BAGIAN 8
“Tanah Raja Kuswantoro”
Lingkungan baru yang tidak mereka kenal terpampang jelas dihadapan
mereka. Tanah itu tanah Lombok. Tanah tempat Raja Kuswantoro berasal. Mereka
berjalan keluar bandara. Riko yang mukanya lusuh tambah lusuh ketika orang
gemuk yang duduk di sampingnya tadi mengejarnya.
“Aduh, apa lagi sih ni orang.” Gerutu Riko. Nek Mira dan Vey terheran –
heran melihatnya.
“Hey Mas. Ini kartu nama saya, siapa tahu Mas butuh sesuatu di Lombok
ini. Saya asalnya dari tanah ini Mas. Jadi kalau Mas kebingungan sama sesuatu
di sini tinggal panggil saya saja. Saya siap membantu. Namanya manusia ‘kan
harus saling bantu membantu.” Orang itu tersenyum dan menoleh kea rah Nek Mira
dan Vey.
“Oh, ini adik Mas yang mau dihajar itu ya?” Orang gemuk itu mengulurkan
tangannya pada Vey. Bermaksud mengajak Vey kenalan.
“Nama Saya Ramon, Mbak.” Si Gemuk tadi menyebutkan namanya.
“Vey.” Vey memaksa tersenyum, dia masih kebingungan. Setelah berjabatan
tangan dengan Nek Mira juga, Ramon kemudian pergi meninggalkan mereka di teras
bandara.
“Mau dihajar? Siapa maksudnya Ramon tadi hah?” Tanya Vey sambil melirik
sinis pada Riko.
“Ngehajar orang kayak kamu itu udah sepantasnya Kakak lakuin dari
berangkat tadi, tapi masih kasihan aja.” Riko langsung menanggapi kata – kata
Vey. Seperti biasa, Vey tidak akan pernah mau kalah.
“Hah? Iih, Vey kasih tahu papa entar ya! Kakak gak ikhlas jagain Vey!”
Vey merajuk, dia mengeluarkan ancamannya agar Riko dapat dikalahkan.
“Ikhlas sih ikhlas, tapi gak dibuang dibagian sesak desak kayak tadi juga!“
Gerutu Riko sambil mengipas – ngipas lehernya yang masih kepanasan sisa panas
di pesawat tadi.
“Loooh, itu ‘kan salah Kakak gak punya uang!” Vey menjulurkan lidahnya,
meledek Riko yang merasa teraniaya.
“Kamu itu.. Kakak ‘kan udah bilang kalo…”
“Hus hus hus… sudah – sudah! Kalian ini, berantem terus hobinya, betul
kata mama kalian, hemm, gak ada yang mau ngalah, kalian ini kayak anak – anak
aja, gak usah tengkar lagi ya, entar pulangnya Riko biar nenek yang bayarin
tiket pesawatnya biar bisa duduk bareng, gak misah – misah kayak tadi. Yasudah
sekarang ayo kita langsung cari hotel. Istirahat terus besok baru kita
rencanain pencariannya.” Kata Nek Mira menengahi pertengkaran yang tidak
mungkin ada penyelesaiannya.
“Siaaap, Nek Mira!” Vey begitu semangat.
Sebuah taksi bandara sudah siap mereka tumpangi. Riko duduk di depan
menemani sopir. Sedangkan Nek Mira dan Vey duduk di belakang. Sepanjang
perjalanan menuju hotel, Nek Mira dan Vey terus bercakap – cakap tentang
berbagai hal yang nantinya akan mereka lakuin di pulau yang luar biasa indahnya
itu. Sedangkan Riko hanya plonga – plongo di depan. Dia hanya diam. Matanya
menyusuri setiap jalan yang mereka lewati. Sesekali dia melihat gadis manis,
tapi hanya sekelebat dan hilang begitu saja, kemudian berganti gadis lain lebih
manis dan ada juga yang lebih jelek.
Sesekali Riko membayangkan salah satu diantara mereka menjadi pacarnya.
Maklumlah, pikiran seorang jomblo kadang begitu. Dan ketika dia tersadar, dia
akan menghela nafas panjang sambil bergumam dalam hati “Andai aja beneran.”
