BAGIAN 9
“Pencarian Cinta”
Matahari mulai meninggi ketika Vey dan Nek Mira berada di ruang makan di
hotel itu. Riko yang masih mendekap guling dan berlindung di bawah selimutnya
dibiarkan menikmati tidurnya oleh Vey. Vey berpikir perjalanan pertamanya
dengan Nek Mira lebih baik tanpa Riko.
“Riko gak dibangunin, Vey?” Nek Mira bertanya pada Vey setelah melahap
habis sarapan paginya di ruang makan hotel tersebut.
“Kasihan, Nek. Semalem tidurnya larut banget Kak Riko. Lebih baik kita
berdua aja, entar kalau dia ikut pasti ngeluh ngantuk terus.”
“Yasudah kalau gitu kita mau berangkat kapan ini?” Tanya Nek Mira sambil
membenahi bajunya yang agak kusut karena duduk.
“Sekarang, Nek. Ayo. Nenek udah siap ‘kan?”
“Siap dong!” Jawab Nek Mira dengan semangat.
Mereka beranjak meninggalkan ruangan itu. Taksi yang sudah dipesankan
oleh pihak hotel siap mengantar mereka ke tempat tujuan. Sopir taksi menoleh
pada Vey dan Nek Mira yang sudah siap untuk berangkat.
“Kemana Bu?” Tanya sopir taksi dengan sopan dan ramah.
“Oh, iya, ini, Pak alamatnya.” Vey menyerahkan selembar kertas berisi
sebuah alamat. Itu adalah alamat Raja Kuswantoro. Vey sudah memperkirakan
pencariannya. Dia memperkirakan pencarian pertamanya adalah menuju alamat Raja
Kuswantoro yang ada di alamat surat yang diterima Nek Mira dulu.
“Itu alamat yang disurat ya, Vey?” Nek Mira bertanya pada Vey. Sebenarnya
Nek Mira sudah tahu jawabannya, tapi hanya sekedar basa basi agar tidak kering
suasananya.
“Iya, Nek. Nanti kalau memang Raja pindah rumah atau gimana, nanti kita
Tanya pada tetangga – tetangga di sekitar. Atau, kalau memang Raja dulu itu menggunakan
alamat orang lain untuk mempermudah sampainya surat, pastinya kita bisa
memperkirakan kalau Raja adalah penduduk di sekitar rumah itu juga.”
Nek Mira mengangguk. Untuk beberapa saat, mereka terdiam, mereka hanya
memperhatikan beberapa hal yang dilewati oleh taksi. Sesekali pikiran Vey
memikirkan kakaknya yang ditinggal sendirian di kamar hotel.
***
“Huaaaaaoooom… eemmmmm…” Riko menggeliatkan tubuhnya, menarik semua otot
yang kaku ketika tidur. Dia masih terdiam memandang langit – langit kamar. Pikirannya
masih melayang membayangkan mimpi indah yang baru saja dia nikmati.
“Mimpi ketemu putri cantik.. hehehehe” Riko cengar – cengir sendirian,
sesekali dia menutup wajahnya dengan bantal. Matanya masih terpaku pada langit
– langit kamar. Setelah beberapa saat dia melamun, tiba – tiba wajah putri
cantik itu berubah menjadi wajah Vey dan Nek Mira.
“Ya ampun.” Riko langsung bangkit, dia baru ingat kalau ada janji dengan
Vey dan Nek Mira. “Ya ampun ya ampun, jam berapa sekarang jam berapa jam
berapa????” Riko heboh sendiri, dia segera mencari – cari ponselnya. Setelah
mendapatkan ponselnya di bawah bantal, dia baru sadar kalau waktu sudah
berjalan terlalu siang. Pukul 10.00.
“Aduh aduh, Vey pasti ngomel – ngomel ini.” Riko langsung mencari kontak
telepon Vey. Dia menelepon Vey untuk
memastikan bahwa Vey belum berangkat.
“Halo? Vey? Kakak kesiangan. Tetep jadikan?”
“Jadi dong, Kak.”
“Yaudah – yaudah Kakak mau mandi dulu.”
