BAGIAN 5
“Fakta yang Terungkap”
Hari demi hari yang Vey nantikan akhirnya datang juga. Proyek bisnis
papanya yang menemukan suatu titik terang membuat Vey dan Riko mendapatkan
liburan sejenak. Mereka menggunakan kesempatan itu untuk pergi ke kota
mengunjungi neneknya sekaligus membeli beberapa perlengkapan yang mereka
butuhkan untuk satu minggu kedepan.
Pagi itu Riko sudah rapi dengan kaos dan jaket yang dikenakannya. Gaya
santai untuk liburan yang santai. Baju kerja yang biasa dia gunakan di
perusahaan yang dipimpin papanya dilepaskan sejenak demi ketenangan batin. Vey
menyusul di belakangnya, wajahnya yang cantik begitu berseri. Bahagia tampak di
wajahnya.
“Ayo, Kak.” Kata Vey begitu semangat.
“Eh? Mama sama papa gak mau ikut?” Tanya Riko pada mama dan papanya yang
mengantar mereka berdua sampai pintu rumah.
“Nanti malam papa sama mama nyusul, kalian sekalian nginap aja di rumah
nenek. ‘Kan sekalian ada acara kumpul – kumpul juga di sana entar. Mungkin papa
sama mama sorean udah bisa berangkat. Gak mungkin terlalu malam, acaranya ‘kan
malam.” Jawab papa Vey sambil tersenyum senang melihat anak – anaknya akur.
“Oke, Pa.. berangkat dulu ya, Ma, Pa.” Kata Vey yang masih ada di luar
mobil. Riko sudah menghidupkan mesin mobilnya. Vey segera masuk mobil. Mobil
Riko melaju perlahan. Riko mengendalikannya dengan tenang. Pagi itu masih
berembun. Udaranya begitu sejuk, masih belum tercampur polusi. Mereka memang
sengaja berangkat pagi – pagi buta. “Pemandangan desa pasti lebih indah kalo
dilihat pagi – pagi buta.” Itu alasan mereka. Dan betul saja, pemandangan yang
begitu asri langsung terpampang di hadapan mereka.
Vey membuka kaca mobilnya, dia senyum – senyum sendiri melihat lukisan
alam itu. “Indah banget ya, Kak.”
“Yaps, udaranya juga masih seger. Kalau udah nyampek kota pasti
suasananya gak kayak gini.” Lukisan – lukisan alam itu terus mengiringi Vey dan
Riko sampai meninggalkan desa tempat mereka bermukim saat ini.
***
Beberapa lama kemudian, kira – kira dua jam setelah mereka berangkat
tadi, mobil Fortuner putih milik Riko
itu akhirnya memasuki sebuah pagar besar. Di dalamnya terdapat sebuah rumah bak
istana. Rumah nenek. Itu adalah rumah nenek mereka. Masih pagi, jadi keadaannya
masih sepi. Rencananya semua anak dan cucunya akan berkumpul malam ini. Hanya
untuk pesta makan malam dan menginap bersama. Malam ini pasti akan menjadi
malam yang ramai untuk keluarga besar Vey.
Vey keluar mobil, dia berjalan menuju pintu, Riko menyusul di
belakangnya. Ketukan pintu terdengar beberapa kali.tapi masih belum ada yang
menjawab. Mungkin masih beres – beres di belakang atau mungkin saja masih molor
di tempat tidur. Di rumah itu hanya ada tujuh orang. Empat pembantu, satu nek
Ningsih, satu lagi tante Vey yang belum menikah, dan satunya lagi adalah paman
Vey yang akan segera menikah tahun ini.
“Kok gak ada yang nyaut ya? Ini kan udah jam setengah delapan,masak masih
tidur?” Gumam Vey. Kali ini bukan Cuma ketukan yang Vey dan Riko gunakan untuk
menyadarkan isi rumah. “Neneeek…. Oom Bimaa… tante Ritaa.. Ooooy..” Riko
berteriak sekuat tenaga.
Sepertinya berguna juga aungan Riko. Suara kaki yang berlari mendekati
pintu terdengar begitu jelas dari luar. Pintu terbuka, seorang pembantu
menyambut Vey dan Riko dengan senyuman, “Maaf, Non, Den. Gak kedengeran tadi,
tadi masih kerja – kerja di belakang. Mari silahkan masuk.”