Begitulah seterusnya. Riko lebih sibuk pada lamunannya sendiri.
Beberapa menit kemudian, hotel yang dimaksud sudah terlihat jelas. Taksi
yang ditumpangi mereka tadi berhenti tepat di depan hotel. Vey dan Nek Mira
turun, kemudian disusul Riko yang baru bangun dari lamunannya setelah di
sadarkan oleh sopir taksi itu. Koper – koper mereka sudah diturunkan, taksi
dibayar, kemudian pergi meninggalkan mereka di depan hotel.
“Waaah, hotel ini bagus ya, Nek.” Vey terpesona akan keindahan hotel yang
ada di depannya. “Bagus banget selera pak sopir taksi tadi ya, Nek.”
“Iya betul, Vey. Ayo masuk.” Kata Nek Mira menyetujui kata – kata Vey
tentang hotel yang ada di hadapannya sekarang.
Hotel tersebut adalah hotel pilihan sopir taksi tadi. Mereka bertiga
tidak pernah tahu Lombok, jadi waktu kebingungan memilih hotel mana yang bagus,
akhirnya mereka bertanya pada sopir taksi yang mereka tumpangi itu. Dan
hasilnya tidak mengecewakan. Hotelnya bagus. Kata sopir tadi, hotel ini
biasanya ditempati orang – orang penting yang berkunjung ke Lombok.
Vey dan Nek Mira berada di lobi, dia akan segera memesan kamar untuk
beberapa hari di Lombok. Riko terlihat cemas, dia ada di belakang Vey. Vey
sepertinya sadar itu, Vey menoleh ke belakang dan bertanya, “Kenapa, Kak?”
“Kamu ini! Ini hotel mahal! Gimana nanti kalau uang Kakak gak cukup buat
beberapa hari? Kakak ‘kan juga pengen belanja! Entar uangnya habis Cuma buat
bayar kamar aja! Kamu ini kadang – kadang kalau dipikir – pikir kejam juga ya!”
Riko mengoceh kesal.
Vey tertawa melihat kakaknya yang sedang kebingungan itu. “Kakak! Kamar
Kak Riko udah Vey bayarin. Nanti Vey sekamar sama Nek Mira. Kakak bisa pake
kamar yang sudah Vey bayar itu.”
“Tumben baik? Hahahaha, oke deh. Dengan berat hati Kakak terima
tawarannya.” Riko tertawa lega mendengar kabar tentang dirinya yang tidak akan
ditelantarkan lagi seperti tadi.
“Alaaaah!! Sok jual mahal! Tidur di jalanan baru tahu rasa nanti!” Ledek
Vey pada Riko yang masih malu - malu menerima pemberian adiknya itu.
“Hahahaha, masak kamu tega sama Kakak sendiri?” Riko senyum – senyum
melihat kebaikan adiknya yang tidak disangka – disangka.
Mereka pun langsung menuju kamar masing – masing setelah mendapatkan
kunci. Kamar mereka bersebelahan. Nek Mira yang kelelahanlangsung tertidur lelap
setelah cuci muka. Vey masih belum bisa memejamkan mata. Dia keluar kamar.
Mengetuk pintu kamar Riko.
“Apa? Mau ganggu?” Kata Riko ketika membukakan pintu untuk Vey. Vey tidak
berkata apa – apa. Dia langsung nyelonong masuk kamar Riko. “Sepi di kamar. Nek
Mira udah tidur. Vey belum bisa tidur.” Vey menjatuhkan tubuhnya di tempat
tidur Riko.
“Mau jalan – jalan keliling hotel gak? Katanya di sini ada tamannya
juga.” Kata Riko, nada bicaranya melunak ketika melihat muka Vey yang murung.
“Boleh deh.”
“Jangan kusut gitu dong mukanya! Gak enak lihatnya!” Goda Riko pada Vey.
Vey tersenyum, dia bangkit dari tidurnya. Kemudian menggandeng tangan Riko.
“Ayoo Kakakku..” begitu terasa indah melihat mereka yang sedang akur tanpa
pertengkaran dan cekcok mulut yang biasanya selalu terdengar setiap detiknya.