“Gak usah, orang aku udah di jalan
sama Nek Mira. Hahaha, Kakak Vey tinggal. Kasihan ngelihat mukanya mengenaskan
waktu tidur, jadi gak tega buat bangunin.”
“Mengenaskan? Memangnya korban tabrak lari pake acara mengenaskan
segala!”
“Kalau gak percaya ngaca aja
sekarang!”
Riko keheranan, dia segera berlari ke depan cermin. Dan sesuatu terjadi.
“AAAAAAAAAARRRRRRGGGGHHHHHHH VEEEEEEYYY… Awas kalau ketemu!!!!!!” Teriak
Riko. Dia heboh sendiri melihat wajahnya yang tidak dapat terlukiskan dengan
kata – kata.
Wajah Riko penuh oretan spidol merah, biru, dan hitam. Oretan itu
membentuk lukisan abstrak karya Vey. “Hahahahaha….”
Vey tertawa kemudian mematikan teleponnya tanpa permisi.
“Kurang ajaaaaar….” Riko kesal. Dia segera ke kamar mandi untuk
membersihkan mukanya. Untuk waktu yang agak lama, Riko masih di kamar mandi
berusaha menghilangkan warna – warna abstrak itu.
***
“Kamu apakan Kakakmu, Vey?” Tanya Nek Mira merasa penasaran melihat wajah
Vey yang begitu senang. “Hahahaha, tadi Vey memberikan salam pagi untuk Kakakku
tersayang, Nek. Hehehhe”
“Hemm, kamu ini.” Nek Mira menggeleng - gelengkan kepalanya melihat
tingkah Vey yang masih seperti anak – anak.
Perjalanan sudah sampai di tujuan. Mereka turun dari taksi setelah
membayarnya. Tepat di hadapan mereka sebuah gerbang yang begitu besar. Ini
jelas rumah orang kaya. Rumahnya begitu rumit untuk dijelaskan. Besar. Seorang
satpam yang menjaga rumah itu menghampiri Vey dan Nek Mira yang berada di depan
gerbang.
“Perlu dengan siapa, Bu?” Tanya satpam itu dengan sopan pada Nek Mira.
“Kami dari Bogor, Pak. Ingin mencari Raja Kuswantoro.” Kata Nek Mira dengan
sopan.
“Oh? Teman bisnis mungkin ya?” Tanya satpam tersebut sambil tetap
memasang wajah sopan.
“Hah? Ti..” kata – kata Nek Mira langsung di potong oleh Vey.
“I.. iya, Pak. Kami teman bisnis yang dari Bogor. Jauh – jauh untuk
membicarakan masalah bisnis yang sedang kami hadapi. Bisa antarkan kami pada
beliau?” Kata Vey dengan sungguh – sungguh. Vey berpikir, jika dia berkata yang
sebenarnya satpam itu tidak akan percaya dan pastinya mereka akan diusir
“Oh, iya tunggu saya bukakan dulu pintu gerbangnya.” Satpam penjaga rumah
itu membukakan gerbang untuk Nek Mira dan Vey. Dengan mantap Vey langsung
berjalan memasuki gerbang menuju pintu masuk rumah, Nek Mira yang ada di
belakangnya mengikuti langkah Vey dengan pasti.
Ketukan pintu pertama Vey lancarkan. “Hey, Vey. Untuk apa di ketuk? Ini
ada belnya.” Kata Nek Mira sambl tersenyum. “Eh? Hehehe, gak ngelihat, Nek.
Nyelempit sih tu bel.” Vey kemudian menekan bel rumah beberapa kali. Terdengar langkah
kaki yang mendekati pintu.
“Perlu dengan siapa ya?” Seorang pelayan rumah tangga membukakan pintu
rumah dan bertanya dengan sopan pada Vey dan Nek Mira.
“Kami perlu dengan Raja Kuswantoro. Kami dari Bogor. Perkenalkan saya Vey
dan ini nenek saya Mira Laksmina. Katakana pada tuanmu, Mira Laksmina
mencarinya.”
