungkin dia mencari kabar Nek Mira dan menyuruhnya untuk bercerita
tentang ceritanya lagi seperti kemarin.
Kemarin begitu banyak cerita yang dia dapatkan Nek Mira. Nek Mira juga
sempat menceritakan 50 pena yang ada di dalam kotak itu. 50 pena yang Raja
gunakan untuk menulis surat – suratnya pada Nek Mira. Menurut Nek Mira, pena –
pena itulah yang mempertemukan mereka, meskipun mereka tidak pernah bertemu,
tetapi dengan pena, mereka dapat melakukannya.
Malam ini Vey menuntaskan bacaan surat milik Raja. Sudah beratus – ratus
surat yang dia baca. Beberapa surat yang menurutnya mempunyai isi yang berbobot
dipisahnya, hampir setengah dari surat itu sepertinya. Kemudian dia
meletakkannya di kotak dengan susunan yang terpisah.
“Aku akan mengembalikan pada Nek Mira. Ini kenangan miliknya. Tidak boleh
dibuang.” Vey terus menata kertas – kertas itu. Ketukan pintu mengejutkan Vey.
Dia menoleh ke pintu dan berkata, “Siapa ya?”
“Kak Riko. Cepet keluar! Ada telepon tu dari Nek Mira. Kalian itu bisnis
apaan sih kok kayaknya dari minggu lalu serius banget bicaranya.”
“Masalah wanita. Kalau Kakak pengen tahu, jadi wanita dulu.” Kata Vey
dengan tenang sambil membuka pintu kamarnya. Dia melewati kakaknya dan turun
menuju gagang telpon yang menunggunya. “Halo? Nek Mira?”
“Iya, Vey.” Sahut Nek Mira di
seberang sana.
“Gimana nih kabar Nenek? Lama gak dengar kabar.” Tanya Vey ramah menyapa
Nek Mira.
“Nenek baik – baik aja, Vey. Kamu
gimana?”
“Baik, Nek. Oya, tumben Nenek telpon, ada apa nih?”
“Nenek ingin berterima kasih
padamu, Vey. Berkat nasehatmu nenek bisa memutuskan sesuatu yang seharusnya
sudah lama nenek lakukan.”
“Maksud Nenek apa?” Vey kebingungan dengan apa yang dikatakan Nek Mira
padanya barusan.
“Dua hari lagi nenek akan berangkat
ke Lombok. Nenek akan mencari Raja, Vey.”
Begitu terkejutnya Vey mendengar itu, ingin rasanya dia berteriak
kegirangan. Nasehat yang diberikannya pada Nek Mira beberapa hari lalu ternyata
dapat dicerna dengan baik oleh Nek Mira hingga Nek Mira bisa memutuskan hal yang
paling dia ragukan dulu. “Beneran, Nek?”
“Iya, Vey. Doakan nenek ya.. semoga
perjalanannya dapat menyenangkan.”
“Amin. Vey akan doakan, Nek.” Setelah itu teleponnya tertutup. Vey
tersenyum mengingat kata – kata Nek Mira. Itu
keputusan yang tepat.
“Kenapa senyum – senyum? Bisnisnya berhasil ya?” Ledek Riko yang berjalan
di belakang Vey. Sambil menenteng toples berisi kue buatan mamanya, Riko memang
sangat menyukai kue – kue mungil buatan mamanya itu. Tapi anehnya, meskipun
sering ngemil tubuhnya masih saja bagus terjaga, tidak gemuk, tidak kurus.
“Iiih.. kepo banget sih!” Vey
mengacuhkan Riko yang berusaha memancingnya untuk menjawab pertanyaannya. Vey
terus berlalu melangkah menjauhi Riko yang sudah duduk di depan televisi.
Kemudian Vey masuk ke kamarnya. Dia semalaman memikirkan keputusan Nek Mira
yang begitu mendadak. Semalaman pula dia tidak bisa tidur memikirkan bagaimana
nantinya Nek Mira mencari Raja sendirian di tanah orang.
***
Dua hari kemudian, tibalah saat keberangkatan Nek Mira ke Lombok. Dia
berjalan dengan tegap. Meskipun umurnya sudah 62 tahun, tapi semangatnya kala
itu berkobar seperti anak ABG. Dia menyeret koper memasuki bandara. Setelah
beberapa menit menunggu, masuklah dia di pesawat yang sudah tertera di
tiketnya.