“Iya gak papa, Bi’ Sumi.” Vey membalas senyum Bi’ Sumi. Riko dan Vey
langsung masuk dan berlarian menuju kamar neneknya. Seperti biasa, mereka
saling beradu cepat siapa yang sampai lebih dulu, hal yang tidak penting
dilakukan oleh orang seumuran mereka.
“Neneeeeek. “ Vey dan Riko membuka pintu kamar Nek Ningsih sambil
memanggil neneknya itu. Mereka adalah cucu paling manja dari cucu yang lainnya.
Maklumlah, mereka yang paling muda meskipun hanya selisih beberapa bulan dan
sedikit tahun.
Nek Ningsih yang duduk di depan cermin sambil bersisir terkejut dan
begitu gembira melihat cucu – cucunya itu. “Ya ampuuun. Kalian baru datang?
Aduuh, nenek belum apa – apa ini.” Nek Ningsih yang begitu perhatian bangkit
dari duduknya dan menyambut kedatangan kedua cucunya itu.
Vey dan Riko memeluk Nek Ningsih bersamaan. Nek Ningsih hanya bisa
tersenyum melihat tingkah Vey dan Riko yang masih kekanak – kanakan. “Aku
kangen nenek. Meskipun cuma satu minggu gak ketemu rasanya kayak setahun.” Kata
Riko sambil tersenyum.
“Aah, kamu ini gombal! Baru satu minggu gak ketemu.” Kata Nek Ningsih
sambil senyum – senyum mendengar kata – kata Riko. “Looh, nenek itu adalah
wanita paling cantik selain mama yang patut dan perlu untuk dirindukan setiap
detik.” Gombalan Riko semakin menjadi sambil cengar cengir.
“Iiiih, kamu ini, sukanya godain nenek – nenek. Godain tu cewek –cewek,
biar cepet punya mantu mamamu itu.” Nek Ningsih berbalik meledek Riko. Vey
tertawa mendengar kata –kata neneknya itu. “Hahahaahaa, bener banget tu Nek!
Entar Kak Riko keburu jadi perjaka tua. Tu Oom Bima aja udah ada yang mau,
masak harus nunggu kayak Oom Bima dulu.” Vey tertawa puas.
“Eiiiitss… bicarain Oom ya?” Oom Bima datang dari balik pintu. Mereka
semua begitu akrab, jadi tidak pernah ada selisih paham hanya karena kata –
kata, mereka semua membuat itu hanya sebagai bercandaan saja. “Hahaha, ketahuan
ngomongin orang Vey, Nek..” Vey lari kecil berlindung di balik punggung
neneknya.
“Riko.” Oom Bima memanggil nama Riko dengan sedikit memberatkan suaranya.
“Kamu tidak boleh seperti Oom. Menikah kalau udah lapuk. Cepatlah, Nak! Cari
jodohmu.” Nasehat Oom Bima yang sebenarnya lebih mengarah pada ledekan.
“Kalian itu kompak banget kalau udah ngeledek Riko. Aah, gak asik, nyari
teman senasib aah.” Riko melangkah menuju pintu. Langkahnya santai.
“Teman senasib? Siapa maksudmu?” Tanya Nek Ningsih.
“Tante Ritaa.. hahahaha.” Teriak Riko yang sudah menjauh keluar dari
pintu kamar neneknya. Tawanya terdengar menyeruak ke seluruh pelosok rumah.
“Jangan ketawa lebar – lebar, entar rumah nenek bisa masuk ke perutmu.”
Teriak Oom Bima, sedikit meledek Riko yang sudah pergi entah ke ruang mana.
Di kamar Nek Ningsih masih ada Oom Bima, Vey, dan Nek Ningsih. Nek
Ningsih kembali duduk di depan cermin, sisirnya sekarang dipegang Vey. Vey
menyisirkan rambut nenek satu – satunya itu. Oom Bima mendekat dan berkata.
“Ibuk jadikan nyuruh Bima jemput Tante Mira?” Tanya Oom Bima dengan
sopan.