“Oh baik, tunggu sebentar.” Laki – laki beruban itu kembali menutup pintu
kemudian masuk kembali kerumah.
“Siapa, Pak Umar?” Tanya seorang pemuda yang ada di dalam rumah itu.
“Seseorang bernama Mira Laksmina dari Bogor mencari tuan Raja, Tuan.”
Pemuda tadi terlihat terkejut. Dia diam sejenak. Kemudian berkata pada
pembantunya itu.
“Katakan kalau rumah ini sudah dijual padaku oleh pemilik sebelumnya. Dan
katakana kalau pemilik sebelumnya adalah tuan Raja.”
“Mengapa begitu, Tuan? Bukankah..”
“Jangan banyak Tanya. Katakan pada mereka kalau kita hanya mengenal tuan
Raja sebagai penjual rumah ini. Bila mereka bertanya kemana tuan Raja pindah,
itu terserah kamu mau bilang pindah kemana.”
Pembantu itu begitu menurut. Dia langsung kembali ke pintu untuk
menyampaikan pesan tuannya itu.
“Maaf, Nyonya. Tuan Raja yang Nona dan Nyonya tanyakan itu memang pemilik
rumah ini, tapi itu sebelum tuan saya membeli rumah ini darinya.”
“Maksudnya? Siapa tuanmu yang sekarang?”
“Nama Beliau adalah Dirga Dirwan Putra. Beliau membeli rumah ini dari
tuan Raja Kuswantoro.” Pembnatu itu berusaha berkata dengan lancer tanpa
dicurigai.
“Loh? Sejak kapan?” Tanya Vey penasaran.
“Sejak… sejak beberapa tahun yang lalu. Sudah lama, Non. Saya sudah lupa
kapan itu.”
“Kalau memang pindah, apa Anda tahu dimana sekarang Raja Kuswantoro
tinggal?” Tanya Nek Mira dengan cemas.
“Emm, itu.. mungkin di daerah barat sana sekitar jalan Pattimura. Saya
tidak tahu pasti. Dulu beliau hanya menunjuk jalannya saja ketika kami
menanyakan rumahnya yang sekarang.”
“Oh, begitu. Baiklah. Terima kasih, Pak. Sampaikan salam kami pada
Tuanmu. Maaf sudah mengganggu.” Kata Nek Mira sambil menarik tangan Vey.
Dari dalam rumah pemuda tadi memperhatikan Vey dan Nek Mira yang mulai
melangkah menjauhi rumahnya. “Gadis itu… Bukankah dia…”
***
Riko baru saja selesai mandi. Dia masih dengan handuknya duduk di atas
sebuah kursi yang menghadap cermin. Dia mengambil ponselnya yang berada tepat
di depannya. Ponselnya diperhatikan dengan sungguh – sungguh. “Kenapa Vey gak
ngubungi lagi ya? Apa dia baik – baik aja sama Nek Mira? Hemmm, kalau sampai
terjadi sesuatu pasti nanti aku yang disalahkan papa sama mama.”
Riko berpikir untuk menelepon adik satu – satunya itu. Tapi segera
berubah ketika mengingat kejadian tadi pagi yang membuatnya menjadi lukisan
abstrak karya Vey. “Aaaah, enggak deh. Biarin aja dia sama Nek Mira. Entar
kalau ada apa – apa pasti nelepon aku. Hemm, sekarang enaknya ngapain nih..”
Riko melempar ponselnya ke tampat tidur yang ada di belakangnya. Seketika
dia mengingat seseorang yang pasti bisa membawanya jalan – jalan kemanapun dia
mau. “Si pria gembul. Ramon. Iya betul – betul. Aku harus ngubungi dia. Hahaha,
ada manfaatnya juga si gembul itu. Hehehe.”
Riko mencari selembar kartu nama yang di suguhkan Ramon waktu di bandara kemarin.
Dia menemukannya di kantong jeans miliknya. Kondisi kartu nama itu begitu
memprihatinkan. Lucek, lusuh, kumel, membentuk bola kertas. Riko merapikannya.
Berharap nomer ponsel yang ada di kartu nama itu tidak kurang satu nomerpun
karena lusuh.
