BAGIAN 4
“Lembaran – Lembaran Cinta”
Baru saja Vey memasuki kamarnya setelah seharian membantu mama, papa, dan
kakaknya beres – beres rumah. Meskipun sudah seharian, tapi masih saja ada yang
belum terselesaikan. “Itu masalah besok”, kata mereka. Hari mulai gelap, jadi
istirahat adalah pilihan yang mereka pilih.
Tepat pukul 19.00 WIB ketika Vey memasuki kamarnya. Baru saja selesai
makan dan ngemil sedikit suguhan ringan seperti tadi siang. Yah, kebiasaan
keluarga harus tetap jalan meskipun dalam keadaan lelah. Dan sepertinya
kebiasaan itu sudah menjamur ke dalam darah – darah mereka, jadi, tidak ada
yang protes dengan kegiatan itu.
Vey menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur yang sudah diganti dengan
yang baru tadi siang. Matanya berkedap – kedip. Sepertinya meskipun jam masih
belum begitu malam Vey sudah mulai terbawa sediki – sedikit ke alam mimpi.
Sesekali matanya terbuka, berusaha untuk menahan kantuk. “Aaah, kok mau tidur
sekarang sih? ‘Kan masih jam tujuhan.” Vey bangkit dari tidurnya. Tubuhnya
menggeliat, menarik semua otot – otot yang kaku karena digunakan seharian untuk
bekerja.
“Huft… aku pengen baca lanjutan surat – surat tadi deh, penasaran kisah
selanjutnya. Hehehe, kayak novel aja.” Vey meraih kotak yang disimpannya di
bawah ranjang. Dia mengangkat dan kemudian meletakkannya di atas tidurnya lagi
seperti tadi saat awal menemukan kotak tersebut. Vey membuka tutup kotak dan
mulai mengambil beberapa surat yang ingin dibacanya itu.
“ini penyusunannya kayaknya udah diatur sama yang punya. Susunan paling
atas adalah surat yang paling tua umurnya. Mulai tahun 1966, 1967, 1968, 1969.
1969 cuma ada tiga surat, yang lain kayaknya per-bulan ada 3 sampek 4 surat.
Bulannya juga teratur per-tahunnya.” Vey mengangguk – angguk sendiri tanda
mengerti.
“Wah, jadi gampang bacanya ni. Jadi gampang juga ngertiin alur
ceritanya.” Vey mengambil surat di urutan pertama. “Tadi siang aku ambil surat
diurutan ketiga. Jadi itu berarti surat ketiga yang dikirim. Dan yang ini aku
ambil diurutan pertama, jadi ini pasti surat pertama yang dikirim.” Vey
membolak – balik amplop surat yang begitu lusuh itu. Warna amplopnya sudah
berubah warna menjadi coklat. “Kayak baca buku sejarah aja. Hehehe.” Vey mulai
membuka dan membaca isinya.
Untuk surat – surat berikutnya Vey begitu serius membacanya. Kantuk yang
dirasakan sebelumnya sirnah begitu saja, kadang itu bisa terjadi pada seseorang
yang sedang melakukan sesuatu yang membuatnya senang dan penasaran. Vey begitu
senang sekaligus penasaran menemukan sesuatu yang lain daripada yang lain. “Ini
baru novel nonfiksi yang sebenarnya. Ceritanya langsung dari bukti sejarahnya.
Hehehe.” Gumamnya sambil membuka surat ke – 10 untuk dibacanya.
Lombok, 21 Mei 1966
Foto yang kamu kirimkan begitu
cantik. Kamu sepertinya adalah salah satu primadona di daerahmu. Sayang sekali
gadis secantik dirimu masih belum ada yang memiliki. Jika saja aku tinggal di
daerah yang sama denganmu, tanpa berpikir panjang aku akan mengajak orang tuaku
untuk langsung meminangmu. Hehehe.
Ini bukan bercandaan. Aku sungguh
memujimu. Seandainya kita bisa bertemu, aku pasti sangat bahagia. Sepertinya
aku mulai jatuh cinta padamu. Hehehe, aneh bukan? Memang perasaan seseorang
yang tidak pernah bertemu cukup sulit untuk dipercaya. Apalagi kita hanya
saling mengenal dalam surat saja.
Meskipun ini terasa aneh dan sulit
dipercaya, aku berharap kamu tidak menghindar gara – gara ungkapan ini. Jalani
saja seperti biasa, siapa tahu suatu saat kita bisa bertemu dan kamu akan jatuh
cinta padaku. Hehehe.