Mereka keluar kamar, Vey masih menggandeng tangan Riko. Tidak sengaja
seseorang memakai jas, rapi, bersepatu hitam, tampan, menabrak Vey. Spontan Vey
langsung angkat suara, “Hey! Lihat – lihat dong! Mentang – mentang pakek jas
main nyerobot aja!”
Orang tadi berhenti melihat Vey dan Riko yang bergandengan tangan.
Mungkin dia berpikir Riko adalah pacar dari gadis yang ditabraknya. “Maaf,
Mbak! Maaf, Mas! Saya tidak lihat tadi.” Setelah minta maaf tanpa mendapat
balasan dari Vey dan Riko, orang tadi langsung pergi berjalan terburu – buru
seperti tadi.
“Gila tu orang! Lagi tengkar sama pacarnya mungkin ya? Terburu – buru
banget jalannya!” Gerutu Vey, tangannya masih menggandeng lengan Riko.
“Udah, ayo jalan – jalan!” Riko menyela pikiran negatif Vey. Mereka
berjalan melewati lorong – lorong kamar menuju taman yang dimaksud.
***
“Habib! Sini. Tadi saya nabrak seseorang di depan kamar nomer 204,
mungkin itu kamarnya, tolong layani mereka dengan baik ya! Saya merasa bersalah,
gak enak, takut mereka mengeluhkan hotel ini.”
“Loh? Memangnya mereka tahu kalau Anda pemilik hotel ini?”
“Tidak, tapi apa salahnya memberikan pelayanan yang bagus. Siapa tahu
nanti mereka akhirnya tahu saya. Takutnya mereka menuduh saya tidak sopan.”
“Baiklah, Pak. Saya laksanakan.” Jawab kepala pelayan hotel.
***
Malam itu bulan tak tertutup awan, Vey dan Riko berjalan di sekitar kolam
renang yang ada di hotel itu. Beberapa kali mereka bercakap – cakap tentang
pekerjaan. Maklumlah, pembicaraan tentang pekerjaan mereka pasti nyambung,
karena mereka memang bekerja satu kantor di perusahaan papanya.
“Papa itu pemimpin perusahaan, pasti uangnya banyak. Tapi kenapa ngasi
uang saku ke Lombok dikit banget ya ke Kakak?” Riko memulai percakapannya lagi
setelah beberapa saat berhenti karena mencari tempat duduk yang enak untuk
mereka.
“Papa bukan pelit, Kak. Uangnya sekarang lagi difokuskan pada proyek yang
sedang kita garap bareng itu. Apalagi Kakak aja yang ngerasa kurang. Udah
dikasih jutaan masih dibilang sedikit! Kakak itu kadang – kadang harus ngurangi
uang jajan! Aku aja bisa, kenapa Kakak enggak! Biasanya yang ngabisin uang
banyak tu anak cewek, bukan anak cowok! Tapi malah kebalikannya kalau Kakak.”
“Kakak itu paling gak bisa kalau udah lihat barang yang bagus. Pasti gak
bisa buat gak dibeli.”
“Mungkin itu juga yang bikin cewek risih, Kak! Mungkin karena itu juga
Kakak sampai sekarang gak punya pacar.”
“Risih gimana maksudmu?”
“Ya risih, masak cowok suka belanja! Mulai sekarang, kurangi! Siapa tahu dengan
itu Kakak bisa dapet cewek. Vey bantu deh cariin temen – temen Vey di Bogor
nanti. Vey tawarin Kakak ke mereka. Siapa tahu ada yang mau sama Kakak.”
“Kamu kira Kakak ini barang ya kok pake acara ditawarin.”
“Bukan gitu, Kak. Vey ini mau bantu. Eh? Tunggu, sebenarnya masalah utama
Kakak itu bukan masalah belanja itu sih.” Kata Vey tiba – tiba.
“Apa memangnya?”
“Kakak kalau ngajak kenalan cewek pasti ngajak mama. Kakak jadi terkesan
anak mama, anak manja, dan anak – anak lainnya.”
“Tapi k’kan gak salah, Vey. Ngajak orang tua biar sama tahu entar enaknya
gimana.”