Tempat duduknya tersedia untuk dua orang. Pastilah Nek Mira berani
memasang kocek lebih untuk perjalanan di masa tuanya itu. Kenyamanan yang dia
cari, agar betah di atas nanti. Nek Mira duduk santai menunggu keberangkatan.
Di sebelahnya ada seseorang membaca Koran, sepertinya sedang asyik. Korannya
hampir menutupu seluruh tubuh bagian atasnya.
Mungkin karena terlalu asyik membaca Koran, orang itu mungkin tidak sadar
kalau tangannya sudah menyenggol beberapa kali lengan Nek Mira. Nek Mira
memakluminya, Nek Mira berpikir mungkin dia tidak menyadari itu. Jadi dibiarkan
saja. Dan ketika kata mungkin itu terlalu banyak di lontarkan Nek Mira akhirnya
angkat bicara ketika orang tadi menyenggol tempat kaca mata yang ada di sebelah
kiri Nek Mira sehingga membuatnya terjatuh.
“Maaf, Tuan. Bisakah Anda lebih tenang sedikit?” Nek Mira begitu berhati
– hati mengatakannya, takut samapi ada salah paham yang tidak diinginkan.
Orang tadi melipat korannya dan berkata,
“Tentu, Nek Mira.” Vey tersenyum, dia terlihat memakai topi detektif dan
kaca mata minusnya. Nek Mira terkejut. Orang berkoran tadi ternyata adalah Vey.
“Vey? Kenapa bisa?” Nek Mira masih belum percaya bahwa Vey benar – benar
ada di hadapannya saat ini.
“Hehehe, Nenek Vey berkata, ketika kita memberikan nasehat pada
seseorang, jangan hanya keluar dari mulut saja. Tapi bantulah orang itu
mewujudkan nasehatnya. Jadilah penasehat yang bertanggung jawab. Bukan malah
penasehat yang lari dari tanggung jawab. Dan aku ingin sekali menjadi penasehat
yang bertanggung jawab.”
Vey tersenyum pada Nek Mira yang sedang kebingungan melihat
keberadaannya. “Nenek, Vey juga membawa barang – barang penting kita yang
berguna untuk penyelidikan.”
Nek Mira tersenyum, “Kamu itu, penyelidikan? Kamu kira kasus kepolisian?
Hehehe” untuk beberapa saat suasana di pesawat disibukkan dengan beberapa
persiapan pemberangkatan. Vey dan Nek Mira mulai menikmati perjalanan yang akan
berlangsung beberapa jam itu.
***
Semalam setelah Nek Mira menelepon ke rumah Vey…
“Ini benar – benar penting, Ma, Pa. Ayolah izinkan Vey ikut Nek Mira.”
Vey merajuk. Dia menceritakan panjang lebar tentang kejadian yang
sebenarnya agar diperbolehkan pergi. “Kalau masalah kerjaan di kantor Papa, Vey
bakal tetep kerja via online kok, Pa.
Vey janji.”
“Bukan masalah itu, Vey. Kamu itu anak cewek, dan Nek Mira itu sudah
nenek – nenek. Kalau sampai terjadi sesuatu di sana, nanti gimana? Kami juga
yang khawatir.” Papa Vey begitu berat melepas Vey. Apalagi mamanya yang
daritadi hanya diam tak berkata apapun, ingin mengizinkan tapi ketakutan, takut
terjadi sesuatu pada anak perempuannya ini.
“Yasudah gini aja, Riko ikut damping adikmu.” Kata papa Vey memberikan
keputusan yang membuat Riko terlibat di dalamnya.
“Hah?” Riko terkejut, dia yang daritadi hanya sibuk dengan facebook-nya tiba – tiba mendapatkan
tugas baru dari papanya. “Jaga Vey? Berarti ikut ke Lombok? Gila! Vey enak
punya tabungan buat beli tiket pesawat. Riko baru aja beli tablet ini, uang
Riko kemps udah. Udah deh Vey gak usah macem – macem.”