“Ooh, iya, ibuk hampir lupa, Bim. Untung kamu ngingetin. Iya sana kamu
jemput sekarang Mira. Kita juga harus berbagi kebahagiaan dengan dia. Kamu
ingetkan alamant panti jomponya?”
“Inget kok, Buk.” Sahut Oom Bima.
“Syukurlah, Ibuk sendiri lupa soalnya. Hehehe.” Nek Ningsih tertawa
kecil. Suara tawanya begitu khas, khas lansia. Oom Bima pun langsung
menjalankan tugasnya menjemput Nek Mira.
“Nek Mira mau ke sini juga, Nek?” Vey terkejut. Begitu senang dia
mendengar kabar itu. “Iya, Vey. Kenapa memangnya?” Sahut Nek Ningsih yang duduk
pasrah disisir oleh Vey. “Serius??? Waaah, asyik ini.”
“Loh? Kok gitu?” Tanya Nek Mira penasaran melihat Vey begitu semangat
mendengar kabar bahwa Nek Mira akan datang juga ke rumah Nek Ningsih.
“Banyak yang pengen Vey tanyakan ke Nek Mira.” Kata Vey sambil mendekat
ke arah neneknya.
“Tentang apa? Tentang rumahnya itu? Memangnya ada masalah ya di rumah
yang Mira jual ke papamu?”
“Enggak, Nek! Bukan masalah rumah. Tapi masalah surat – surat yang ada di
bawah ranjang tidurnya.” Vey begitu tenang mengatakan itu tapi Nek Ningsih
begitu terkejut mendengarnya. Nek Ningsih menghentikan tangan Vey yang sedang
sibuk menyisir rambutnya. “Ada apa, Nek? Sakit ya disisir Vey?”
Nek Ningsih memperhatikan sudut – sudut mata Vey dari cermin di
hadapannya. “Ada apa sih, Nek? Iih, nenek ini nakutin ah. Kayak orang kesurupan
aja.”
“Surat Raja maksudmu, Vey?” Nek NIngsih begitu serius raut mukanya. Vey
menjadi semakin ketakutan melihat tingkah neneknya yang begitu tiba – tiba.
“I.. i.. i… iya, Nek. Memangnya kenapa? Ada yang salah?”
Nek Ningsih berbalik menghadap Vey. “Kamu sudah membacanya?” Vey semakin
penasaran apa yang sebenarnya tejadi. Mengapa neneknya seperti ketakutan
mendengar itu semua.
“Iya, Nek. Vey sudah hampir menyelesaikan semuanya. Tinggal beberapa
surat yang belum Vey baca.” Vey mengernyitkan alisnya, penasarannya tambah
menjadi melihat ekspresi Nek Ningsih yang begitu misterius.
“Jadi, Mira menyembunyikan surat – surat itu di bawah tempat tidurnya.”
Nenek Vey berkata sendirian.
“Ada apa memangnya, Nek?”
Nek Ningsih melihat wajah Vey yang begitu penasaran. “Surat – surat itu
yang mengantarkan Mira pada kondisinya yang sekarang ini, Vey.”
“Maksud nenek? Nek Mira? Kenapa dengan dia? Apa yang sebenarnya terjadi,
Nek?” Nek Ningsih bengkit dan menutup pintu kamarnya. Dia kemudian kembali ke
hadapan Vey yang masih memampang muka penasaran.
“Kamu pasti penasaran, ‘kan? Nenek akan ceritakan. Kamu sudah tahu
sendiri nenek ini suka bercerita dan berdongeng, tapi kali ini, kali ini
ceritanya tidak seperti cerita – cerita sebelumnya yang pernah nenek ceritakan,
ini cerita nyata.” Nek Ningsih adalah pencerita yang baik. Dia suka bercerita
dan berdongeng, dia paling suka jika menceritakan sebuah cerita yang banyak makna
dan pelajaran hidupnya. Seperti kali ini, jika cerita itu begitu bermakna, dia
begitu semangat menyampaikannya.
Vey diam, dia siap menerima cerita dari Nek Ningsih. “Mira itu adalah
sahabat nenek. Dia adalah anak orang kaya, segala tindakan dan tingkahnya
selalu dijaga dan diperhatikan, katanya agar tetap terjaga sikap
kebangsawanannya, biasalah, orang dulu kalau masalah derajat sepertinya harus
benar – benar terjaga.