“Naaaah.. sempurna ni. Tinggal calling
langsung jalan. Hehehe.” Riko menekan nomer demi nomer sesuai dengan yang
tertera di kartu nama itu. Terdengar panggilan yang diterima oleh seseorang di
seberang sana. Itu suara si gembul Ramon.
***
Taksi yang ditumpangi Vey dan Nek Mira berjalan menuju jalan Pattimura,
sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh pembantu beruban tadi. Raut wajah Nek
Mira sedikit murung. Mungkin karena titik terang yang pertama dia dapatkan
redup begitu saja.
“Nenek kenapa? Sedih ya? Tenang saja, Nek. Kita masih punya kesempatan
untuk mencari kekasih hati Nenek.” Vey tersenyum dan menggenggam tangan Nek
Mira, berusaha untuk menyulut api semangat Nek Mira kembali. Nek Mira menoleh
dan membalas senyum Vey, dia tersenyum. “Iya Vey. Nenek gak papa kok. Tenang
aja.”
Perjalanan ke jalan yang ditunjuk pembantu tadi ternyata jauh juga. Butuh
sekitar satu jam. Itu pun karena macet. Maklumlah, waktu itu adalah waktu
liburan, banyak yang berlibur, banyak pula kendaraan yang digunakan untuk
berlibur, itu menyebabkan macet yang tidak begitu parah.
Setelah lama menunggu, sampailah mereka disebuah jalan. Vey dan Nek Mira
turun dari taksi. Mereka masih berdiri di tempat ketika taksi pergi
meninggalkan mereka. “Bagaimana kita mencarinya Vey? Kita belum tahu alamat
barunya.”
“Gak sulit kok, Nek. Hehehe. Tinggal nanya perumah aja. Butuh tenaga,
tapi kita ‘kan punya waktu banyak untuk mencarinya.” Vey tersenyum pada Nek
Mira. “Ayo, Nek kita mulai operasi pencarian Raja.” Vey menarik tangan Nek
Mira. Vey sadar bahwa mencari dengan cara seperti itu sungguh sangat mustahil
untuk cepat ditemukan, tapi Vey tidak mau menyampaikan kata mustahil pada Nek
Mira. Vey bertekad bahwa Nek Mira hanya boleh mendengar kata semangat, buka
kata mustahil.
“Cinta butuh perjuangan ‘kan, Nek? Sekarang kita tunjukkan kalau
perjuangan untuk cinta itu memang benar ada.” Vey berkata dengan santai pada
Nek Mira setelah mendapatkan satu rumah yang tidak ada nama Raja sama sekali di
dalam rumah itu.
Beberapa langkah agak jauh dari rumah itu, Vey kembali bertanya pada
orang. “Permisi, Pak. Boleh bertanya? Kami ingin menanyakan nama orang.” Kata
Vey dengan sopan.
“Ya? Silahkan, Nak.” Jawab seorang pria paruh baya yang sedang duduk –
duduk di teras rumahnya.
“Raja Kuswantoro, apakah anda kenal dengan nama ini?”
“Oooh, Raja maksudmu, Nak? Iya iya, saya tahu. Rumahnya selisih tiga
rumah dari sini. Kanan jalan, bercat biru. Di sana rumahnya.” Pria paruh baya
tadi menunjuk rumah yang agak jauh terlihat dari tempat mereka berada.
“Terima kasih, Pak.” Vey dan Mira tersenyum, sepertinya ada sedikit petunjuk
untuk menemukan Raja. Mereka berdua berjalan beriringan menuju rumah bercat
biru itu. Sesampainya di depan rumah, mereka langsung menjumpai seorang
perempuan tua. Nek Mira mengernyitkan alisnya. Vey sepertinya mengerti apa yang
dipikirkan Nek Mira.
“Nenek pasti berpikir dia adalah istri Raja?” bisik Vey pada Nek Mira.
Nek Mira tersenyum, dia menyenggol tangan Vey. Vey tersenyum melihat tingkah
Nek Mira. Rumah sederhana itu terlihat begitu sejuk, Vey memasuki halamannya
dengan penuh kesopanan. Orang tua tadi menyambutnya dengan ramah.