Oh iya, lepas dari masalah itu, aku
baru ingat. Rekaman suara yang kamu kirim bersamaan dengan foto itu sungguh
membuatku terpesona. Aku jadi senyum – senyum sendiri. Suaramu merdu. Aku akan
terus mendengarkan kaset rekaman itu sampai kaset itu benar – benar sudah tidak
bisa di dengar lagi. Atau kalau bisa, setiap kali kamu mengirim surat untukku,
nyanyikanlah sebuah lagu lagi untukku, dan simpan dalam sebuah kaset rekaman
seperti kemarin itu. Aku benar – benar menyukainya.
Aku juga akan mengirim rekaman
suaraku, tapi jangan tertawakan jika suarku tidak semerdu suara yang kamu
miliki. Untuk surat kali ini, aku hanya mengirimkan fotoku saja. Semoga tidak
membuatmu kecewa melihatnya.
“Mereka saling jatuh cinta? Waw, hehehe, tambah seru ni. Surat ini
ditulis tanggal 21 Mei 1966. Berarti surat itu nyampek disini satu minggu
kemudian. Emmm, aku mau baca buku hariannya sekarang.” Vey memasukkan lagi
lembaran surat dan selembar foto yang disertakan.
Bogor, 29 Mei 1966
Aku menerima surat lagi darinya.
Kali ini begitu mencengangkan. Aku samapi kehabisan kata – kata untuk
mengungkapkannya. Dia menyatakan cinta. Memang aneh, dan dia pun berpikir
seperti itu. Begitu aneh. Bagaimana mungkin dia bisa mencintaiku?
Aku juga menerima fotonya kali ini.
Begitu tampan…
“Tampan? Hah! Gaya jadul kayak gitu dibilang tampan. Mungkin standar
orang cakep dulu kayak gitu ya? Hahaha.” Vey tertawa – tawa sendiri. Matanya
masih belum terasa ngantuk. Dia kembali berkutat dengan buku harian itu. Dia
kembali melanjutkan bacaannya yang tadi sempat diselanya.
Aku juga menerima fotonya kali ini.
Begitu tampan. Hatiku jadi berdebar – debar. Aku jadi terbayang – bayang
wajahnya ketika membaca tiap baris suratnya.
“Orang dulu ternyata sudah ada yang alay ya? Hahaha, terbayang – bayang
wajahnya.. lagi kasmaran.. hehehe” Vey kembali menyela sendiri bacaannya, dia
senyum – senyum sendiri. Kemudian melanjuti bacaannya lagi.
Sulit untuk dipikirkan. Setelah
membaca suratnya kali ini, aku sering termenung dan senyum – senyum sendiri.
Begitu sulit dimengerti. Apakah aku juga mencintainya secara tidak disadari?
Entahlah, kadang hati memang sulit dimengerti. Aku hanya membaca tulisan dan
melihat wajahnya dari selembar kertas. Mana mungkin aku bisa mencintainya
begitu saja? Tidak, tidak. Mungkin ini hanyalah cinta sesaat.
Tapi meskipun begitu, aku tidak
akan menghindar darinya. Dia begitu asyik untuk dijadikan teman berbagi. Sulit
menemukan seorang laki – laki seperti dia. Apalagi bagi wanita sepertiku.
Vey mengerucutkan mulutnya. “Apa ini cerita cinta yang bertepuk sebelah
tangan ya? Nek Mira ternyata gak suka. Tapi Raja cinta dia. “ Vey membuka
lembaran -lembaran selanjutnya. Dia membacanya sedikit di bagian atas.
Lembar – lembar surat yang dia
kirim semakin membuatku terkesima. Begitu gigihnya dia menyatakan cintanya
padaku. Aku juga sudah mendengar beberapa rekaman cinta yang dia rekam khusus
untukku. Setiap kata yang disusun disuratnya sekarang seakan benar – benar
dipikirkan. Tidak membuatku kesal, malah membuatku ketagihan membacanya. Tidak
terkesan memaksa, malah membuatku tambah melebarkan senyuman.
Lembaran – lembaran surat yang dia
kirim bukan lagi seperti lembaran persahabatan, tapi sudah menjadi lembaran –
lembaran cinta yang dikirim khusus untuk wanita yang dia cintai. Aku sebagai
seorang wanita biasa, lama – lama akan luluh jika dia terus berusaha dan tidak
pernah lelah berusaha mendapatkanku.