Jika dia ingin bermain kerumah nenek, dia selalu dikawal oleh dua
pengawal yang dibayar untuk menjaganya oleh orang tuanya. Mungkin orang tuanya
berpikir itu semua demi kebaikan Mira, demi keselamatan Mira. Tapi Mira sendiri
malah merasa sebaliknya. Dia merasa hidupnya terkekang. Meskipun kaya, tapi
hatinya begitu miskin kebahagian. Senyum yang dia kembangkan hanya agar orang
tuanya bahagia.
Dia memang orang kaya, tetapi sifat sombong dalam dirinya tidak pernah
tampak, kebaikannya pada nenek melebihi kebaikan nenek padanya. Tidak pernah
marah jika nenek melakukan kesalahan padanya. Dia pasti akan memaafkan dengan
segera jika terjadi kesalah pahaman diantara kita. Pernah suatu ketika kita
berdua sedang bermain di pantai, tentunya dengan pengawal yang sudah dibayar
itu. Mira itu memiliki sebuah tas slempang kecil, dan waktu itu nenek menggodanya,
nenek ambil tas itu dan diputar – putar ke atas. Seketika itu tasnya terlepas
dan plung. Nyemplung ke air, dan hanyut tak bisa di kejar.
Nenek benar – benar merasa bersalah. Tapi Mira hanya berkata, ‘sudahlah,
itu hanyalah sebuah tas, dan isinya juga tidak terlalu penting, hanya buku
harian dan dompet saja. Itupun isinya cuma sedikit. Hanya beberapa rupiah saja.
Jadi, tenanglah!’ Mira tersenyum pada nenek. Dia menenangkan nenek yang sedang
kebingungan karena tas itu.
Dia juga anak yang penurut. Terlalu penurut menurut nenek. Dia lebih
memilih diam daripada protes dengan kebijakan yang dibuat oleh orang tuanya.
Ketika nenek bertanya kenapa dia bersikap seperti itu, dia hanya menjawab, ‘aku
tidak ingin mengecewakan kedua orang tuaku.’ Itu yang selalu dia tekankan dalam
hati, dan itu juga yang membuatnya dapat bertahan dengan keadaan seperti itu.
Waktu itu sepertinya dia masih belum sadar kalau hidupnya sekarang bukan
lagi miliknya, tapi milik orang tuanya. Bayangkan saja, segalanya sudah diatur
untuknya. Tidak ada kesempatan untuk memilih apa yang sebenarnya disukai.
Pilihan orang tuanya adalah kewajiban baginya untuk menuruti. Dan hebatnya dia,
dia tetap bertahan.
Beberapa kali nenek tanyakan tentang hidupnya itu dan beberapa kali nenek
nasehati untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari itu, tapi Mira hanya
berkata seperti tadi. Nenek timpali lagi dengan beberapa kata – kata seperti
ini, ‘ini bukan mengecewakan orang tuamu, Mir. Hanya menegur saja, atau kamu
ajukan satu permintaan pada mereka tentang sesuatu yang kamu inginkan
sebenarnya.’
Tapi tetap saja, dia hanya tersenyum dan berkata pada nenek, ‘aku pasrah
pada orang tuaku, Sih. Aku tidak punya kekuatan untuk melakukan itu, orang
tuaku terlalu kuat pendiriannya. Mereka pasti begitu sulit mendengarkan
keinginanku jika sampai keinginanku tidak sejalan dengan jalan pikiran mereka.’
Nenek hanya bisa kasihan melihat dirinya yang begitu tersiksa batinnya.
Suatu hari, Mira datang berkunjung seperti biasa ke rumah nenek. Dia
senyum – senyum sendiri melihat nenek.
Raut wajahnya begitu segar, matanya berbinar – binar. Di tangannya
tergenggam sepucuk surat berwarna putih. Dia begitu bersemangat menceritakan
sesuatu yang baru dalam hidupnya. Raja. Nama panjangnya nenek lupa.
Dia membawakan nenek beberapa surat lain di tas slempangnya. Itu juga
dari Raja katanya. Dia menceritakan bahwa dia mendapatkan seorang teman pria
dari jauh sana. Dia juga begitu senang ketika menceritakan bahwa Raja
mencintainya. Nenek begitu senang melihat mata Mira yang biasanya begitu sayu
dan tak cerah tiba – tiba berbinar – binary. Untuk saat itu nenek benar – benar
berterima kasih pada Raja karena sudah membuat Mira begitu bahagia.
Beberapa minggu selanjutnya, setiap Mira mendapatkan balasan dari Raja,
dia selalu membawakan surat itu kepada nenek. Dia begitu semangat menceritakan
segala perasaan yang dia rasakan ketika membaca surat itu. Nenek hanya
tersenyum – senyum melihat Mira yang begitu gembira.
Tiga tahun lamanya mereka menjalani kehidupan yang terpisah itu. Tapi
meskipun jarak mereka berjauhan cinta mereka semakin hari semakin jadi.
Meskipun mereka tidak pernah bertemu, tapi mereka berdua begitu yakin akan
hubungan mereka.
Dan tibalah saat dimana suatu musibah terjadi pada hubungan mereka.
Minggu itu untuk pertama kalinya Mira datang dengan linangan air matanya yang
menyerembak membasahi matanya. Dia begitu sendu menceritakan apa yang terjadi.
Dia akan dijodohkan oleh orang tuanya. Dan seperti yang sudah nenek
ceritakan tadi, jika orang tuanya yang berkeinginan, dia tidak bisa berbuat apa
– apa. Dia meminta nasehat nenek, sambil tersendat – sendat suaranya dia
berkata, ‘Baru kali ini aku merasakan sakit yang teramat. Aku tidak tahu harus
berbuat apa.’ Dia juga menanyakan apakah
dia harus menceritakan yang sebenarnya pada orang tuanya.
Nenek pernah memberikannya nasehat dulu, saat dia sedang berbunga – bunga
dengan cintanya itu. Yang nenek ingat nasehat itu, ‘Ikuti kata hatimu, Mir.
Jangan terlalu berpikir tentang logika.’ Dan saat dia dalam kemurungan dan kebimbangan,
nenek kembali mengucapkan kata – kata itu, ‘Ikuti kata hatimu, Mir. Jangan
terlalu berpikir tentang logika. Kalau dipikir dengan logika, memang benar,
kamu tidak akan bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan sebenarnya. Beranikan
diri! Ini kesempatanmu untuk merebut kembali hidupmu. Beritahu pada mereka
bahwa jiwamu masih hidup, beritahu mereka bahwa kamu masih punya hak sebagai
seorang manusia untuk memilih jalan hidupmu sendiri. Mereka memang orang tuamu,
seharusnya mereka mengerti dan memahami bukan malah membungkam
keinginanmu.’ Nenek sebelumnya tidak
pernah berpikir bagaimana hasilnya jika kata – kata itu benar – benar diikuti
oleh Mira.
Dan benar juga, jika seseorang sudah mengenal yang namanya cinta,
keberanian yang sebelumnya tersimpan dan terpendam sangat dalam bisa muncul
kepermukaan. Setakut apa pun orang pada sesuatu, jika sudah berkaitan dengan
cinta, dia akan berani mengambil segala resiko yang ada. Mira benar – benar
mengikuti saran nenek.
Yang nenek tahu, pertama dia berusaha menyampaikan tentang keberadaan
Raja di hatinya. Dia juga mengatakan bagaimana mereka saling jatuh cinta.
Harapan Mira sangat besar. Dia berharap orang tuanya mengerti dan memahami
kehendaknya. Dia berpikir, ini adalah permintaan pertamanya, dan mungkin yang
terakhir, pastilah orang tuanya akan mendengarkan dan mengabulkan.
Tapi itu tidak semudah yang dia bayangkan. Orang tuanya begitu marah,
mereka sangat kesal mendengar Mira secara tidak langsung menolak perjodohan
yang mereka lakukan. Pada Mira dimarahi habis – habisan, nenek sedang berada di
kamarnya, begitu jelas kata – kata yang diucapkan oleh orang tuanya. Dan jika
nenek jadi Mira, nenek pasti akan dibanjiri air mata. Kata – katanya sungguh
menyakitkan.