“Perlu dengan siapa ya?” perempuan tua tadi tersenyum dengan sopan.
“Kami perlu dengan seseorang bernama Raja. Raja Kus…”
Belum sempat Vey melanjutkan kata – katanya, perempuan tadi langsung
menanggapi. “Oh Raja. Jadi kamu calon istrinya itu ya? Ooh, iya iya tunggu ya.”
Vey dan Nek Mira plonga plongo, mereka saling pandang. “Calon istri?” Vey
bertanya – Tanya. Mereka berdua masih berdiri di depan rumah menunggu kepastian
perempuan tua tadi. Langkah kaki manusia terdengar banyak melangkah menuju
pintu. Terlihat empat orang di sana. Perempuan tua tadi, seorang kakek tua,
perempuan paruh baya dan seorang pemuda berpenampilan hitam – hitam, bibir
berlipstik hitam, baju hitam, tindik telinga hitam, eye liner hitam, gayanya seperti anak punk.
“Raja, gadis ini mencarimu.” Eyalaaah, anak punk itu adalah Raja katanya. Vey dan Nek Mira ingin tertawa tapi
ditahan sekuat tenaga. “Ini Raja?” Tanya Nek Mira. “Iya, gimana sih? Masak
pacar sendiri gak kenal. Ini nenekmu ya, Nak?”
“Maaf, kami salah orang. Yang kami cari itu Raja Kus…” belum selesai Vey
berkata perempuan tua tadi menyambungnya sendiri.
“Iya.. Raja Kusmudi ‘kan? Ya ini anaknya.”
“Bukan, Raja Kuswantoro.” Kata Vey dengan cepat, dia takut kata – katanya
di cegat lagi oleh perempuan tua itu.
“Nek, dia bukan pacarku. Pacarku lebih subur badannya. Naaaah, itu itu..
itu yang di sana baru pacarku.” Anak punk
tadi menunjuk ke arah belakang Vey dan Nek Mira. Seorang perempuan bertubuh
subur makmur terlihat. Ketika mereka sibuk dengan pertemuan anak punk dan si gembul part 2, Vey dan Nek Mira segera kabur tanpa kata.
Vey dan Nek Mira tertawa – tawa mengingat kejadian yang baru saja mereka
hadapi. Mereka tetap terus berjalan menyusuri jalan Pattimura sambil tertawa,
bukan karena gila, tapi karena masih saja ingatan anak punk tadi melekat pada benak mereka berdua.
Tak berapa lama kemudian mereka kembali bertanya lagi pada seorang
perempuan yang berjalan melintas di hadapan mereka yang sedang duduk melepas
lelah di sebuah warung kecil. Dan kali ini, Vey menanyakannya dengan lebih
spesifik agar tidak terjadi kesalahan seperti tadi.
“Raja namanya, Bu. Beliau umurnya sekitar 63 tahun. Ibu tahu dimana
rumahnya?”
“Oh, kakek tua itu ya? Yang rentenir itu? Mau apa kamu, Nak? Mau pinjem
uang? Ya ampun, kamu kan masih muda. Awas kamu nanti dinikahi dia kalau sampai
gak bisa bayar hutang.”
“Hah?” Vey dan Nek Mira hanya menganga mendengar itu.
“yasudah kalau kamu sudah nekad, sini ibu kasih tahu. Jalan dari sini luruuus,
belok kiri, ada tangga dari tanah, turun, terus jalan 100 meter ada belokan ke
kanan, belok kanan, terus luruuuus.. di ujung jalan ada rumah gak begitu besar,
itu rumahnya.”
Vey dan Nek Mira masih menganga ketika ibu penunjuk jalan tadi pergi
menghilang dari hadapan mereka. Vey menelan ludahnya, dia menoleh pada Nek
Mira. “Kita coba saja, Nek. Mudah – mudahan saja itu tidak benar ya..” Vey
berusaha tersenyum. Nek Mira tertawa melihat ekspresi Vey yang dipaksakan itu.