Vey memandang wajah Riko dengan penuh pengharapan. Wajahnya sengaja dia
pasang dengan wajah yang begitu berharap. “Apaan sih mukamu itu kok kayak itu!
Yaudah yaudah gini aja. Kasih Riko uang buat ngawal dia.”
“Papa kasih, tapi hemat – hemat ya! Beli tiket pesawat yang ekonomi
saja.” Kata papa Vey sambil membuka dompetnya.
“Hah? Terus Vey? Dia?”
“Ya Vey terserah Vey. Dia kan pakek uangnya sendiri.” Kata papa Vey dengan
tenang tanpa merasakan penderitaan yang baru saja Riko terima.
“Aaaargh, penderitaan tiada akhir kalau udah menyangkut Vey.” Kata Riko
sambil menarik – narik rambutnya seperti orang gila.
Vey tersenyum sambil memeluk kakaknya itu. Riko sayang pada Vey. Vey
adalah adik satu – satunya. Meskipun setiap hari kerjaan mereka berdua adalah
bertengkar, tapi pertengkaran mereka hanyalah di mulut saja.
***
Selagi Nek Mira dan Vey sedang menikmati pelayanan pesawat yang
exsklusif, Riko sedang merana di bagian lain pesawat. Dia duduk diantara dua
orang yang bertubuh subur dan makmur. Terapitlah tubuhnya. Seperti humberger.
“Awas kalau sudah sampai. Kuhajar kamu Vey!!!” Gerutu Riko sambil meremas
– remas tangannya sendiri.
Gerutuannya terdengar oleh kedua makhluk raksasa di sampingnya. “Ada apa
mas? Siapa yang mau dihajar?” Tanya salah satu dari mereka.
“Ah, itu adik saya. Iya. Adik saya. Hehehe” sahut Riko dengan sedikit
paksaan senyum. Riko hanya takut orang itu salah paham karena kata – katanya
tadi. Kalau sampai salah paham, habislah sudah riwayat hidupnya, ditutup dengan
kisah dihabisinya Riko oleh raksasa di atas udara. Ceritanya akan mirip seperti
kisah kisah kerajaan zaman dulu.
“Oh? Anda ingin menghajar adik Anda sendiri? Anda begitu kejam ternyata
ya? Itu tidak boleh! Tubuh Anda yang lebih kecil dari saya, saya kira Anda
baik, ckckckckc. Ternyata tidak. Lihatlah tubuh saya yang tidak begitu besar
ini. Meskipun tubuh saya ini seperti ini, tapi kelembutan selalu meliputi
saya.” Orang itu berkata panjang lebar tanpa arah dan tujuan.
“Orang ini bicara apaan sih. Ngelantur banget.” Gumam Riko.
“Oleh karena itu, wanita – wanita banyak yang mengagumi saya. Ingin lihat
siapa saja yang mengagumi saya? Ini foto – fotonya ada di dompet saya.”
Riko menarik ujung bibirnya, berusaha untuk tersenyum. Sepertinya orang ini sedang mabuk udara,
bicaranya kemana – kemana. Apa maksudnya dia lembut? Dia membandingkannya
denganku? Dia lembut, dan dia disenangi banyak wanita dan aku tidak? Apa
maksudnya??? Dia mengejekku karena aku tidak punya pasangan? Kalau bukan di
pesawat sudah kubanting – banting ni orang. Riko terus mengoceh dalam
hatinya selagi orang itu berusaha memberitahukan foto – foto wanita yang
katanya mengaguminya.
Penerbangan itu seperti di surga menurut Vey, melayang di udara dengan
pelayanan yang begitu memuaskan. Tapi berbeda dengan Riko, menurutnya
perjalanan ini seperti neraka, melayang di atas api sambil dihimpit batu – batu
dari gunung yang ukurannya jumbo – jumbo, dihimpit kedua orang itu membuat Riko
kepanasan. Untuk beberapa saat Riko bertahan dengan suasana yang menjengkelkan
itu.
beberapa hari lalu ternyata data dicerna denga baik < Aku agak gak ngerti sama kalimat ini ;)
BalasHapusKasihan si Riko :D
Lanjutannya ditunggu :D
Itu maksudnya "beberapa hari lalu ternyata dapat dicerna dengan baik"..
Hapushehehe, biar tak ubah entar.. :D
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus