BAGIAN 10
“Petunjuk di Titik Akhir”
Ramon sudah standby di ruang
makan. Ruangan yang mereka setujui untuk tempat pertemuan. Vey dan Nek Mira
datang dengan senyuman. Mereka duduk di dekat Ramon. Dan seperti biasa, Riko
masih saja bangun telat. Tapi kali ini Vey membangunkannya. Ini karena yang
kenal baik dengan Ramon hanyalah Riko. Riko terlihat batang hidungnya setelah
beberapa ment hidangan sarapan pagi datang.
Riko langsung duduk bergabung. Perutnya mungkin kelaparan. Dari mereka
berempat, yang paling cepat makannya adalah Riko. Vey memperhatikan Riko. “Apa?
Heran? Gak pernah lihat orang lapar?” Vey langsung membalasnya, “Iiih, Kakak
makannya kayak orang gak makan setahun. Kakak itu kelaparan, bukan lapar!”
“Apa bedanya lapar sama kelaparana?” Tanya Ramon. “Kalau lapar itu ya
lapar biasa, kalau kelaparan itu udah tingkat akut. Lapar ditambah lapar sama
dengan kelaparan.” Jelas Vey bersungguh – sungguh dalam menjelaskannya. Nek
Mira dan Ramon tertawa mendengar penjelasan Vey yang terdengar aneh tapi masuk
akal.
“Permisi, Maaf, apakah Anda yang menyewa kamar nomer 204?” Tanya seorang
pelayan pada Riko yang sedang melahap makanannya.
“Hah? I..iya, ada apa ya? Ada masalah?” Kata Riko dengan kikuk, dia hanya
takut melakukan kesalahan yang tidak dia sadari.
“Oh, tidak, Tuan. Kami hanya diperintahkan untuk melayani Anda dengan
baik. Perkenalkan saya kepala pelayan di hotel ini. Saya diperintahkan untuk
melayani Anda secara khusus sebagai tanda perminta maafan dari pemilik hotel
ini.” Kepala pelayan itu berkata dengan begitu sopan.
“Oh begitu? Memangnya ada apa? Apa pemilik hotel ini teman atau kenalan
saya?” Tanya Riko keheranan.
“Bukan, Tuan. Kemarin malam Tuan secara tidak sengaja menabrak Anda di
depan kamar Anda, beliau merasa tidak enak, beliau juga tidak punya waktu untuk
minta maaf secara langsung.”
Vey dan Riko saling pandang. Mereka berusaha mengingat wajah orang yang
menabraknya kemarin malam. “Tunggu tunggu, orang itu pemilik hotel ini?” Tanya
Vey dengan nada terkesima.
“Benar, Nona. Baiklah, jika kalian butuh sesuatu, kami siap melayani
dengan sepenuh hati. Saya permisi dulu, masih ada pekerjaan yang menunggu.”
Kepala pelayan tadi tersenyum dan kemudian pergi begitu saja.
“Gila, pemilik hotelnya masih muda?” Kata Vey menambah kekagumannya pada
orang itu.
“Kamu tahu memangnya, Vey?” Tanya Nek Mira yang duduk tepat di
sebelahnya.
“Iya Nek. Orang dia nabrak Vey bukan nabrak Kak Riko. Tapi kejadiannya
memang di depan kamar Kak Riko. Kalau ditaksir sih umurnya seumuran Kak Riko.”
Vey memperjelas penjabarannya.
“Namanya Dirga. Dirga Dirwan Putra.” Kata Ramon tiba – tiba menyela
perbincangan yang semakin memuncak.
“Dirga? Kayak pernah denger ya, Nek.” Kata Vey sambil menggigit sendok
teh yang digenggamnya. “Eh? Kok kamu tahu?” Vey menyambung kata – katanya
dengan pertanyaan.
“Dia sahabatku.sahabat kecil. Sekarang udah jarang ketemu gara – gara dia
sibuk terus. Ini bisnis turun temurun dari keluarganya. Sekarang gilirannya
untuk melanjutkan bisnis ini. Itu alasan kenapa dia muda – muda udah punya
bisnis sendiri.” Ramon menjelaskan secara singkat tentang Dirga.
Riko, Vey, dan Nek Mira hanya manggut – manggut mendengarkan penjelasan
Ramon. Selagi Ramon bercerita sedikit tentang Dirga dan kehidupannya sendiri,
yang lain hanya diam mendengarkan dengan baik. Ramon memang pencerita yang baik
meskipun kadang omongannya agak tidak nyambung, kadang bicara A tiba – tiba
sudah pindah ke topik B. Tapi, meskipun begitu ceritanya tidak membosankan
untuk didengar.
Setelah makanan mereka habis, Ramon pun menyelesaikan ceritanya. Dia
langsung mengajak Vey, Riko, dan Nek Mira untuk segera berangkat berkeliling
melancarkan operasi pencarian. Kali ini Vey merasa lebih tenang daripada
kemarin. Ini karena ada Riko dan Ramon yang mengantar mereka.
“Ini mau ke jalan mana dulu?” Tanya Ramon sambil menyetir mobil
pribadinya. “Kami dapat petunjuk kalau Raja ada di daerah jalan Pattimura.
Kemarin kami sudah mencari ke sebagian dari daerah itu. Jadi kita tinggal cari
di bagian lain di jalan itu. Siapa tahu ketemu.” Ramon mendengarkan penjelasan
Vey yang singkat.
Nek Mira yang dari tadi hanya diam saja kini sibuk dengan lembaran –
lembaran surat dari Raja yang sengaja dibawa Vey. Surat yang dibaca Nek Mira
itu adalah surat yang berisi pena ke 37 yang dikirim Raja pada Nek Mira. Nek
Mira membuka amplop dan mulai membacanya dengan hati – hati, bukan karena tidak
tahu isinya, tapi hanya karena ingin mengenang masa – masa indahnya dulu
bersama Raja.
Lombok, 3 Januari 1969
Hari ini, kutuliskan tinta penaku
yang ke 37 ini di atas selembar kertas surat yang akan kukirim untuk kekasihku.
Mira Laksmina.
Kekasihku? Aku benar – benar
merindukanmu. Tetesan air mata kadang menyertaiku dalam menyampaikan isi hati
ini padamu. Entah mengapa, rasa ini begitu kuat. Tambah kuat. Melebihi kuatnya
baja. Aneh. Ini benar – benar aneh. Meskipun aku tidak pernah melihat wujud
aslimu, tapi kerinduan ini begitu nyata.
Harapanku untuk terus memilikimu
selalu bertambah tinggi setiap kali aku menerima dan mengirim surat untukmu.
Mudah – mudahan akhirnya kita dapat dipertemukan dalam kebahagiaan. Dalam
kerinduan yang memuncak, dalam perasaan cinta yang memusat.
Meskipun waktu masih belum bisa
mempertemukan kita, tetapi pena sudah lebih dulu mempertemukan kita. Pena –
pena ini yang menyambung kisah kita, kisah yang pastinya akan terus berlanjut
sampai pena dan waktu sepakat untuk mempertemukan kita dalam kesatuannya.
Aku pernah memikirkan bagaimana
sebenarnya akhir dari kisah ini? Tetapi tak pernah sekalipun aku berpikir buruk
untuk akhirnya, tidak. Karena aku tidak pernah mempercayai kisah yang berakhir
sedih. Tidak ada kata sedih. Kita mengawali kisah ini dengan perasaan bahagia,
dan aku yakin kita akan mengakhirinya pun dengan perasaan yang bahagia.
Belum selesai Nek Mira membaca keseluruhan isi suratnya, tiba – tiba dia
langsung menutupnya. Dia menghela nafas panjang. Nek Mira memandang Vey yang
sedang sibuk bercakap – cakap dengan Riko dan Ramon yang duduk di kursi depan. Raja dan Vey hampir sama. Mereka tidak
pernah mempercayai kisah yang berakhir sedih. Mereka orang – orang yang punya
harapan begitu tinggi. Nek Mira bergumam dalam hatinya.
Vey yang baru menyadari kalau Nek Mira sedang memandangnya segera menoleh
dan bertanya, “Ada apa, Nek? Apa Nenek butuh sesuatu?” Tanya Vey dengan begitu
perhatian. Nek Mira menggeleng sambil tersenyum. hatinya tak tentu arah.
Pikirannya tiba – tiba kembali ke masa lalu. Masa – masa runtuhnya dia, masa –
masa dimana putus asa benar – benar menguasai hidupnya. Nek Mira mengalihkan
pandangannya ke arah luar mobil. Dia berusaha menghilangkan pikiran yang tiba –
tiba datang itu.
Beberapa menit telah berlalu. Hari ini jalanan senggang. Tidak begitu
ramai. Ini mempercepat mobil Ramon sampai pada tujuan. Jalan Pattimura sudah
terlihat, tapi Ramon tidak mengambil arah seperti yang di ambil Vey dan Nek
Mira kemarin ambil. Ini permintaan Vey. Vey ingin mencari dari jalan Pattimura
dibagian yang berbeda dari kemarin. Agar pencariannya merata.
Seperti biasa, sistem pencariannya sama seperti kemarin. Bertanya pada
setiap orang yang ada dan terlihat oleh mata. Vey turun dari mobil ketika
melihat seseorang baru keluar dari rumah yang tampaknya baru saja mengadakan
hajatan. Rumah itu agak ramai.
“Maaf permisi, Pak. Boleh bertanya sebentar?” Tanya Vey dengan sopan pada
pria paruh baya yang baru keluar rumah tadi.
“Ya, tanya ya, Mbak?”
“Apa Anda kenal dengan yang namanya Raja Kuswantoro?”
“Oh? Anda kenalannya ya? Ini Mbak rumahnya silahkan masuk. Orang tuanya
dari tadi malam masih belum bisa berhenti menangis. Sungguh kasihan, Mbak.”
Orang tadi menunjuk rumah yang ramai orang itu.
“Raja rumahnya di rumah yang ada hajatannya ini, Pak?” Tanya Vey dengan
sedikit penekanan agar jawabannya meyakinkan.
“Iya, Mbak! Bukan hajatan. Ini ada orang meninggal. Raja meninggal tadi
malam karena di tabrak lari orang.”
“Pak, ini Raja Kuswantoro ‘kan?”
“Iya, Mbak. Kalau tidak percaya silahkan masuk dan tanyakan sendiri.”
Kemudian orang tadi pergi meninggalkan Vey yang masih dalam kebingungannya. Vey
bingung bukan karena bapak – bapak tadi. Dia bingung bagaimana cara
menyampaikannya pada Nek Mira yang sedang menunggunya di dalam mobil.
Vey kembali ke mobil. dia masih dalam kebingungannya. Wajahnya namb=pak
sekali kalau sedang kebingungan. “Gimana, Vey?” Tanya Riko pada adiknya. Vey
masih kikuk. Dia kebingungan, benar – benar kebingungan. kali ini memang benar. Ini Raja Kuswantoro kata orang tadi. Aku harus
gimana sekarang? Apa aku harus bilang sejujurnya pada Nek Mira? Aku yang sudah
membawanya sejauh ini. Apa aku juga yang akan membawanya jatuh lagi? Vey
bergumam dalam hatinya. Kebingungannya segera di sadarkan oleh belaian tangan
Nek Mira pada lengan Vey.
“Gimana, Vey? Sudah dapat alamatnya?” Tanya Nek Mira dengan hati – hati,
karena dia tahu ada yang salah dari Vey. Tanpa kata – kata Vey hanya menunjuk
rumah yang ramai itu. “Rumah yang ada hajatannya itu?” Tanya Ramon memperjelas.
“Itu orang mati, bukan hajatan.” Kata Vey dengan perlahan. Riko, Nek Mira, dan
Ramon yang semula melihat rumah ramai itu tiba – tiba langsung mengalihkan
pandangannya pada Vey. “Orang mati?” Tanya Riko kaget. “Jangan bilang kalau
yang mati itu…” Riko tidak melanjutkan kata – katanya. Dia masih kaget.
Nek Mira tersenyum, dia terlihat tegar. Mungkin dia sudah mempersiapkan
mentalnya untuk kejadian yang seperti ini. “Ayo turun, kita lihat dan kita
pastikan.” Kata Nek Mira. Vey segera menekan pintu mobil yang akan dibuka Nek
Mira. “Ini.. ini Raja Kuswantoro. Namanya benar – benar Raja Kuswantoro, Nek.”
Vey begitu cemas. Dia hanya takut Nek Mira sedih lagi seperti kejadian dulu.
Wajah Vey benar – benar cemas, dia memandang wajah Nek Mira. Riko dan Ramon
hanya diam melihat Vey dan Nek Mira dari kursi depan.
“Vey? Kamu kenapa? Mana Vey yang kemarin? Kenapa tiba – tiba lemah kayak
gini?” Nek Mira tersenyum. “Meskipun akhirnya dia meninggal, setidaknya Nenek
sudah membalas pencariannya. Dan nenek bisa tenang sudah menemukan kepastian
yang seharusnya sejak dulu nenek lakukan.” Vey menunduk, tangannya lemas. Nek
Mira membuka pintu mobil. Riko langsung mengawalnya. Vey masih di dalam mobil.
“Kamu tidak turun, Vey? Kamu tidak ingin menguatkan Nek Mira kalau memang ini
benar terjadi?” Tegur Ramon yang masih ada di dalam mobil. vey tersadar. Dia
langsung turun bersama Ramon mengejar Nek Mira dan Riko yang sudah lebih dulu
masuk ke halaman rumah itu.
Terlihat orang menangis di seisi rumah itu. Beberapa lainnya berkerumun
di samping rumah. Nek Mira bersalaman pada perempuan tua yang menyambutnya di
pintu rumah. “Anda kenalan Raja?” Tanya orang itu, masih bergetar suaranya
karena menangis. “Mari kami antar langsung ke pusaranya.” Kata perempuan tua
itu.
Mereka berjalan menuju samping rumah. Di sana kuburannya. “Raja pernah
meminta, jika dia meninggal, dia ingin di kubur di samping rumahnya. Agar lebih
dekat dengan keluarga katanya.” Perempuan tua tadi mulai menangis tadi. Dib
batu nisannya tertulis RAJA K. Nek Mira mulai tergoyah hatinya, matanya mulai
berkaca – kaca. Vey yang ada di belakangnya sudah meneteskan air mata terlebih
dahulu. Vey tidak kuat melihat Nek Mira sedih hanya karena semangat yang sudah
Vey sulut untuknya.
“Sungguh mendadak kepergiaannya. Tadi malam keadaannya memang sudah
kritis. Padahal tabrakannya tidak begitu parah. Tapi mungkin benturan di
kepalanya begitu keras sehingga menimbulkan luka dalam yang serius. Kami pihak
keluarga sangat sedih. Kami hanya minta sumbangan doa dari semua kenalan Raja
agar Raja Kuswantara dapat di terima di sisi-Nya.”
Nek Mira terkejut. “Raja Kuswantoro?”
“Raja Kuswantara, Bu. Bagaimana sih Anda ini, jangan sampai salah nama,
kalau salah nama nanti doanya gak sampai ke orangnya.”
Vey, Riko, dan Ramon tercengang, mereka kaget. Seorang perempuan muda
datang memegang sebuah figura dan menyandarkan figura tadi ke batu nisan Raja.
“Ini foto Raja?” Tanya Nek Mira memastikan. “Iya, Bu. Mari kita mulai doanya.”
Seorang pemuda dengan tompel di dahinya terpampang jelas di foto itu. Riko
menggigit bibirnya, dia benar – benar tidak kuat menahan tawa, dia langsung
berlari ke mobil tanpa permisi.
“Loh? Mau kemana anak itu?” Tanya perempuan tua yang hendak memimpin doa
itu.
“I.. i.. itu, dia begitu sedih. Tidak kuat menahan tangis. Dia malu kalau
menangis di sini, terlalu banyak orang. Jadi dia langsung berlari ke mobil.”
Kata Ramon berusaha mencari alasan. Perut Vey mulai bergoncang, pipinya hampir
meletus menahan tawa. “Aku akan menyusulnya, akan menyabarkannya.” Kata Vey,
kemudian berlalu begitu saja.
Nek Mira ingin menyusul mereka, tetapi untuk menghargai perempuan tua
itu, Nek Mira berusaha bertahan sampai doanya selesai di sampaikan. Vey dan
Riko tertawa dengan puas di mobil. sesekali terlihat mobilnya bergoyang –
goyang karena Vey dan Riko yang tidak bisa menahan tawanya lagi.
Beberapa saat kemudian Nek Mira dan Ramon sudah berada dalam mobil. Ramon
mulai memacu mobilnya. “Tadi ada yang nangis sesenggukan loh, Nek.” Ejek Ramon.
Riko masih saja tertawa mengingat ekspresi Vey yang tadi kebingungan dan yang
tadi sesenggukan menangis.
“Raja Kuswantara! Bukan Raja Kuswantoro! Jangan salah nama! Nanti gak
nyampek doanya! Hahahaha” Riko ngakak tiada henti, Vey hanya tertawa malu –
malu karena kesalah pahamannya tadi. Nek Mira ikut tertawa melihat Vey yang malu
– malu.
“Vey ‘kan juga gak tahu kalau itu Raja yang salah. Lagian bapak – bapak
tadi benar – benar meyakinkan waktu Vey nanya apa bener itu Raja Kuswantoro.
Bapak itu bilang ‘iya benar kalau tidak percaya, tanya langsung ke dalam.’
Kalau udah kayak gitu siapa ayo yang gak yakin kalau itu benar.” Vey berusaha
membela diri meskipun rasa malu karena menangis masih ada.
Mereka masih saja tertawa – tawa mengingat kejadian tadi ketika mobil
Ramon berhenti di depan sebuah ruma bercat hijau. Di depan rumah itu ada
beberapa orang yang sedang berduduk santai. Kali ini, Vey tidak mau turun
sendirian. Dia mengajak semuanya agar tidak terjadi kesalah pahaman seperti
tadi.
“Maaf, mengganggu sebentar. Saya ingin menanyakan seseorang, Bu.” Kata
Riko berusaha sopan.
“Oh, iya mau tanya siapa ya?” Kata perempuan muda yang menyambut mereka
di halaman rumah itu.
“Apa Anda kenal dengan Raja Kus….” Riko belum selesai mengucapkan kata –
katanya perempuan muda tadi langsung memotongnya.
“Oooh, Raja.. ya tunggu ya tunggu..” Perempuan tadi langsung berlari
masuk rumah.
“Waah wah, gak bener nih. Vey udah pengalaman, Kak. Setiap nama Raja gak
di terusin sampek belakang pasti gak beres ke belakangnya.” Kata Vey sambil
menggeleng – gelengkan kepalanya. Dan benar saja. Perempuan tadi menggendong
balita berumur sekitar lima tahunan.
“Memang banyak yang cari Raja buat berobat. Raja memang sudah ahli
mengobati penyakit dalam sejak umurnya dua tahun. Itu tu kayak anak yang pakek
batu kalau ngobatin. Raja gak jauh beda hebatnya. Ayo ayo cepat siapa yang mau
lebih dulu.” Kata orang tadi dengan cepat.
“Tu ‘kan bener. Gak bereskan? Bener nih Raja, Raja Pengobatan. Hihihih.”
Bisik Vey.
“Oh, maaf, Mbak. Yang kami cari itu Raja yang umurnya 63 – an. Bukan
untuk berobat.” Kata Ramon dengan sopan.
“Oh begitu, yasudah kalau begitu.” Perempuan tua tadi agak kecewa.
“Nanti kalau memang ada kerabat saya yang sakit akan saya rekomendasikan
anak Mbak.” Kata Ramon dengan senyuman. Ramon memang pandai menyenangkan orang.
“Oh begitu? Baiklah baiklah terima kasih.” Perempuan muda itu tersenyum
mendengarkan kata – kata Ramon. Tak berapa lama kemudian mereka pun menghilang
dari rumah bercat hijau itu. Mereka kembali menyusuri jalan Pattimura. Berusaha
untuk mencari sesuatu yang sudah lama menghilang dari hidup Nek Mira. Sesekali
Nek Mira diminta berserita tentang kisah cintanya itu oleh Riko dan Ramon yang
masih penasaran bagaiman cerita detailnya. Dan ketika suasana mulai agak
menyedihkan, Ramon mulai bertindak untuk menetralkan dan mencairkan suasana.
Begitu seterusnya sampai mereka menghentikan mobilnya di penghujung jalan
Pattimura.
Vey, Riko, Ramon, dan Nek Mira turun untuk menanyakan hal yang sama pada
sebuah rumah yang ada di sebelah kiri di penghujung jalan itu. Rumah itu bercat
putih polos. Rumahnya sederhana, tetapi bersih dan halamannya rindang. Mungkin
kerindangan itu yang membuat seseorang betah duduk berlama – lama di halaman
tersebut. Vey dan yang lainnya mendekati orang itu.
“Maaf mengganggu.” Kata Vey dengan sopan.
“Oh, iya. Ada apa ya?” Perempuan itu paruh baya. Di hadapannya ada sebuah
bak kecil, pisau dan kacang panjang yang panjang menjuntai. Mungkin dia sedang
bersiap – siap untuk memotong – motong kacang panjang itu.
“Apa Anda kenal dengan yang namanya Raja Kuswantoro? Umurnya sekitar 63 tahun.”
Kata Vey memperjelas. Dia memperjelasnya agar tidak terjadi kesalahan lagi.
Perempuan paruh baya tadi mengernyitkan dahinya. Sepertinya sedang memikirkan
sesuatu. Pastinya memikirkan pertanyaan yang sedang Vey ajukan.
“Raja Kuswantoro? Kalau tidak salah… ini adalah majikan ayah saya.” Kata
perempuan itu.
“Eh? Benarkah? Tapi benar ‘kan namanya Raja Kuswantoro? Dan umurnya
sekitar 63 tahun?” kata Riko memastikan.
“Iya benar. Raja Kuswantoro adalah majikan ayah saya. Tapi mengapa kalian
mencarinya sampai kesini?”
“Loh? Bukannya rumahnya di sekitar jalan Pattimura ini?” Tanya Vey
penasaran.
“Ya bukanlah, Mbak. Yang di jalan Pattimura itu rumah ayah saya. Rumah
pelayannya Pak Raja itu.”
“Loh? Terus rumah Raja yang bener dimana?” Tanya Nek Mira menambahkan.
“Jauh dari sini, kira – kira satu jam, rumahnya paling besar di antara
sekelilingnya. Pagarnya juga besar. Terus..”
“Gimana kalau ditulis saja, Mbak.” Kata Ramon sambil mengeluarkan sebuah
catatan kecil dan bolpen yang di serahkan pada perempuan itu. Perempuan tadi
menulisnya dengan cekatan. Setelah selesai menulis, catatan itu diserahkan lagi
pada Ramon.
Vey melihat alamat itu. “Tunggu, ini kayaknya aku pernah tahu alamat
ini.” Kata Ramon sambil berusaha mengingat – ingat. Vey melihat alamat itu
lagi, memastikan. Dia mengingat sesuatu. Dia segera membongkar tas slempang
miliknya. Dia menemukan sebuah kertas berisi alamat juga. “Loh? Sama. Ini
alamat Raja di surat, Nek. Benar. Ini alamat Raja, Nek.” Nek Mira melihat
alamat itu. Ramon yang daritadi berpikir sekarang sudah menemukan jawabannya.
“Aku juga ingat. Alamat ini, alamat sahabatku, Dirga. Sudah lama tidak
kerumahnya jadi agak lupa tadi.”
“Ah. Vey sekarang ingat, Nek. Pantas saja waktu dengar nama Dirga, Vey
seperti pernah mendengarnya. Dirga itu nama orang yang katanya membeli rumah
Raja itu. Kata pembantunya yang beruban itu.” Kata Vey pada Nek Mira. Vey
berusaha mengingat semuanya.
“Tunggu – tunggu, dijual? Dijual ke Tuan muda Dirga? Tidak mungkin lah
Mbak. Orang Tuan muda Dirga itu cucunya Tuan Raja Kuswantoro.” Jelas perempuan
itu.
“Hah?” Vey dan Ramon tercengang.
“Dan yang katanya Mbak itu, pembantu yang beruban itu mungkin yang Mbak
maksud adalah ayah saya.” Perempuan itu lebih memperjelas lagi.
Vey dan Nek Mira saling pandang. Mereka kebingungan. setelah mengucapkan
terima kasih pada perempuan itu, mereka langsung beranjak pergi meninggalkan
jalan Pattimura. Ramon menyetir mobilnya dengan perlahan. Sore itu jalanan
sudah ramai. Maklumlah, sore itu para pekerja kantoran dan para karyawan
waktunya pulang.
“Tapi setahuku, Dirga gak punya kakek yang namanya Raja. Terkhir kali aku
tahu kakek Dirga yang namanya Darma Dirwantoro meninggal karena serangan
jantung tiga tahun yang lalu di rumah sakit. Terus kenapa ada nama Raja
Kuswantoro?” Kata Ramon.
“Terus juga, kenapa pembantu itu bohong pada kita ya, Nek? Pasti ada
sesuatu. Terus waktu kita nanya kemarin, pembantu itu mengatas namakan tuannya.
Dirga. Berarti Dirga yang berbohong pada kita? Apa pembantunya yang berbohong
ya?”
Nek Mira memikirkan beberapa kejadian kemarin yang mudah diingatn dan
bermanfaat untuk dijadikan penyelidikan. “Itu juga, Vey. Satpamnya, menanggapi
kita seperti memang ada nama Raja di rumah itu. Satpam itu gak merasa asing
ketika mendengar nama Raja.”