Pada saat itu, nenek yang dulunya ingin sekali kaya seperti Mira, tiba –
tiba sejenak menghilangkan keinginan itu. Lebih baik biasa saja daripada kaya
jika akhirnya seperti itu. Tidak, dan tidak ingin seperti itu.
Nenek menangkap beberapa perkataan orang tuanya yang masih nenek ingat
sampai sekarang. ‘Kamu anak orang kaya di daerah ini! Jika kamu menikah dengan
orang yang tidak jelas asal usulnya itu, bagaimana orang lain melihat kita?
Orang yang Ayah jodohkan ini adalah bangsawan! Dia terhormat! Kaya! Dan tidak
neko – neko! Kamu akan bahagia dengan dia! Kamu tidak akan ditelantarkan!’
Nenek benar – benar kesal mendengar kata – kata itu, mereka mengukur
kebahagiaan seseorang hanya dari harta dan derajat! Ingin rasanya nenek keluar
dari kamar itu dan membawa kabur Mira. Tapi nenek hanyalah seorang gadis tanpa
kekuatan.
Mira tiba di kamarnya dengan tubuh yang begitu lemah, nenek langsung
menerima tubuhnya, nenek dudukkan dia di atas kasur. Mira menghadap nenek,
matanya begitu sayu, lemah dan kelam. Air matanya terus mengalir. Nenej tidak
tega melihat itu semua, nenek hapus air matanya yang mulai mengalir melewati
pipinya. Bibirnya gemetar, Mira benar – benar berantakan. Dia benar – benar
hancur. Nenek bisa merasakan itu.
‘Aku sudah mati, Sih! Sudah tidak ada lagi jiwaku. Aku hanyalah boneka!
Boneka mereka.’ Tidak kuat nenek mendengar kata – kata itu. Nenek tidak kuat
menahan air mata yang sudah agak lama nenek tahan. Nenek menangis mendengar
kata – katanya yang begitu putus asa.
Mira mengalihkan pandangannya pada sepucuk surat dari Raja yang dia dapatkan
tadi pagi dan belum sempat dibacanya. Dia perlahan membuka dan membaca. Nenek
tidak begitu ingat dengan jelas isinya. Yang nenek ingat hanyalah kabar bahwa
Raja juga akan dijodohkan, dan jika dia menolak, dia akan dipasung!
Bertambah pedih hati Mira. Dia benar – benar hancur tak bersisa. Surat
itu jatuh dari gengamannya. Dari dalam surat itu terdapat sebuah pena yang
masih ada tintanya. Itu pena Raja. Kalau tidak salah, itu adalah pena ke – 50
milik Raja. Model dan mereknya sama seperti yang Mira perlihatkan padaku
sebelum – sebelumnya.
Di surat itu nenek ingat juga kalau Raja ingin menghentikan semua ini.”
Vey menyela cerita neneknya, “Loh? Bukankah Raja benar – benar mencintai Nek
Mira? Kenapa harus menghentikannya?” Nek Ningsih menjawab pertanyaan Vey yang
sedari tadi mendengarkan dengan sungguh – sungguh cerita itu.
“Raja cuma tidak ingin banyak pihak yang terluka karena masalah cinta
mereka. Malam itu, nenek tinggalkan Mira dengan keputus asaannya yang mendalam.
Sebelum nenek pulang, nenek sempat mencatat alamat Raja. Tujuannya, nenek ingin
memberitahukan Raja tentang semua ini. Nenek ingin menyatukan mereka. Itu niat
nenek.
Jadi malam itu sesampainya di rumah, nenek langsung mengambil selembar
kertas, dan menuliskan surat untuk Raja. Nenek agak lupa isinya, yang nenek
ingat hanyalah sebagian kata – kata saja.
Ini cinta kalian, mengapa harus ada
orang lain di dalamnya? Mengapa kamu menyerah begitu saja? Di sini Mira benar –
benar berjuang untuk cintanya padamu, tetapi mengapa kamu malah menghentikan
itu semua?
Tidak adakah rasa memiliki dihatimu
untuknya? Dia milikmu! Mengapa kamu biarkan orang yang tidak dia cintai
mengambilnya darimu? Kamu harus bertindak! Aku sahabat Mira tidak ingin melihat
kalian menyesal. Aku ingin melihat kalian tersenyum. Aku ingin melihat Mira
yang dulu selalu tersenyum ketika membawa surat – surat cinta itu padaku. Aku
ingin melihat senyum kalian di setiap foto yang dikirim.
Raja. Bukankah cinta butuh
pengorbanan? Untuk kali ini, kata – kata itu bukanlah hanya sebatas kata – kata
puitis saja! Kali ini kata – kata itu adalah sebuah api yang seharusnya bisa
menyulut semangatmu untuk mendapatkan kembali kebahagiaan kalian berdua.
Dan nenek lupa apa lagi isinya. Yang pasti waktu itu lembaran surat yang
nenek kirim ada 10 lembar. Banyak kata yang nenek sampaikan. Dan akhirnya satu
minggu kemudian Raja membalas surat nenek. Dia berkata bahwa dia akan segera
menuju Bogor. Dan dia meminta nenek untuk mengantarnya ke rumah Mira.
Dia juga berkata, bahwa tiga hari setelah surat itu dikirim, dia akan
segera berangkat. Jadi kemungkinan, satu atau dua hari setelah surat itu
sampai, Raja akan tiba juga di Bogor. Begitu bahagia nenek mendengar itu, ingin
rasanya nenek melompat jauh sampai mencapai rumah Mira.
Ketika nenek sampai rumah Mira, sepertinya keadaan di sana sama saja
seperti minggu lalu, menegangkan. Nenek langsung dipersilahkan masuk ke kamar
Mira oleh orang tuanya. Nenek juga disuruh membujuk Mira agar turun dari
kamarnya dan menyetujui semua keputusan orang tuanya. Nenek hanya bisa
mengangguk tapi itupun masih terasa berat.
Ketika nenek membuka pintu kamar Mira, nenek melihat Mira tergeletak di
lantai di sebelah tempat tidurnya. Nenek terkejut dan spontan berteriak. Seisi
rumah mendengar itu. Dan belum sempat nenek menyampaikan kabar gembira tentang
kedatangan Raja, nenek sudah disuruh pulang oleh orang tuanya. Nenek diantar
oleh pengawal Mira.
Diperjalanan pulang, pengawal Mira banyak bercakap – cakap dengan nenek.
Pengawalnya itu perempuan. Dia berkata bahwa sebenarnya dia tidak tega melihat
pemiliknya yang sedang tidak berdaya. ‘Saya pikir, Nyonya dan Tuan begitu
keterlaluan pada Non Mira. Kalau saja saya jadi Non Mira, saya pasti kabur dari
rumah itu. Tapi hebatnya Non Mira, dia begitu tahan menghadapi orang tuanya
yang begitu keras kepala itu.’ Nenek menyetujui kata – kata pengawal itu. Dan
pengawal itu juga memberitahukan pada nenek bahwa dua hari lagi keluarga itu
akan segera berangkat ke Semarang, untuk melaksanakan akad nikah. Akad nikahnya
akan segera dilaksanakan di suatu tempat yang megah di Semarang. Begitu
katanya.
Begitu terkejutnya nenek mendengar itu. Nenek bingung sendiri. Nenek
berpikir, bagaimana caranya menyuruh Raja agar sampai keesokan harinya. Tapi
itu tidak mungkin. Tidak mungkin bisa dilakukan. Kali ini, tubuh neneklah yang
lemas mendengar kabar itu. Semangat untuk mempersatukan mereka seakan runtuh
begitu saja.
Dua hari kemudian, Raja benar – benar sampai di Bogor. Wajahnya begitu
tampan. Wajahnya lebih tampan dari yang ada di foto. Jika Mira melihatnya, dia pasti
sangat bahagia. Nenek yang berhadapan dengan Raja, bukan senang, malah
menangis. Nenek berharap Mira ada di dekat nenek untuk menjemput Raja di
stasiun. Tapi tidak. Mira tidak di dekat nenek.