Yang aku takutkan hanyalah
ketidakbenaran. Aku hanya takut ditipu. Tapi, sepertinya tidak juga.. aaah,
membingungkan. Aku benar – benar bingung.
Vey geregetan. Dia menarik nafas dalam – dalam, “Heemmm, ni anak, kenapa
gak to the point aja sih. Kalau
memang suka ya suka, kalau enggak ya enggak. Ini ni yang namanya galau.” Vey
kembali membuka lembaran selanjutnya. Dia begitu penasaran bagaimana kisah
selanjutnya.
Mengikuti hati nurani adalah saran
yang Ningsih sarankan untukku. Aku cerita banyak padanya tentang Raja. Dia
begitu tertarik mendengar ceritaku. Aku juga menceritakan tentang cinta yang
Raja ungkapkan padaku. Aku juga menceritakan bagaimana bingungnya aku
menanggapi perasaan Raja.
Aku masih ingat wajah Ningsih tadi
siang ketika dia menanggapi semua ceritaku. Dia berkata, ‘Ikuti kata hatimu,
Mir. Jangan terlalu berpikir tentang logika. Yang kamu ceritakan daritadi
sepertinya hanyalah pikiranmu secara logika saja. Kamu tahu tidak? Kalau
mengenai perasaan, yang harus kamu lakukan bukan memikirkannya di kepala, tapi
di hati.” Aku masih ingat dengan jelas kata – kata indah itu.
Memang benar kata Ningsih, cinta
yang selalu dipikir melalui kepala hanya akan menghasilkan sebuah logika.
Sedangkan cinta bukan tentang logika, tetapi tentang hati. Sekarang aku dapat
menemukan jawaban atas kebimbangan yang selama ini aku rasakan.
“Waaaah, nenekku dulu ternyata pintar dalam merangkai kata. Hehehe, kenapa
dia gak nasehati kak Riko ya tentang masalah cintanya? Hahaha” Vey membanggakan
neneknya sendiri yang tak lain Ningsih, teman nek Mira.
Tak dirasa, malam sudah begitu larut. Tapi Vey masih belum merasakan
kantuk. Meskipun mata masih bisa diajak kompromi, tetapi punggungnya tidak.
Punggungnya mulai terasa ngilu. Seharian punggungnya sudah digunakan tanpa
istirahat. Dia segera membereskan surat – surat yang berserakan di kasurnya.
Kemudian meletakkan kotak besar tadi di bawah ranjangnya lagi.
Vey menelentangkan tubuhnya. Dia menghela nafas. Matanya masih kuat tak
terpejam. Pikirannya masih terbayang beberapa kata yang ada di surat – surat
itu. “Hemm, lembaran – lembaran cinta katanya. Kalau orang – orang dulu ada ada
aja perumpamaannya. Tapi indah juga. Gak nyamblak kayak zaman sekarang.” Vey
membalikkan posisi tubuhnya. Pikirannya masih terikat pada lembaran – lembaran
cinta milik Mira Laksmina.
“Nenekku juga ternyata orang yang bisa diajak bicara tentang cinta. Tapi
kenapa sekarang dia malah kebanyak diam ya? Kalau lagi ngumpul, dia hanya sibuk
bercanda dengan cucunya, kalau masalah nasehat dia jarang ngasik ke kita.
Padahal nasehatnya untuk Nek Mira bagus banget. Kalau kak Riko di nasehatin
nenek mungkin dia gak bakal jomblo dan gagal berkali – kali lagi.” Pikirannya
malah beralih pada Riko, kakaknya. “Kasihan juga Kak Riko. Hehehe.” Vey malah
cengengesan mengingat kakaknya itu.
Malam semakin larut. Suasana pedesaan yang dingin dan senyap begitu
terasa. Bunyi jangkrik dan beberapa serangga lainnya terasa begitu nyata di
telinga. Saling bersahutan, saling mengiringi satu sama lain. Berpadu menjadi
satu kesatuan bunyian malam yang begitu indah untuk dinikmati. Vey masih dalam
lamunannya ketika bulan sedikit demi sedikit tertutup oleh sekelebat awan yang
tertiup angin malam.
kali ini kayaknya jari kamu gak keseleo :D
BalasHapusAku tunggu ceita lanjutannya ;)
Boleh minta akun FB gak? :D
Boleh boleh.. :D
Hapusnama FBku Nivi Elsandy..
aku udah cari FBmu pake nama akunmu yang ini, tapi gak ketemu-ketemu.. :D
jadi boleh minta nama akunmu juga? ;D
Terima kasih :D
BalasHapus