“Benar, Nek.” Kata Vey. Mereka terus mengait – ngaitkan segala hal yang
penting untuk diingat dan penting untuk dikaitkan. Sementara Ramon, Vey, dan
Nek Mira memprediksi berbagai kejadian yang dihadapi, Riko sudah terlelap tidur
di kursi depan.
“Bagaimana, Nek? Apa kita akan lanjut sekarang ke rumah Dirga? Atau mau
lanjut besok?” Tanya Ramon sambil mengemudi mobilnya.
“sekarang aja!” Jawab Vey dengan semangat. “Kita baru saja mendapatkan
fakta baru tentang Raja Kuswantoro. Kenapa harus di tunda – tunda. Aku lebih
suka sekarang!” Vey berapi – api.
“Jangan, Vey. Besok saja. Kita sudah pernah masuk di rumah itu. Dan untuk
kedua kalinya pasti tidak akan semudah itu. Mereka sudah menyembunyikan sesuatu
dari awal. Mana mungkin mereka dapat dengan mudah menerima kita untuk kedua
kalinya. Kita harus pikirkan dulu bagaimana cara untuk bisa bertemu dengan
Raja.” Kata Nek Mira sambil mengusap – usap kepala Vey yang duduk di
sampingnya.
“Betul kata Nek Mira Vey. Aku bisa saja membantu kalian masuk. Orang –
orang rumah Dirga pasti sudah tahu aku. Tapi kalau mereka tahu kalau aku bawa
kalian gimana jadinya? Kita harus pikirkan lagi gimana caranya agar kalian bisa
masuk.” Ramon menambah kata – kata Nek Mira. Akhirnya Vey menurut saja. Apa
boleh buat? Dua banding satu.
Mobil Ramon melaju dengan kecepatan sedang menuju hotel. Nek Mira yang
sudah kelelahan hanya diam sambil memandang beberapa hal yang dilewati mobil
Ramon. Ramon tetap fokus dengan setirnya. Sedangkan Vey, dia sibuk memikirkan
bagaimana cara memasuki rumah itu tanpa ketahuan orang lain. Yang ingin
langsung dia temui hanyalah Raja, bukan penghuni rumah, bukan juga Dirga dan
pembantu beruban yang sudah menipunya kemarin – kemarinnya. Vey menghela nafas
panjang setiap kali mengingat kata – kata pembantu itu.
Sementara Vey sibuk dengan pikirannya, matahari sudah perlahan
berlenggang menuju peraduannya, meninggalkan alam di kegelapan malam. Dan
seperti biasa. Setiap kali siang mengganti malam, bintang – bintang mungil
bercahaya selalu menyambutnya dengan gemerlap malam yang pekat.
Wah, aku kirain gak bakalan dilanjutin lagi :D
BalasHapusoh iya, ada beberapa kata yang salah ketik mungkin. pada paragraf awal 'ment' kalo gak salah harusnya menit ya? Trus ada yang 'namb=pak' yang seharusnya nampak ya? :D
mungkin hanya itu. ;)
Makasiiih.. :D
Hapusmakasih udah baca yaaa... :D
Sama-sama :D
BalasHapusJual Penirum Di Apotik Jawa Barat
BalasHapusJual Penirum Di Apotik Banten
Jual Penirum Di Apotik Jawa Tengah
Jual Penirum Di Apotik Kota Yogyakarta
Jual Penirum Di Apotik Jawa Timur
Jual Penirum Di Apotik Bali
Jual Penirum Di Apotik Nusa Tenggara Barat
Jual Penirum Di Apotik Nusa Tenggara Timur
Jual Penirum Di Apotik Kalimantan Barat
Jual Penirum Di Apotik Kalimantan Tengah
Jual Penirum Di Apotik Kalimantan Selatan
Jual Penirum Di Apotik Kalimantan Timur
Jual Penirum Di Apotik Kalimantan Utara
Jual Penirum Di Apotik Sulawesi Utara
Jual Penirum Di Apotik Sulawesi Barat
Jual Penirum Di Apotik Sulawesi Tengah
Jual Penirum Di Apotik Sulawesi Tenggara
Jual Penirum Di Apotik Sulawesi Selatan
Jual Penirum Di Apotik Maluku
Jual Penirum Di Apotik Maluku Utara
Jual Penirum Di Apotik Papua Barat
Jual Penirum Di Apotik Papua
Minyak Lintah Papua