Raja tersenyum melihat nenek yang menangis tersedu – sedu. Nenek tidak
memberitahukan pada Raja bahwa Mira hari itu akan berangkat ke Semarang. Nenek
langsung mengajak Raja ke rumah Mira. Nenek benar – benar terburu – buru, nenek
berharap Mira belum berangkat. Karena kata pengawalnya, Mira akan berangkat
sore hari, sedangkan pada saat itu masih siang hari.
Sesampainya di depan rumah Mira, nenek tahu Raja begitu tegang menghadapi
itu semua. Tapi dihati nenek begitu cemas. Seorang pembantu membukakan pintu
untuk kami, dan kecemasan nenek benar – benar terjadi. Mira sudah berangkat.
Raja tertegun mendengar penjelasan nenek. Air matanya mengalir. Begitu jelas di
raut wajahnya bahwa dia benar – benar mencintai Mira. Nenek menangis menyesal.
Menyesal telah menumbuhkan harapan pada hati Raja.
Raja berkata itu tidak apa – apa, karena semua nasehat nenek memang benar
adanya. Tidak perlu merasa bersalah. Tapi nenek tetap saja merasa bahwa
kedatangan Raja yang begitu sia – sia adalah salah nenek. Itu salah nenek. Raja
pulang ke Lombok dengan tangan hampa. Terakhir kali dia berkata pada nenek di
stasiun, ‘Tolong, jaga Mira untukku, aku mungkin tidak bisa menjaganya, aku
juga mungkin tisak akan bisa membuatnya bahagia lagi seperti dulu, tapi kamu
sahabatnya, pasti bisa mengembalikan senyumnya. Dia mungkin sudah menjadi milik
orang yang tidak dia cintai, tapi cintanya tetap milikku. Tolong jangan bilang
kalau aku pernah ke sini untuk mencarinya. Aku tidak ingin dia berharap terlalu
besar lagi untukku.’
Nenek masih saja teringat kata – kata itu dengan jelas. Nenek salah
Vey..” Nek Ningsih tiba – tiba menangis tersedu – sedu. “Nenek yang membuat
Raja dan Mira berharap akan cinta mereka, nenek yang menasehati mereka. Oleh
karena itu sejak kejadian perginya Raja, nenek memutuskan untuk berhenti
memberikan nasehat pada orang – orang tentang masalah cinta. Nenek tidak ingin
merasa bersalah seperti waktu itu.” Tangis Nek Ningsih semakin menjadi, Vey
yang terharu mendengar cerita itu, matanya berkaca – kaca. Pintu kamar tiba –
tiba terbuka perlahan, dibalik pintu itu
ada Nek Mira. Ada Nek Mira sejak tadi di balik pintu. Dia mendengar apa yang
Nek Ningsih ceritakan pada Vey. Terlihat linangan air mata membasahi pipi Nek
Mira. Nek Ningsih benar – benar terkejut.
“Maafkan aku, Ningsih. Maafkan aku telah membuatmu merasa bersalah.” Nek
Ningsih terkejut, dia segera berjalan tertatih menuju Nek Mira. “Mira, kamu
mendengarnya?”
“Mendengar? Mendengar bahwa Raja pernah mencariku ke sini?”
“Maafkan aku, Mir. Aku tidak ingin kamu tambah berharap dalam keadaan
seperti dulu itu.” Mereka berdua menangis tersedu – sedu. Vey memperhatikan
mereka. Vey meneteskan air mata. Masalah
cinta. Apa? benar ada cerita yang berakhir sedih? Seperti kisah ini? Apakah
seperti ini akhirnya? Setahuku tidak! Tidak ada cerita yang berakhir sedih,
jika itu memang berakhir sedih berarti itu masih bukan akhir, itu masih
permulaan dari akhir yang bahagia. Pikiran Vey bergejolak. Air matanya
mengalir.
Wah, kali ini ceritanya mengharukan :')
BalasHapusGak sabar nunggu cerita selanjtnya..
Aku udah add akun FB kamu, yg Inka Yulianingsi itu aku.
oh iya, kayaknya jari kamu kepeleset lagi, Nenek jadi Nenej.. :D
Hehehehehehehe...
kamu teliti banget.. :D hehehehe
Hapusiya FBmu udah aku terima, :D
yang Part 6 udah aku posting lo.. :D