Mereka berjalan mengikuti petunjuk dari perempuan tadi. Jalan lurus,
kemudian ada belokan ke kiri, mereka berbelok ke kiri, kemudian ada tangga yang
di bentuk dari tanah, tangga itu menurun, tidak begitu tinggi. Setelah turun
dari tangga mereka berjalan lurus 100 meter, kemudian ada belokan ke kanan, dan
kembali berjalan lurus. Sampailah di ujung jalan. Ada sebuah rumah tidak begitu
besar. Itu adalah rumah satu – satunya yang ada di ujung jalan itu.
Vey dan Nek Mira memasuki halaman rumah yang katanya adalah rumah Raja. Ada
seorang pemuda menyapu di halaman itu. Vey menghampirinya dengan niat untuk
bertanya apakah benar itu rumah Raja yang Vey maksud.
“Permisi, maaf mengganggu.”
“Iya, ada apa ya?”
“Apa benar ini rumah Raja Kuswantoro?”
“Raja? Raja Kuswantoro?” Tanya pemuda itu terheran – heran.
“Iya, Raja Kuswantoro. Apa benar di sini rumahnya?” Belum sempat pemuda
tadi menjawab, seorang kakek tua keluar dari rumah itu sambil berkata. “Ya
benar, di sini rumah Raja. Silahkan duduk.”
Vey menoleh pada Nek Mira yang ada di belakangnya. Vey tersenyum kemudian
menarik tangan Nek Mira. Mereka berdua duduk di kursi yang sudah di sediakan
untuk tamu. “Baiklah, berapa yang ingin kalian pinjam?” Tanya kakek tua tadi.
“Maaf sebelumnya, saya ingin bertemu dengan Raja Kus….”
“Iya, saya ini Raja.. Raja Uang. Begitu orang menyebut nama saya.”
Nek Mira tersenyum – senyum, Vey menggigit bibirnya, dia menahan tawa
yang sebenarnya ingin meledak saat itu juga.
“Jadi Anda bukan Raja Kuswantoro?” Tanya Vey dengan senyum – senyum.
“Raja Kuswantoro? Siapa lagi itu? Saya ini Raja Uang. Ayo cepet bilang
kalian mau pinjam berapa?” Kakek tua itu
berkata sambil menunduk menghitung uangnya. “Kalian tidak usah malu – malu,
pake acara cari Raja Kuswantoro. Bilang aja langsung cari Raja Uang buat
ngutang. Tidak apa – apa. Jangan malu – malu. Tinggal bilang mau pinjam berapa
nanti akan saya berikan. Asal ingat ya.. bunga peminjamannya itu 15 persen.
Kalau sampai telat nanti kena denda lain. Bagaimana? Kalian setuju?” Kakek tua
tadi mendongakkan kepalanya. Di depannya sudah sepi, tak ada orang satu pun.
Pemuda yang memegang sapu – sapu tadi hanya memandang tuannya sambil menganga.
“Loh? Kemana mereka?”
“Pergi daritadi, Tuan.”
“Loh loh.. mereka itu benar – benar pemalu.. yasudahlah, nanti kalau
benar – benar butuh uang mereka pasti balik lagi.”
Sementara itu, Vey dan Nek Mira sudah jauh dari rumah itu. Mereka tertawa
kembali ketika mengingat kejadian itu. Vey dan Nek Mira memutuskan untuk
melanjutkan pencariannya esok hari. Hari ini sudah terlalu sore.
“Gak kerasa udah sore ya, Nek. Vey lapar. Pengen cepet – cepet balik ke
hotel.”
“Iya, Vey. Nenek juga sudah kerasa laparnya. Kalau tadi pas waktu lari –
lari sama kamu laparnya masih belum kerasa. Masih lebih kerasa serunya. Nenek
gak pernah bepergian sebebas sekarang ini.” Kata Nek Mira sambil tersenyum
puas. Dia bersandar pada sandaran kursi taksi. Kelelahan mungkin, maklumlah,
umurnya yang sudah 62 tahun tidak memungkinkan untuk menyimpan tenaga lebih
untuk hari ini. Vey memandang Nek Mira. Dia teringat pada Neneknya di Bogor.