“Iya kalau pikirannya sama seperti Kakak! Kalau cewek yang lagi Kakak
dekati itu adalah cewek yang mandiri, pasti deh bakal illfeel ngelihat anak mama kayak Kakak. Kakak pasti dipandang gak
mandiri karena apa – apa masih butuh mama, cari jodoh aja masih ngajak mama.
Hemmm.”
“Aah, bukan alasan yang tepat itu, kadang ada juga cewek yang suka
ngelihat cowok yang perhatian dan sayang sama orang tuanya sendiri. Kamu
sendiri masih belum punya pacar tapi udah mau nyariin Kakak.”
“Aku tu bukannya gak ada yang mau, Kak. Ada sih, tapi gak sesuai sama
tipeku.”
“Alasan aja kamu.” Ledek Riko sambil senyum – senyum geli mendengar
alasan adiknya.
“Loh? Beneran. Banyak yang deketin Vey. Secara Vey itu pinter, cantik,
mandiri, siapa sih yang gak suka sama Vey.” Kata Vey dengan bangganya, Riko
tampak memonyongkan bibirnya mendengarkan adiknya membanggakan diri sendiri.
“Tapi ya itu, masih belum ada yang pas, belum ada yang sesuai tipe Vey.”
“Memangnya gimana tipemu?” Tanya Riko sedikit penasaran.
“Kayak Kakak!”
Riko mengernyitkan alisnya. Keheranan mendengarkan penjelasan Vey yang
begitu singkat. “Kayak Kakak? Serius? Bukannya kamu benci tipe – tipe kayak
Kakak?”
“Vey pengen ada yang kayak Kakak. Kerjaannya bercanda terus sama Vey,
meskipun tengkar tapi Kakak sayang sama Vey, dan meskipun suka bercanda, kalau
sudah menyangkut pekerjaan Kakak pasti serius. Tapi Vey cuma gak mau tipe Vey
itu suka belanja kayak Kakak.”
“Wah, wah, ternyata kamu diam – diam mengagumi Kakakmu sendiri.”
“Gile lu… bukan gitu! Bukan berarti Vey suka Kakak! Kakak kira Vey itu
gila! Masak suka sama saudara sendiri! Amit – amit! Vey itu cuma pengen tipe
Vey kayak Kakak! Gitu. Suka bercanda, sayang Vey, serius dalam kerja, tapi gak
suka belanja.”
“Hahahaha, iya – iya Kakak ngerti kok! Kakak cuma bercanda.”
“Terus kalau Kakak gimana? Gimana tipe cewek idaman Kakak?”
“Kayak Kamu!”
“Aaah, Kakak niru Vey! Ayo serius.”
“Loh? Iya kakak serius! Tipe kakak tu kayak kamu. Cantik, pinter, enak di
ajak bercanda, diajak tengkar juga enak. Hehehehe.”
“Aaah, Kakak niru.”
“Loh? Beneran Vey. Makanya itu Kakak sulit nyari pacar, soalnya Kakak
terlalu terpaku sama tipe Kakak itu. Gimana kalau kita pacaran aja?” Riko menahan
tawanya, dia sengaja ingin menggoda adiknya.
“Iiih! Kakak gila ya!”
“Hahahahahaha, bercanda Vey! Gitu aja serius banget sih!”
“Kak Riko gila! Aku laporin ke Mama sama Papa entar.”
“Laporin aja! Mama sama Papa mungkin cuma ketawa – ketawa dengernya.
Lagian Kakak cuma bercanda! Kamu ini serius banget!”
Malam itu mereka ramai sendiri. Membahas hal – hal yang tidak penting,
membahas ini itu, membahas segala hal yang membuat mereka tertawa dan
bertengkar sejenak. Tidak biasanya mereka sedekat itu. Ada gunanya juga mereka
bepergian tanpa kedua orang tua. Setidaknya mereka bisa akur, bisa merasakan
saling menjaga satu sama lain di tanah orang.
Tidak terasa malam semakin larut, bulan semakin meninggi. Bintang –
bintang yang berkerlipan semakin bertambah banyak di langit sana. Beberapa
burung malam sayup – sayup terdengar di kejauhan sana. Mereka saling sahut
menyahut satu sama lain, menyampaikan kabar dari malam yang pekat.
0 komentar:
Posting Komentar