BAGIAN 6
“Cerita Mira Laksmina”
Nek Mira duduk memejamkan mata di teras rumah. Vey mendekatinya. Suasana
hatinya masih kelabu. Hatinya masih kacau karena sebuah fakta. Vey membawakan
Nek Mira secangkir teh hangat untuknya. Vey berusaha tersenyum melihat Nek
Mira. Sepertinya kedatangannya disadari Nek Mira. Nek Mira membuka matanya, dia
tersenyum melihat Vey.
“Nenekmu sudah tidur?” Tanya Nek Mira pada Vey.
“Iya, Nek. Beliau sudah tidur.” Jawab Vey dengan sopan. Vey benar – benar
menjaga bicaranya bila berhadapan dengan orang yang lebih tua, terlebih lagi
jika dia baru mengenalnya. Seperti Nek Mira ini. Vey baru melihat wajah Nek
Mira hari ini. Sebelum – sebelumnya dia belum pernah tahu yang namanya Nek
Mira.
“Nenekmu pasti kelelahan setelah menangis hampir seharian.” Kata Nek
Mira. Setelah mengatakan itu, Nek Mira meneguk teh yang suguhkan Vey padanya.
Teh hangat yang diberikan Vey pada Nek Mira, tujuannya agar perasaan Nek Mira
bisa lebih tenang setelah seharian menemani Nek ningsih yang menangis karena
cerita masa lalu pernah mereka alami.
“Bagaimana dengan Nek Mira? Apa Nenek gak capek?” Tanya Vey begitu
perhatian, Vey begitu simpati pada Nek Mira. Vey juga merasa kasihan padanya,
begitu banyak kepedihan yang dilewati Nek Mira, tapi sedikitpun garis wajahnya
tak menampakkan garis kesedihan.
“Nenek masih belum capek, Vey. Masih ingin bersantai.”
“Vey ganggu Nenek ya?” Tanya Vey malu – malu.
“Enggak kok Vey. Temani nenek di sini. Nenek butuh teman.”
Vey terdiam, dia hanya duduk. Dia bingung bagaimana lagi memulai percakapan
yang pantas dibicarakan dengan Nek Mira. Vey tahu kalau suasana hati Nek Mira
sedang tidak enak. Sejenak, suasana benar – benar hening. Sore itu matahari
kekuningan di ufuk barat menyilaukan mata.
“Kamu tidak ingin tahu bagaimana cerita selanjutny, Vey?”
Vey terbangun dari lamunannya yang terpejar kemana – mana. Dia menoleh
pada Nek Mira. Vey tetap diam, dia merasa kebingungan menjawabnya. Antara
menjawab ingin dan tidak ingin. Dia sebenarnya ingin, tapi dia tahu Nek Mira
sedang gundah, apakah pantas jika dia berkata ingin?
“Tidak apa – apa, Vey. Jangan merasa tidak enak pada Nenek. Kejadian itu
sudah 44 tahun berlalu. Kamu hanya perlu mendengarkan ceritanya saja, bukan
menyaksikan kejadiannya. Itu semua agar kamu jangan sampai mengalaminya.”
Vey tersenyum, dia mengangguk perlahan memastikan tindakannya tidak ada
yang salah di hadapan Nek Mira. Nek Mira meneguk teh yang dibawakan Mira
untuknya. Berhenti sejenak, kemudian menghela nafas dan mulai berkata.
“Setelah keluarga nenek berangkat ke Semarang, nenek hanya diam saja
sepanjang perjalanan. Hati nenek begitu remuk. Hidup nenek terasa ada yang
telah mengambilnya. Nenek hanya termenung memandang keadaan di luar mobil.
Beberapa kali nenek ditawari Ibu makanan, tetapi nenek tidak pernah menjawabnya.
Nenek hanya diam, dan terus diam. Pada waktu itu, pikiran nenek hanya
satu. Mati. Itu sepertinya adalah jalan paling mudah untuk menyelesaikan
masalah nenek. Ketika nenek sedang sibuk dengan pikiran yang tidak karuan,
sebuah jurang yang mengiringi sisi kiri mobil kami runtuh akibat hujan semalam
yang mengguyur jalan tak beraspal itu.
Mobil kami berguling kebawah, nenek yang bereda tepat di pintu mobil
terlempar jauh dan jatuh menyeruduk jerami – jerami padi yang tertumpuk di
tengah sawah. Nenek tidak merasakan sakit sedikitpun. Nenek bangun dan berlari
mendekati mobil yang sudah remuk. Di dalam nenek lihat ada ibu dan ayah yang
terjepit badan mobil. Badan mereka berdarah. Mereka tidak berkata apa – apa.
Mereka terdiam.
Nenek hanya bisa terdiam dan menangis. Nenek bingung harus bagaimana.
Beberapa orang yang ada di sawah sudah berkerumun untuk menolong kami, setelah
itu nenek pingsan, nenek tidak tahu lagi bagaimana kejadiannya. Nenek siuman
ketika orang tua nenek sudah di kubur di hadapan nenek.
Nenek benar – benar merasa bersalah. Nenek benar – benar merasa bodoh.
Nenek pernah berharap mati adalah penyelesaian masalah yang sedang nenek
hadapi, tapi bukan mereka yang mati, neneklah yang nenek maksud mati. Nenek
yang harus mati, bukan mereka. Nenek benar – benar bersalah.
Nenek pernah berpikir, apakah Tuhan salah mengartikan harapan nenek.
Nenek benar – benar putus asa saat itu. Setelah rasa bersalah itu semakin
menguasai nenek, nenek akhirnya memutuskan untuk tidak melakukan apa – apa.
Nenek benar – benar berhenti berharap tentang Raja. Nenek benar – benar
berusaha untuk melupakan Raja.”
Vey mengernyitkan kedua alisnya. Ada ketidaksetujuan dalam dirinya.
“Nenek! Itu bukan salah Nenek! Kematian itu sudah diatur, jadi jangan selalu
menyalahkan diri sendiri karena kematian seseorang. Sebagian orang selalu
melakukan hal itu, hal dimana mereka merasa bersalah karena kematian seseorang,
padahal mereka tidak membunuhnya. Dan selama hidupnya mereka selalu dibawah
bayangan kematian orang itu. Karena itulah mereka tidak dapat melanjutkan
hidupnya, padahal hidupnya masih panjang dan masih penuh dengan warna.
Apa Nenek seperti mereka itu? Coba deh Nenek jadi orang yang meninggal
itu. Apa nenek mau ada orang yang masih memperdebatkan dan menyesalkan tentang
kematiannya? Mereka pasti tidak ingin seperti itu. Mereka ingin tenang di sana,
Nek! Mereka ingin tenang tanpa dibebani oleh rasa bersalah yang dirasakan oleh
orang – orang yang masih hidup.
Mereka pasti berharap orang itu juga bebas dan bahagia dengan hidup yang
dimilikinya karena mereka sendiri sudah merasa bahagia di atas sana.” Vey
panjang lebar, dia begitu semangat mengatakan itu, kata – kata itu muncul
seperti dulu ketika kakeknya meninggal. Dia mengatakan itu pada Oom Bima ketika
Oom Bima merasa bersalah karena telat membawakan obat untuk ayahnya itu.
“Maafkan Vey, Nek. Mungkin Vey terlalu lancang mengatakan itu pada yang
lebih tua.” Vey menunduk, dia sadar. “Vey, kamu sama seperti nenekmu dulu.
Menasehati nenek diwaktu yang tepat dan juga dengan kata – kata yang tepat.
Kamu tidak salah, Sayang. Nasehat itu bukan hanya dari yang tua ke yang muda.
Tapi bisa juga sebaliknya, yang muda ke yang tua, seperti saat ini. Setelah
nenek pikir – pikir, memang benar kata – katamu itu.”
Vey mengangkat kembali kepalanya. Dia menoleh pada Nek Mira. “Tapi sulit
ketika kita mengingat kejadian itu lagi, Vey. Sulit untuk merasa tidak
bersalah. 44 tahun berlalu, sudah terlanjur untuk merasa bersalah, nenek sudah
terbiasa dengan perasaan bersalah, itu menyulitkan nenek untuk berhenti berpikir
negatif.”
Vey tersenyum, kemudian dia memegang tangan Nek Mira. “Nek, semua butuh
proses. Ketika kita ingin berhenti untuk melupakan dan menghentikan sesuatu
yang sudah menjadi kebiasaan butuh waktu tertentu untuk berhasil melakukannya.
Bukan secara instan. Itu terlalu mudah.” Nek Mira tersenyum mendengar kata –
kata Vey.
“Terlepas dari masalah itu, apa Nenek masih mencintai Raja?” Vey secara
tidak sengaja menanyakannya. Nek Mira memandang wajah Vey. Dia tersenyum dan
perlahan menjawab pertanyaan Vey, “Meskipun 44 tahun sudah berlalu tapi pena ke
– 50 miliknya masih berisi tinta, Vey. Meskipun sudah kering. Bukankah itu
sudah jelas bahwa nenek tidak boleh menghilangkan cintanya. Cintanya masih ada
meskipun sudah kering seperti tinta itu.”
“Nek, bukankah sesuatu yang dikeringkan itu lebih manis? Seperti kismis.
Ketika dikeringkan, rasanya akan tambah kuat dan bahkan lebih awet. Menurutku
yang namany cinta sejati seperti itu, Nek. Ketika cinta itu mengering, cinta
itu akan lebih kuat dan awet. Cinta sejati bukan seperti air, ketika air itu
mengering di sinari terik matahari, air itu akan menguap, kemudian menghilang,
dan jatuh di tempat lain sebagai hujan. Itu bukan perumpamaan untuk cinta
sejati. Itu hanyalah perumpamaan untuk cinta yang datang dan pergi begitu saja
setelah bosan dan kemudian mencari tempat lain untuk mencari cinta lain.”
Vey benar – benar hati – hati dalam berkata, dia ingin Nek Mira tidak
sedih dengan cintanya yang sudah lama berlalu. “Benar katamu Vey. Tapi itu
sudah lama berlalu. Nenek juga sudah tua. Tidak perlu lagi berkata – kata
tentang cinta.
“Bukankah cinta tidak mengenal usia, Nek?”
Nenek memandang wajah Vey. Wajahnya penuh harapan. “Nenek dulu sudah
pernah berjanji dengan Raja. Nenek akan selalu membalas surat – suratnya. Dan
ketika orang yang menulis surat itu datang mencari orang yang membalasnya,
apakah orang yang membalasnya itu tidak akan membalas mencarinya juga?” Vey
memandang mata Nek Mira begitu dalam, Vey melihat sebuah cinta yang sudah
tertidur lama, Vey ingin membangunkannya.
“Ini bukan masalah umur, Nek. Tapi ini masalah cinta.” Vey mengalihkan
pandangannya ke halaman rumah yang luas itu. Kemudian dia melanjutkan kata –
katanya, “Vey gak pernah mempercayai kisah yang berakhir dengan sedih. Karena
Vey yakin, semua cerita pasti berakhir bahagia. Pasti itu. Jika itu sedih, itu
pasti perjalanannya, bukan akhirnya. Kisah Nenek bukanlah kisah yang pantas
untuk berakhir sedih.”
Nek Mira mencermati kata – kata Vey. Dia benar –benar ingin memahami kata
– kata yang telah Vey lontarkan dengan pikiran positif. Sore itu matahari
begitu cepat tergelincir keperaduannya. Bulan mulai mengintip di langit sana,
bersiap untuk menggantikan Sang Raja Siang. Beberapa burung bergerombol terbang
beriringan kembali ke sarang mereka.
Lanjutannya dooonnnggg :D
BalasHapusPenasaran tingkat dewa.
Vey terbangun dari lamunannya yang terpejar kemana – mana. Dia menoleh pada Nek Mira. Mira tetap diam, dia merasa kebingungan menjawabnya.
yg bercetak tebal itu aku rasa bukan Mira, tapi Vey. hehehehehe :D
nanti diliat lagi aja, siapa tau aku yg salah :D
;)
Naaaah, iya betul.. aku yang salah, itu yang bener Vey bukan Mira..
Hapushehehehehe, terima kasih :D
Sama-sama :D
Hapus