Kalau neneknya sedang kelelahan, beliau paling suka dipijat badannya. Vey pun
melakukan hal yang sama pada Nek Mira saat itu. Nek Mira tersenyum pada Vey.
Dia diam dan menikmati pijatan Vey pada lengan dan pundaknya.
***
Baru saja Vey dan Nek Mira menghabiskan makanan mereka. Itu adalah makan
siang mereka di sore hari. Mereka duduk bersantai di tepi kolam renang. Sampai
saat itu mereka masih belum melihat batang hidung Riko. Vey mulai
mencemaskannya.
“Kakakmu gak ngubungi kamu sama sekali seharian, Vey?” Tanya Nek Mira
yang duduk di sebelah Vey. “Enggak, Nek. Vey jadi cemas ni. Apa Kak Riko
ngambek gara – gara Vey kerjain tadi pagi? Apa dia udah balik ke Bogor ya, Nek?
Duuh, nanti Vey yang dimarahi mama sama papa ni.” Vey mulai benar – benar
khawatir tentang keberadaan kakaknya itu.
“Coba hubungi lagi. Jangan cemas dulu. Siapa tahu Riko cuma jalan – jalan
aja.” Nek Mira mencoba menenangkan Vey. Vey menuruti kata – kata Nek Mira. Dia
mengambil ponsel di selipkan di saku jeansnya. Kemudian menekan tombol – tombol
ponsel untuk mecari kontak Riko.
Ponselnya sudah menempel di telinganya ketika tangan seseorang memegang
pundaknya. “Haloooo adikku sayang…” Riko terlihat di belakang Vey. Dia bersama
seseorang bertumbuh gembul. Dia adalah si gembul part 1, Ramon. “Kakak?” Vey kaget sekaligus lega melihat kakaknya
ada dihadapannya dengan utuh tanpa kekuarngan apapun.
“Kemana saja? Kenapa gak ngasi kabar?” Tanya Vey sedikit kesal. “Bukannya
kamu yang gak ngasi kabar? Kakak ditinggal gitu aja. Ya akhirnya Kakak pergi
deh jalan – jalan sama Ramon. Masih ingat ‘kan? Ini Ramon. Yang di bandara
itu.”
“Oh, iya, terima kasih ya, Mon, udah ngajak Kak Riko jalan – jalan. Maaf
kalau Kak Riko merepotkan.” Kata Vey sambil menjabat tangan Ramon. “Oh, tidak
apa – apa! Aku malah senang dapat teman seheboh Riko. Dia asyik orangnya. Kita
juga sudah punya rencana besok, buat cari cewek.. buat dia. Hehehe” Jelas
Ramon. Vey melirik Riko. Sepertinya Riko mengerti maksud Vey.
“Iya, kita nanti cari ceweknya sekalian sama nyari Raja kok. Hehehe, jadi
Ramon besok sekalian nganter kita muter – muter cari Raja. Tenang saja. Aku gak
bakal lupa janji kok.” Riko tersenyum pada Vey dan Nek Mira.
“Iya betul kata Riko, tadi Riko sudah banyak cerita tentang Raja yang mau
kalian cari itu. Tenang saja, aku akan membantu.”
Nek Mira tersenyum, kemudian berkata pada Ramon, “Apa tidak merepotkan,
Nak?” Ramon tersenyum sopan pada Nek Mira. “Tidak kok, Nek. Sesame manusia ‘kan
harus saling membantu.”
Menit – menit selanjutnya mereka masih bercakap – cakap sampai akhirnya
Ramon pamit pulang. Ajakan makan malam ditolak oleh Ramon dengan alasan sedang
ada janji kencan dengan pacarnya yang ketiga.
Malam mulai menjajah siang. Menggantikan warna langit yang biru menjadi
hitam legam. Malam itu seperti biasa, bintang tetap berkerlipan menemani bulan
yang tenang menyinari malam yang pekat.
Part 10 yaaaaa?? :D
BalasHapus